Wacana

Puasa, Altruistik, dan Bahagia

UKURAN kebahagiaan tidak bisa dipatok dengan ukuran tunggal seperti tulisan di Tajuk Rencana harian Kompas, 21 Maret 2023. Setiap orang punya ukuran kebahagiaan yang tak sama. Orang yang punya harta berlebih belum tentu lebih bahagia dari mereka yang berpenghasilan pas-pasan.

Saat ini, sebagian besar umat Islam pasti mengalami kebahagiaan dengan datangnya bulan Ramadhan. Kebahagiaan umat Islam pada bulan itu terefleksi dari kesiapan umat Islam melakukan ibadah puasa dan berbagai ibadah lainnya selama satu bulan sesuai tuntunan Nabi Muhammad SAW.

Altruistik puasa Ramadhan

Salah satu tanda keimanan seorang Muslim adalah kebahagiaan atas datangnya bulan Ramadhan. Ibarat menyambut tamu agung yang dinanti-nantikan, semua perlu dipersiapkan, termasuk kesiapan hati menyambut tamu agung tersebut. Nabi dalam salah satu hadisnya menyindir orang yang tidak merasa bahagia atas kedatangan bulan Ramadhan sebagai orang yang mengkhawatirkan. Tuhan telah mencabut salah satu kenikmatan berupa kebahagian hati menyambut kedatangan bulan suci tersebut.

Esensi kebahagiaan menyambut Ramadhan bukan sekadar limpahan pahala dan rahmat yang diberikan Tuhan bagi yang menjalankan puasa sesuai tuntunan. Doktrin nabi tentang Ramadhan sebagai bulan surprise ditawarkan kepada siapa saja, baik dia yang berlumur dosa maupun orang-orang yang saleh sekalipun. Ramadhan bagaikan jalan tol bagi pengendara mobil, yang dalam waktu relatif singkat dapat memperpendek waktu dan jarak tempuh dibandingkan pengendara di luar tol.

Kebahagiaan yang utama dari momen puasa Ramadhan adalah kebahagian ikut merasakan penderitaan kaum duafa dan terlibat meringankan beban hidup mereka yang sepanjang tahun mengalami kekurangan (papa). Ramadhan datang mengajarkan umat Islam merasakan perihnya perut yang tidak tersentuh makanan dan minuman selama sehari.

Di tengah perih panas matahari, orang yang berpuasa tidak boleh tergoda melampiaskan lapar dan dahaga meskipun hanya sesuap nasi dan seteguk air putih. Selama sebulan turut merasakan kehidupan kaum papa yang terbiasa dengan perut keroncongan dan serba kekurangan.

Puasa Ramadhan juga mengajarkan umat Islam sikap altruistik, yang peduli kepada sesama. Sikap mendahulukan orang lain (itsar) adalah spirit yang diajarkan Islam. ”Sebaik-baik orang adalah yang paling berguna bagi orang lain” (HR At-Thabrani). Sikap altruistik terejawantah dari ketinggian derajat orang yang melakukan amal jariyah, berupa sedekah, infak, wakaf, dan zakat selama Ramadhan.

Sikap altruistik menghasilkan puncak kebahagiaan yang luar biasa bagi yang melaksanakannya. Meskipun tidak mendapat imbalan berbentuk harta dan takhta, di alam bawah sadar ada imbalan berbentuk rasa bahagia dan puas terhadap diri sendiri yang muncul setelah berbuat kebaikan. Perasaan seperti ini membuat seseorang mau melakukan sikap altruistik.

Selain yang telah disebut di atas, masih ada beberapa teori di balik mengapa seseorang mau melakukan altruistik. Sebuah teori mengatakan, altruistik dapat melepaskan perasaan negatif dan stres dalam diri seseorang karena ia menjadi bisa merasa bersyukur saat melihat ada orang yang lebih susah darinya.

Altruistik juga dihubungkan dengan rasa empati. Seseorang akan lebih terdorong melakukan altruistik jika kemampuan berempatinya kuat. Rasa empati kepada anak kecil baru berkembang pesat di usia dua tahun ke atas. Inilah sebabnya anak usia di bawah dua tahun masih sering bersikap posesif dan tidak mau berbagi.

Sikap alturistik ini bukan hanya menghasilkan pahala yang berlipat ganda seperti konsep amal jariyah dalam Islam, yakni amal yang selalu produktif, sekalipun pelakunya telah meninggal, karena harta yang bernilai guna bagi agama dan masyarakat. Sikap altruistik ini, jika dihubungkan dengan teori piramida kebutuhan manusia Abraham Maslow, maka semakin tinggi kebutuhan manusia semakin abstrak pula kebutuhannya.

Pada tingkat paling bawah, manusia butuh makan dan minum sebagai kebutuhan biologisnya. Di atas kebutuhan biologis adalah kebutuhan kasih sayang, ketenteraman, dan rasa aman. Lebih atas lagi adalah kebutuhan akan perhatian dan pengakuan. Yang tertinggi adalah kebutuhan akan aktualisasi diri yang menurut Kang Jalal dalam bukunya Madrasah Ruhaniyyah diistilahkan at takamul al ruhani, yaitu kesempurnaan jiwa manusia.

Kebahagiaan Ramadhan

Jika seorang yang melayani Tuhan dan kemudian tidak melayani manusia, dia shalat sunah, dia bertadarus Al Quran di bulan Ramadhan, dan itikaf, tetapi dia membiarkan orang-orang itu menjadi tertindas dan kelaparan, Tuhan pun bertanya kepadanya, ”Kamu telah melayani Aku dengan baik, tetapi apa yang kamu bawa untuk-Ku?”

Melayani manusia adalah berkhidmat kepada manusia dan pengkhidmatan itulah oleh-oleh untuk kekasih kita, Tuhan. Cara berkhidmat kepada manusia adalah mencintai manusia. Belajar untuk mencintai manusia dan melayani manusia.

Itulah sebabnya Allah berfirman dalam hadis kudsi ”bahwa manusia yang dicintai oleh Allah adalah manusia yang paling banyak melayani manusia”. Ramadhan menjadi bulan mulia karena banyak manusia yang melayani manusia, sekalipun melayani orang yang berbuka puasa dengan sebutir kurma.

Meskipun sudah berpuluh tahun melaksanakan puasa Ramadhan, jika ukuran kebahagiannya masih pada kebanggaan memamerkan deretan mobil mewah, harta berlimpah, dan rumah megah kepada orang lain, puasanya telah gagal. Puasa Ramadhan seharusnya melahirkan manusia altruistik, bukan anak kecil berusia dua tahun yang belum bisa merasakan bahwa ukuran kebahagiaan adalah berbagi dengan sesama. (*)

 

Arfanda Siregar,  Mudir Islamic Center Ali Bin Abi Tholib, Dosen Politeknik Negeri Medan

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.