Peraturan Kekayaan Tak Wajar Pejabat Publik
”Memangnya gaji polisi cukup untuk bermewah-mewah?”. Jenderal Hoegeng, Kepala Polri 1968- 1971, terkejut dengan seorang bawahannya yang membeli mobil dan rumah mewah.
Beberapa bulan belakangan ini, publik dihebohkan dengan kabar adanya pejabat pajak berinisial RAT yang memiliki harta kekayaan yang fantastis. Harta kekayaan fantastis tergolong dalam kekayaan ”tidak wajar”. Tentu hal tersebut menimbulkan keresahan dan menjadi tanda tanya besar di kalangan masyarakat, berapa sebenarnya pendapatan seorang pegawai negara sipil (PNS) khususnya pejabat publik?
Pendapatan pejabat publik yang merupakan PNS, jika dilihat dari logika gaji bulanan serta pendapat lain dari negara, tampaknya tidak akan bisa disetarakan dengan semua hasil kalkulasi harta atau kekayaan yang tergolong fantastis tersebut. Dalam penghitungan sederhana, gaji, tunjangan, dan pendapatan sah yang diterima penyelenggara negara (pejabat negara/PNS) cenderung bernilai minus jika disubstitusikan ke semua harta atau kekayaan yang dimiliki. Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa harta atau kekayaan yang diterima patut diduga didapatkan dengan cara-cara yang tidak halal atau melawan hukum.
Sebenarnya, jika ditelisik, peristiwa pejabat publik yang memiliki harta kekayaan yang fantastis ini bukan kali pertama. Sebelumnya ada beberapa pegawai dan pejabat publik yang terlibat kasus korupsi diketahui juga memiliki harta kekayaan yang cukup fantastis, seperti dalam kasus Gayus Tambunan, Neneng Hasanah, Zumi Zola, dan Romahurmuziy. Akan tetapi, ini hanya sebagian kecil dari segunung kasus lainnya yang belum terungkap ke publik.
Jika melihat dari beberapa contoh pejabat publik yang menimpa Gayus Tambunan dan kawan-kawan dibandingkan dengan kasus RAT tentu hal yang berbeda. Gayus Tambunan dkk sudah ada atau terbukti terlebih dahulu tindak pidananya, yaitu korupsi. Sementara RAT, tidak ada atau belum terdapat tindak pidana, melainkan terindikasi ”memiliki harta kekayaan yang tidak wajar” oleh Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Pertanyaannya, apakah seorang pejabat negara yang memiliki harta kekayaan yang tidak wajar dapat dihukum/dipidana? Indonesia belum mengatur ketentuan pemidanaan terhadap pejabat negara yang memiliki harta yang tidak sah (illicit enrichment). Padahal, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Pemberantasan Korupsi (United Nations Convention against Corruption atau UNCAC) sudah mengatur soal kriminalisasi illicit enrichment ini.
Karena kekosongan peraturan, seolah-olah pejabat publik boleh saja memilliki harta kekayaan yang fantastis walau sumbernya patut dicurigai, sepanjang tidak ketahuan bahwa hartanya diperoleh secara tidak sah atau berasal dari tindak pidana. Jadi, jika ada pejabat publik yang memiliki harta kekayaan tidak wajar, ia tidak dapat dihukum/dipidana karena tidak ada hukum positif atau undang-undang yang mengatur illicit enrichment.
”Illicit Enrichment”
Illicit enrichment merupakan tindakan memperkaya diri sendiri secara tidak sah berupa adanya peningkatan aset atau kekayaan dalam jumlah yang cukup besar dari seorang pejabat publik, yang mana peningkatan kekayaan tersebut tidak dapat dijelaskan kalau itu diperoleh dari sumber-sumber penghasilan yang sah menurut hukum.
Konsep peningkatan harta kekayaan secara tidak wajar atau illicit enrichment merupakan salah satu terobosan dari kalangan internasional melalui Konvensi UNCAC sebagai upaya pemberantasan korupsi. Konsep illicit enrichment di atur dalam Pasal 20 UNCAC: Subject to its constitution and the fundamental principles of its legal system, each State Party shall consider adopting such legislative and other measures as may be necessary to establish as a criminal offence, when committed intentionally, illicit enrichment, that is, a significant increase in the assets of a public official that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful income”.
UNCAC menyarankan negara peserta mempertimbangkan untuk mengambil tindakan legislatif atau tindakan lainnya yang sesuai dengan prinsip-prinsip dasar sistem hukum negara peserta masing-masing dalam menetapkan illicit enrichment sebagai sebuah kejahatan di mana terdapat perbuatan memperkaya diri sendiri yang dilakukan dengan sengaja sehingga terjadi penambahan kekayaan dalam jumlah besar dari seorang pejabat publik dalam kaitannya dengan penghasilannya yang sah.
Untuk menyinergikan kebutuhan pengaturan tentang kekayaan yang tidak wajar di dunia, Konvensi UNCAC pada 2003 telah memandatkan negara-negara peserta untuk merumuskan kekayaan yang tidak sah. Memang, dalam UNCAC tidak ada kewajiban untuk mengatur illicit enrichment mengingat sifatnya yang fakultatif dan ketentuan tersebut merupakan non-mandatoryoffences, tetapi bukan berarti negara tidak perlu atau tidak bisa mengatur tindak pidana ini.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki semangat dan komitmen untuk memberantas korupsi yang sejalan dengan UNCAC. Karena itu, sudah sepatutnya Indonesia juga mengatur mengenai pemidanaan terhadap pejabat negara yang memiliki harta yang tidak wajar.
Pengaturan illicit enrichment sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UNCAC merupakan hal penting untuk ditindaklanjuti di Indonesia sebagai negara peserta konvensi ini. Pada 2014, dari 193 negara di dunia, setidaknya sudah ada 44 negara yang memiliki instrumen hukum setingkat undang-undang tentang illicit enrichment. Sebanyak 39 negara dari 44 tersebut mengenakan sanksi kurungan atau penjara, seperti China, India, Malaysia, Brunei, Makau, Bangladesh, dan Mesir.
Sudah banyak negara di dunia yang mengatur mengenai illicit enrichment ini. Sebuah penelitian baru menemukan bahwa setidak-tidaknya terdapat 98 pengaturan mengenai illicit enrichment yang telah diterapkan di sejumlah negara, seperti Afghanistan, Brunei Darussalam, China, dan Meksiko. Ironisnya, Indonesia tidak termasuk.
Ini merupakan sebuah kemunduran melihat kejahatan yang selalu berkembang dan efeknya sangat besar karena dilakukan secara sistematik, terstruktur terutama berbicara mengenai korupsi illicit enrichment memang hadir secara khusus menargetkan pejabat publik baik yang berasal dari ASN maupun non-ASN. Sebab, kebanyakan korupsi yang terjadi di Indonesia datang dari lingkungan ini. Alasanya, pertama, kategori pejabat publik yang termasuk sebagai orang yang berkepentingan. Kedua, sangat besar sekali peluang pejabat publik untuk menyalahgunakan kekuasaanya (abuse of power).
Illicit enrichment perlu dimaknai atau dilihat sebagai sebuah pendekatan yang baru di dalam konteks pemberantasan korupsi di Indonesia karena ketentuan memperkaya diri sendiri secara melawan hukum. Illicit enrichment lebih menekankan dan memakai pendekatan follow the money ketimbang dengan pendekatan follow the person.
Rekomendasi
Pertama, DPR dan pemerintah segera menerbitkan rancangan UU ilicit enrichment. Kemudian memastikan adanya aturan pemidanaan terhadap illicit enrichment. Jika tidak, penegak hukum akan mendapat beban tambahan untuk pembuktian asal-usul harta kekayaan tersebut. Kewajiban untuk memastikan bahwa seorang pejabat penyelenggara negara memiliki harta yang sesuai dengan pendapatannya seharusnya dibebankan pada insan pejabat itu sendiri, bukan justru dibebankan hanya pada satu institusi penegak hukum untuk mengawasi semua pejabat dari Sabang sampai Merauke.
Kedua, DPR perlu segera mengajukan revisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) mengingat UU Tipikor terakhir kali direvisi pada 2001, sedangkan UNCAC baru selesai dibuat pada 2003. Revisi UU Tipikor dibuat juga harus sejalan dengan pengaturan UNCAC mengingat UNCAC sudah diratifikasi ke dalam hukum nasional. Jika RUU yang dibuat tidak sejalan dengan UNCAC, permasalahan peningkatan harta pejabat publik yang tidak wajar tidak akan dapat dibenahi. (*)
Theresa Yolanda Sirait, Lawyer Associate M81 & Partners