Politik Hijau dalam Pusaran Pemilu 2024
SISTIM demokrasi menjadikan partai politik sebagai elemen penting bagi demokrasi. Partai politik menjadi ”pabrik” yang mencetak para pemimpin di nasional maupun daerah. Namun, di tengah dinamika politik yang terjadi saat ini, ada yang luput dari pembahasan dalam di tengah publik, yakni agenda politik yang diusung oleh partai politik maupun kandidat yang akan bertarung dalam Pemilu 2024. Pembahasan substansi pada persoalan-persoalan pokok yang dirasakan oleh rakyat, nyaris sepi dan tenggelam dalam hiruk pikuk konsolidasi elite politik.
Partai politik dan para kandidat terlihat enggan untuk membahas agenda-agenda penting yang dihadapi rakyat atau menjadi tantangan berat bagi Indonesia dalam konsolidasi-konsolidasi politik yang berjalan. Bukankah seharusnya konsolidasi agenda atau gagasan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari konsolidasi figur-figur kandidat. Karena pada hakikatnya yang akan dicalonkan dan dipilih nanti akan memimpin bangsa ini ke depan dan berdampak pada kehidupan kita sebagai warga negara, dan bahkan berdampak signifikan terhadap keberlanjutan lingkungan hidup ke depan.
Nir politik hijau
Greenpeace Indonesia telah melakukan bacaan awal atas komitmen partai politik peserta pemilu, yang kami telusuri melalui media internal partai politik yang dapat diakses publik. Dari penelusuran yang kami lakukan, partai politik yang memiliki suara di parlemen saat ini memiliki komitmen lingkungan hidup dalam dokumen organisasinya. Namun, pada praktik politiknya, dokumen organisasi tersebut ternyata tidak menjadi rujukan oleh kader-kadernya, baik yang ada di parlemen, maupun yang ada di pemerintahan. Komitmen tersebut pada akhirnya hanya menjadi ”pemanis” dan pelengkap.
Temuan ini terkonfirmasi saat menyaksikan manuver partai politik dalam memproduksi kebijakan yang justru memperparah krisis iklim dan melanggengkan ketimpangan ekonomi seperti Undang-Undang Cipta Kerja, dan munculnya false solutions dalam pasal-pasal Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET).
Bagi partai politik, dan kandidat yang bertarung dalam Pemilu 2024 isu lingkungan hidup dan perubahan iklim, mungkin tidak akan berpengaruh kepada elektabilitas dan bahkan kepada pemenangan mereka. Oleh karena itu, isu ini dianggap tidak penting untuk disuarakan dan menjadi gagasan atau agenda yang ditawarkan untuk diperjuangkan ketika mereka berada di kekuasaan. Kandidat selalu berargumen dan membandingkan isu lingkungan hidup dengan isu ekonomi yang dianggap lebih penting. Dampak krisis iklim sangat besar pengaruhnya terhadap masyarakat. Krisis air, krisis pangan dan bahkan kemiskinan akan semakin menghantui masyarakat, dan bukankah itu artinya menjadi persoalan besar bagi konstituen.
Jika saja partai politik dan kandidat mereka membaca tren atau kecenderungan suara anak muda, dalam beberapa survei menunjukkan bahwa anak muda atau pemilih muda memiliki kepedulian yang tinggi terhadap isu lingkungan hidup dan krisis iklim. Ada kesadaran politik yang telah terbangun di kalangan anak muda bahwa tidak mungkin ekonomi bisa tumbuh dan masa depan anak muda lebih baik, jika mereka hidup di tengah ancaman krisis iklim yang akan menenggelamkan masa depan mereka.
Sayangnya, dalam konteks pemilu, elite politik masih melihat anak muda hanya sebagai angka dan menjadi obyek politik. Mereka berlomba-loma menggaet suara pemilih muda, dan seolah-olah berkomitmen terhadap masa depan anak muda, padahal sebaliknya. Tokenisme!
Selain masalah pemahaman dan pengetahuan partai politik dan kandidat yang cakap terhadap problem struktural lingkungan hidup, hal lain yang lebih besar yang menjadikan pemilu tidak lebih hanya sebagai siklus pergantian elite kekuasaan adalah semakin kuatnya kelindan oligarki yang menguasai demokrasi Indonesia hari ini, merasuk pada sistem pemilu.
Pemilu justru sebagai jalan untuk melanggengkan kuasa oligarki. Institusi-institusi politik dengan kekuasaannya justru menjadi mesin-mesin yang mempercepat penghancuran lingkungan hidup dan krisis iklim, dengan berbagai produk kebijakan yang dilahirkan. Biaya politik yang sangat tinggi menjadi salah satu penyebab adanya ijon politik dengan menggadaikan sumber daya alam untuk membiayai ongkos politik yang sangat mahal, dengan mempertaruhkan masa depan keberlanjutan lingkungan hidup.
Profesor Vedi Hadiz telah mengingatkan sejak lama bahwa oligarki yang dibesarkan dan dijaga oleh sistem politik yang otoriter ternyata dalam perkembangannya demokrasi ternyata bisa berjalan beriringan. Oligarki beradaptasi pada sistem politik yang demokratis. Pascareformasi di mana demokratisasi terjadi, kolonisasi lembaga-lembaga demokrasi oleh kepentingan-kepentingan oligarki terjadi. Mereka merekonstruksi dan merekonsolidasi kekuatannya dengan cepat, dan kemudian kelindan oligarki menguasai sistem demokrasi yang berjalan hingga saat ini, selain sistem ekonomi.
Pemilu 2024 tentu penting untuk disikapi secara serius, dengan membawa agenda dan gagasan politik hijau guna penyelamatan lingkungan hidup dan kehidupan generasi ke depan yang lebih baik ke tengah pusaran Pemilu 2024. Gerakan politik hijau harus menemukan jalan bagaimana dapat mentransformasikan dirinya menjadi gerakan yang populer dan berelasi dengan kaum muda di tengah banyaknya anak muda yang skeptis terhadap politik akibat dari buruknya praktik politik yang dijalankan oleh elite politik di kekuasaan.
Namun, tidak boleh berhenti sampai di situ. Dengan situasi demokrasi yang terus mengalami regresi dan krisis iklim menjadi tantangan yang serius, kekuatan masyarakat sipil harus berpikir melampaui Pemilu 2024. Bagaimana mendesak adanya perubahan struktural untuk memastikan demokrasi berjalan untuk kepentingan rakyat dan lingkungan hidup. Tanpa perubahan struktural atas sistem ekonomi dan politik yang bekerja dengan mengapitalisasi penjarahan alam dan penghancuran lingkungan hidup, politik hijau juga akan terus berhadapan dengan tembok atau kekuatan oligarkis.
Akhirnya, selamat hari lingkungan hidup. Semoga politik hijau tidak hanya menjadi ”gula-gula” dalam Pemilu 2024. (*)
Khalisah Khalid, Public Engagement and Action Manager, dan Political Working Group Leader Greenpeace Indonesia