Perang Ukraina dan Krisis Pangan
PERAN tak hanya menyoal teritori dan ideologi semata. Kata “perang” kini marak disandingkan dengan perdagangan dan juga pangan. Meski kerap luput dari perhatian dan dinilai kurang strategis dibanding alat utama sistem persenjataan, indikator pertahanan nasional ketika terjadi invasi militer mesti diukur dari jumlah cadangan pangan yang tersedia.
Peperangan yang berimbas pada krisis pangan telah ditemukan di berbagai belahan dunia. Krisis akibat perang Rusia-Ukraina yang terjadi akhir-akhir ini mengingatkan kita pada penggunaan pangan sebagai senjata. Kendati tak selalu menjadi ketentuan yang pasti, krisis pangan akibat penjajahan dan perang kita alami ketika masa pendudukan Belanda dan Jepang di Indonesia. Belanda menerapkan sistem tanam paksa dan Jepang menggenjot produksi pangan sebagai amunisi untuk perang dunia. Keduanya menyebabkan rakyat kelaparan dan hidup dalam kesengsaraan.
Namun, dalam beberapa kasus, kaitan perang dan pangan juga bisa dijadikan titik balik untuk berdaulat. Jika kita kembali ke masa perang dingin, embargo gandum Amerika Serikat terhadap Uni Soviet pada 1980 ternyata tak berdampak besar. Justru petani Amerika Serikat-lah yang merana karena hasil panen gandum mereka tak tersalurkan, mengingat pada waktu itu Uni Soviet menjadi salah satu pangsa pasar gandum terbesar.
Ketercukupan pangan Uni Soviet, terutama gandum, berasal dari produksi dalam negeri yang diperkuat dengan perestroika (restrukturisasi) dengan prinsip peningkatan produktivitas pertanian. Namun kebijakan ini, bersama glasnost (keterbukaan), dinilai banyak pihak justru sebagai cikal bakal bubarnya Uni Soviet. Keruntuhan Uni Soviet menyebabkan sarana produksi pertanian kimia yang merupakan penerapan dari revolusi hijau menjadi langka di negara-negara Blok Timur, termasuk Kuba. Di tengah situasi itu, Kuba terpaksa kembali membangun pertanian alami. Melalui kebijakan ini, Kuba justru selamat dari krisis pangan pada 2008. Bagaimana dengan Indonesia?
Negeri Pengimpor
Merujuk pada laporan State of Food Security and Nutrition in The World tahun 2021, terdapat 811 juta orang di dunia yang menghadapi kelaparan pada 2020. Jumlah tersebut 161 juta lebih banyak dibanding pada 2019. Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh Global Hunger Index 2021, Indonesia mendapat skor 18,0 atau tergolong moderat dan berada di peringkat ke-73 dari 116 negara di dunia.
Walaupun mengemban predikat moderat dalam hal kelaparan, Indonesia tetap berstatus sebagai salah satu negara pengimpor pangan terbesar di dunia. Memang kita tercatat juga sebagai eksportir minyak sawit utama di dunia, tapi pada saat yang sama kita juga sebagai importir gandum terbesar. Konversi gandum ke pangan lokal yang belum serius dilakukan berakibat pada peningkatan volume impor dari tahun ke tahun. Bahkan, dengan kuota impor gandum yang hampir 11 juta ton per tahun, kita telah melampaui Mesir di posisi teratas negara pengimpor gandum. Sebagian besar gandum yang masuk ke Indonesia diperoleh dari Australia dan Ukraina serta beberapa dari Rusia. Situasi yang memanas di Donetsk dan Luhansk tentu akan berimbas langsung pada perganduman dunia, khususnya Indonesia.
Bukan hanya gandum, Indonesia juga kini menjadi negara tropis pengimpor kedelai secara rutin. Lebih dari 80 persen kebutuhan nasional ditopang dari kedelai impor. Produksi kedelai nasional yang tak kunjung membaik menyebabkan harga kedelai tak terkendali karena mengikuti perkembangan pasar dunia. Saat ini, produksi kedelai di dunia sedang menurun akibat faktor cuaca. Hal ini menjadikan negara industri, terutama Cina, memperebutkan kedelai untuk kebutuhan pangan dan pakan.
Belum lagi jika hendak mengulas beras, jagung, dan tanaman pangan lainnya. Fluktuasi neraca impor pangan tentu akan selalu tersaji sehingga tak mengherankan apabila, menurut Kementerian Pertahanan, cadangan pangan Indonesia hanya bisa bertahan untuk 21 hari. Situasi ini lebih rendah dari Vietnam (23 hari), Thailand (143 hari), Cina (681 hari), dan Amerika Serikat (1.068 hari).
Kelembagaan Pangan
Atas dasar itu, pemerintah kemudian membangun food estate untuk meningkatkan produksi pangan dan cadangan pangan nasional. Ide semacam ini sebetulnya telah bergulir sejak Orde Baru dan pemerintah setelahnya, tapi gagal dijalankan sebagaimana yang juga terjadi saat ini. Food estate di Papua, Kalimantan, dan Sumatera telah menyulut konflik agraria, merusak keanekaragaman hayati, menghilangkan ruang hidup, mendegradasi lingkungan atau deforestasi akibat land clearing, menimbulkan ancaman pencemaran akibat penggunaan pupuk dan pestisida kimia, serta memaksa petani kecil beralih profesi sebagai buruh.
Pemerintah semestinya sadar bahwa produksi pangan sehari-hari di Indonesia berasal dari keluarga petani dan produsen pangan skala kecil lainnya, bukan melalui food estate yang secara dominan dikontrol oleh perusahaan/korporasi pangan. Berdasarkan riset ETC Group, petani dan masyarakat adat adalah satu-satunya penyedia pangan untuk 70 persen populasi penduduk dunia dengan hanya menggunakan 30 persen kekayaan alam yang bisa diakses. Sebaliknya, perusahaan pertanian menguasai 70 persen kekayaan alam tapi hanya mampu menghasilkan 30 persen pangan.
Kegagalan food estate ini semoga tak menjalar ke Badan Pangan Nasional. Untuk itu, Badan Pangan harus memperkuat peran petani. Kerja yang komprehensif dalam mengurus pangan tidak akan mampu bila hanya mengandalkan kolaborasi terbatas di antara birokrat, teknokrat, dan korporasi. Peran keluarga petani terbukti sangat sentral dalam membuka jalan keluar dari setiap persoalan pangan agar tak selalu berujung pada solusi impor.
Badan Pangan diharapkan jeli dalam melihat situasi ekonomi-politik pangan dunia yang memaksa setiap negara bergantung pada produksi pangan dari negara lain. Badan itu harus kembali pada tujuan dasar lembaga ini dibentuk, yakni untuk menjalankan mandat dari Undang-Undang Pangan sehingga kehadirannya menjadi titik balik untuk memperbaiki sistem pangan nasional dengan kedaulatan pangan sebagai muaranya. Dengan demikian, Indonesia akan lebih siap menghadapi berbagai tantangan pangan nasional dan dinamika pangan global yang diselimuti diksi perang dagang dan penggunaan pangan sebagai senjata. Badan Pangan harus bisa melepaskan belenggu Indonesia sebagai negeri pengimpor pangan. (*)
Angga Hermanda,Ketua Departemen di Badan Pengurus Pusat Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia.