Prahara Politik di Tubuh Golkar
PARTAI Golkar kembali memanas. Desakan agar partai beringin tersebut menggelar Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar terdengar lagi menjelang pendaftaran calon presiden untuk Pemilihan Umum 2024. Padahal, dengan sisa waktu menjelang pemilu yang kurang dari tujuh bulan, mustahil partai ini bisa melakukan konsolidasi politik bila kembali terlibat dalam konflik internal. Selain itu, risiko penurunan suara bisa terjadi bila Golkar memaksakan diri untuk memilih jalan Munaslub sebelum masa pemilihan umum.
Seberapa besar kemungkinan Munaslub bisa terlaksana? Dan, apa risiko politik yang akan terjadi?
Ada beberapa indikator untuk memprediksi kemungkinan tersebut. Pertama, suara pengurus daerah. Berdasarkan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Partai Golkar, Munaslub hanya bisa dilakukan bila diusulkan oleh dua pertiga dewan pengurus daerah (DPD) provinsi. Artinya, persyaratan dukungan pelaksanaan Munaslub paling sedikit diusulkan oleh 26 dari 38 DPD provinsi.
Kedua, Munaslub hanya mungkin terjadi bila terjadi pengembangan perkara terhadap Airlangga Hartarto, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar yang menjadi Menteri Koordinator Perekonomian, dalam kasus penerbitan izin ekspor minyak sawit mentah (CPO). Kasus ini tengah diselidiki Kejaksaan Agung.
Bila kedua hal tersebut tidak terjadi, hampir sulit Munaslub bisa digelar dalam situasi krusial menjelang pemilu. Tindakan itu akan sangat berisiko secara politik elektoral dan stabilitas internal.
Kartu Truf
Desakan untuk menggelar Munaslub cukup deras, terutama di kalangan politikus senior Golkar. Namun, bila tidak ada perkembangan terbaru terhadap perkara korupsi CPO, posisi Airlangga sebenarnya relatif kuat.
Paling tidak ada dua kartu truf yang dipegang Airlangga. Pertama, pengesahan Daftar Calon Tetap (DCT) anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang baru akan disahkan pada akhir November 2023. Para elite di pusat atau daerah akan berhitung betul untuk bermanuver karena bisa saja tindakan mereka akan mengancam pencalonan mereka dalam pemilu legislatif.
Para inkumben dan pemimpin partai tentu akan merasa lebih nyaman untuk mendukung status quo karena bisa mendapatkan kepastian pencalonan. Bila kepemimpinan internal berubah karena Munaslub, hal itu bisa saja mengubah nomor urut dan daerah pemilihan mereka dalam DCT.
Kartu truf kedua adalah usulan pergantian antar-waktu bagi anggota DPR yang dianggap berlawanan dengan Ketua Umum Partai Golkar. Pergantian anggota atau pencopotan jabatan ini bisa saja terjadi untuk merespons gejolak internal.
Kartu truf terakhir berhubungan dengan pergantian ketua DPD provinsi. Masih simpang siurnya rumor di lingkup internal partai serta peta kekuatan antar-faksi yang masih kabur membuat pemimpin daerah partai lebih memilih untuk bermain aman.
Risiko
Dalam situasi politik yang kompetitif dan durasi persiapan menjelang pemilu yang sudah mepet, inisiatif pelaksanaan Munaslub sebenarnya berisiko bagi Golkar. Risiko itu bersumber dari ketidakmampuan Golkar untuk secara efektif mempersiapkan konsolidasi politik bila Munaslub terjadi. Belum lagi soal terjadinya pembelahan di tingkat elite antara kubu pendukung dan penentang Munaslub. Pengalaman konflik Golkar pada 2014 antara kubu Aburizal Bakrie dan Agung Laksono yang terjadi selama kurang-lebih dua tahun, misalnya, telah membuat Golkar kehilangan banyak waktu untuk berbenah.
Dalam waktu yang tersisa menjelang pemilu, Golkar lebih baik mempersiapkan konsolidasi internal untuk menyambut pesta demokrasi tersebut. Apalagi hingga kini tidak banyak terlihat konsolidasi nasional menjelang Pemilu 2024. Padahal kompetisi nanti tidak mudah bagi Golkar, mengingat tren suara partai yang terus menurun dari pemilu ke pemilu dan penguatan suara partai pesaing.
Pada Pemilu 1999, Golkar masih mendapatkan suara sebesar 22,44 persen, berada di bawah PDI Perjuangan yang mendapatkan 33,74 persen suara. Pada Pemilu 2004, meskipun Golkar berhasil tampil sebagai pemenang dengan perolehan suara nasional sebesar 21,62 persen, persentasenya lebih rendah dibanding Pemilu 1999.
Dalam tiga pemilu setelahnya, perolehan suara Golkar pada tingkat nasional tidak pernah lagi menembus angka 15 persen. Bahkan, tren suara Golkar cenderung mengalami penurunan. Pada Pemilu 2009, suaranya turun menjadi 14,45 persen, lalu nyaris tak berubah pada Pemilu 2014 dengan raihan 14,75 persen suara, dan turun lagi ke angka 12,31 persen pada Pemilu 2019.
Untuk merespons situasi internal ini, sebaiknya Ketua Umum Golkar mulai mempersiapkan pidato politik untuk menjelaskan langkah strategis partai dalam menghadapi Pemilu 2024 dan menentukan lebih cepat arah koalisi dalam pemilu presiden. Kepastian mengenai langkah strategis partai ini mungkin bisa meyakinkan elite partai di pusat dan daerah terhadap kepemimpinan Airlangga.
Ke depan, Golkar perlu memikirkan secara serius untuk mengatur masa jabatan yang tetap (fixed term) bagi ketua umum partai seperti dalam sistem presidensial. Hal itu penting agar posisi ketua partai tidak rentan diganggu karena ada manuver politik internal. (*)
Arya Fernandes, Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS