Potensi Gairah Ekonomi di Bulan Ramadan
TAHUN ini adalah tahun ketiga kita menjalani Ramadan di tengah pandemi Covid-19. Ramadan membawa berkah ekonomi di samping berkah spiritual. Geliat ekonomi mulai terasa menjelang Ramadan. Ada tradisi kaum muslim yang mengawalinya dengan filantrofi botram (makan bersama) dan munggahan, yakni kegiatan berbagi makanan sambil mengunjungi tetangga dan kerabat. Aktivitas ekonomi pun tercipta.
Pada bulan puasa ini, aktivitas ekonomi tumbuh lebih subur lagi, dari infak, zakat, wakaf, buka bersama, hingga takjil gratis. Implikasi ekonominya adalah peningkatan likuiditas di masyarakat. Uang, yang pada awalnya lambat bergerak, menjadi agresif berputar dan menciptakan efek pengganda ekonomi. Begitu pun pergerakan barang dan jasa. Hal ini seolah-olah menjadi oasis di tengah lunglainya ekonomi akibat hantaman pandemi.
Salah satu daya ungkit pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah konsumsi. Sektor ini penopang terbesar produk domestik bruto (PDB). Konsumsi rumah tangga terus berkontribusi besar dalam PDB, dari 56,13 persen pada 2017 menjadi 57,66 persen pada 2020 dan 54,42 persen pada 2021.
Momentum Ramadan dan Lebaran dianggap mampu mengerek tingkat konsumsi. Ekonomi Ramadan menyasar semua mesin ekonomi, baik korporasi maupun rumah tangga. Dari perspektif permintaan, daya beli masyarakat terdongkrak oleh uang tunjangan hari raya yang dikombinasikan dengan gaji ke-13 bagi aparatur sipil negara serta anggota TNI dan Polri. Stimulus musiman ini bisa memicu perbaikan daya beli. James Dusenberry mengingatkan bahwa tingkat pengeluaran konsumsi sejalan dengan tingkat pendapatan individu. Ketika pendapatan meningkat, tingkat pengeluaran konsumsi pun naik.
Pada sisi penawaran, bulan ini ditandai munculnya pedagang dadakan. Hal ini tecermin dari maraknya penjual makanan menjelang buka puasa di trotoar, depan rumah, hingga pusat keramaian. Mereka antusias mengais peruntungan pada momentum tahunan tersebut.
Namun romantisisme tersebut sepertinya belum bisa normal. Ekonomi Ramadan selama dua tahun terakhir masih tertatih-tatih. Perubahan pola konsumsi masih menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi.
Tradisi belanja seakan-akan ikut sirna terpapar corona. Sentra belanja, yang biasanya ramai, malah kehilangan gairah. Pandemi Covid-19 mengubah momentum pesta belanja di bulan puasa menjadi mimpi buruk. Tak mengherankan bila pertumbuhan ekonomi di kuartal II 2020 babak belur. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan ekonomi terkontraksi -5,32 persen pada April-Juni yang bertepatan dengan Ramadan.
Ramadan tahun ini memang agak berbeda. Beberapa bulan lalu denyut ekonomi kembali dipacu. Warung, pusat belanja, kafe, hingga restoran dibuka lagi. Iklan berbagai produk di layar kaca hingga reklame di tempat terbuka ramai menyambut Ramadan. Masyarakat tampaknya juga mulai mengadopsi kebiasaan baru dengan semakin beradaptasi dengan protokol kesehatan.
Aturan tes antigen atau PCR sebagai syarat perjalanan dihapus. Keputusan itu diharapkan akan menggairahkan kembali perekonomian. Indikasinya tergambar dari hasil survei Bank Indonesia (BI) mengenai Indeks Ekspektasi Penjualan yang menunjukkan bahwa indeks pada April 2022 diprediksi sebesar 151,8, meningkat dari bulan sebelumnya yang 141,1.
Selain itu, Indeks Penjualan Riil (IPR) pada Januari 2022 berada di angka 209,6 atau naik 15,2 persen (year-on-year). Pada November 2021, IPR kita sudah kembali ke level 200. Pada kurun waktu April 2020 ke Oktober 2021, IPR tak pernah berada di atas 200, kecuali pada Mei dan Juni 2021.
Adapun indikator Google Mobility Index (GMI) per 21 Maret 2022 mencatat kenaikan angka mobilitas di sentra belanja. Pada Februari, mobilitas di tempat perdagangan retail dan rekreasi naik, dari 3,83 persen ke 8 persen. Masih dalam periode yang sama, mobilitas di tempat belanja kebutuhan harian merangkak naik, dari 25,75 ke 26 persen.
Tahun ini, masyarakat juga bisa sedikit lega karena pelonggaran aturan mudik Lebaran. Setelah dua Lebaran sebelumnya dilarang, masyarakat kini boleh mudik asalkan sudah dua kali menerima vaksin Covid-19 dan satu kali vaksin penguat (booster).
Tradisi mudik sudah menjadi bagian dari masyarakat urban perkotaan dan menjadi stimulus ekonomi. Peredaran uang pada saat mudik ini akan menginjeksi pemulihan ekonomi dan meningkatkan mobilitas masyarakat. Bank Indonesia memprediksi kebutuhan uang pada Ramadan dan Lebaran kali ini naik 13,4 persen dibanding tahun sebelumnya, dari Rp 154 triliun ke Rp 175,26 triliun. Aktivitas mudik juga akan mendongkrak sektor transportasi, sandang, pangan, dan telekomunikasi.
Ramadan dan tradisi mudik berpeluang menggairahkan kembali ekonomi kita yang terpuruk dilanda pandemi. Kita perlu menunggu respons serius pemerintah dalam menyambut momentum pemulihan ekonomi ini. (*)
Jojo, Staf Pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Sutaatmadja, Subang