Rapor Kesehatan Kita
SEMBILAN dari sepuluh target pembangunan jangka menengah bidang kesehatan terancam tidak tercapai.
Hal itu diungkapkan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa dalam rapat dengan Komisi XI DPR, 5 Juni 2023 lalu. Dari 10 indikator itu, sembilan masih jauh dari target yang harus tercapai tahun depan.
Imunisasi dasar lengkap bayi baru mencapai 63,17 persen dari target 90 persen. Angka balita tengkes (stunting) masih tinggi, yakni 21,6 persen, dari target 14 persen. Eliminasi malaria baru mencapai 372 dari target 405 kabupaten/kota. Eliminasi kusta hanya mencakup 403 dari target 514 kabupaten/kota.
Insidensi TBC masih di angka 354, dari target 297 per 100.000 populasi. Balita bertubuh kurus (wasting) masih 7,7 persen dari target 7 persen. Dan, angka perokok anak masih 9,1 persen dari target turun sampai 8,7 persen.
Indikator berikutnya yang gagal terpenuhi targetnya adalah terkait fasilitas pelayanan kesehatan (faskes). UUD 1945 Pasal 34 Ayat 3 jelas menyebutkan kewajiban negara untuk menyediakan faskes berkualitas. Kementerian Kesehatan kepanjangan tangan negara yang paling bertanggung jawab atas terpenuhinya kewajiban ini.
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)/puskesmas yang terakreditasi hanya mencapai 56,4 persen dari target 100 persen, dan pemenuhan tenaga kesehatan (nakes) di puskesmas sesuai standar hanya 56,07 persen dari target 83 persen puskesmas.
Selain UU No 44/2009 tentang Rumah Sakit (RS), kita juga tidak pernah punya UU tentang fasilitas pelayanan kesehatan. Pengaturan puskesmas hanya termuat dalam Permenkes No 43/2019, sebagai peraturan pelaksanaan dari UU No 36/2009 tentang Kesehatan.
Terkait pemenuhan nakes di puskesmas, seperti dilaporkan Katadata, dari total 10.292 puskesmas, 3.285 puskesmas (31,6 persen) tak punya dokter gigi. Padahal, tersedia 2.500 lulusan dokter gigi baru setiap tahun, dan dari total 42.000 dokter gigi umum, baru sekitar 30 persen yang bekerja di faskes milik pemerintah (https://pdgi.or.id). Jelas terlihat di sini adanya mismatch dan persoalan sebenarnya lebih pada distribusi SDM dokter, dokter gigi, dan nakes lainnya, bukan pada produksinya semata.
Satu-satunya target yang tercapai adalah turunnya tingkat obesitas penduduk dewasa yang bisa 21,8 persen.
Meski demikian, menurut BPS, pada September 2022 terjadi kenaikan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan (pendapatan per kapita Rp 535.000 per bulan) sebesar 10,16 persen dibandingkan pada September 2021. Bisa jadi turunnya jumlah dewasa obesitas lebih disebabkan oleh bertambahnya jumlah dewasa yang semakin kurus akibat dari kemiskinan.
Dampak ke SDM
Kegagalan pencapaian target RPJMN Kesehatan ini bukanlah persoalan sederhana. Tak tercapainya program imunisasi dasar lengkap pada bayi serta masih tingginya angka balita tengkes akan berakibat pada rendahnya kualitas SDM Indonesia di masa depan.
Anak-anak ini nantinya pada 2045 akan berusia 22-27 tahun, para pemuda yang diharapkan jadi bagian dari kelompok produktif yang kita harapkan sebagai bonus demografi. Namun, akibat dari tengkes dan kegagalan vaksinasi dasar, bukannya bonus demografi, tapi sebaliknya ”bencana demografilah” yang akan terjadi.
Pencapaian target imunisasi dasar pada bayi dan program penurunan angka anak balita stunting tidak ada kaitannya dengan kurangnya dokter spesialis serta RUU Kesehatan yang akan dipaksakan untuk disahkan oleh Kementerian Kesehatan.
Tidak adanya dokter gigi di lebih dari 3.000 puskesmas, serta tidak adanya nakes sesuai standar pada hampir separuh puskesmas, menurut penulis, bukan kesalahan organisasi profesi atau karena belum adanya UU yang mengatur nakes.
Kembali ke renstra
Untuk tercapainya semua indikator terkait RPJMN 2020- 2024, mestinya Kementerian Kesehatan mengikuti standard operating procedure (SOP) yang sudah digariskan, yaitu Permenkes No 13/2022 tentang Perencanaan Strategis (Renstra), sebagai pelaksanaan RPJMN Kesehatan 2020-2024.
Transformasi enam pilar dan RUU omnibus law Kesehatan tak sejalan dengan Renstra Kemenkes. Bisa jadi ada kesalahan berpikir (logical fallacy) di sini.
Contoh sederhana, terkait penyakit jantung sebagai penyebab kematian lebih dari 250.000 orang Indonesia setiap tahun, Menteri Kesehatan selalu mengulang-ulang menyatakan ini terjadi karena fasilitas intervensi/pasang ring jantung (cathlab) hanya ada di 44 dari 540 RSUD kabupaten/kota. Jadi solusinya adalah pengadaan alat cathlab untuk semua RSUD kabupaten/kota.
Terlihat di sini yang dilihat hanya tataran paling hilir, dan tidak pernah bicara bagaimana agar orang tidak sakit jantung.
Sebagaimana diketahui, hipertensi dan penyakit gula (DM) adalah penyebab paling sering dari serangan jantung. Pengelolaan hipertensi dan DM yang baik di puskesmas terbukti bisa menurunkan angka kematian akibat penyakit jantung.
Rilis yang dibuat Perhimpunan Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) menjelaskan, untuk 9,4 juta kasus jantung tersedia 169.000 dokter umum, 5.380 spesialis penyakit dalam, dan 1.500 dokter spesialis dan subspesialis jantung. Semua, termasuk nakes dan bahkan tenaga non-medik, punya peran sesuai tingkatannya untuk menangani penyakit jantung.
Contoh peran masyarakat/non medis dalam penanganan pertama serangan jantung adalah saat seorang artis ternama mengalami serangan jantung di Bandara Soekarno-Hatta, di situ tersedia alat untuk pertolongan pertama berupa defibrilator atau AED, tapi tak seorang pun yang bisa mengoperasikan alat tersebut.
Jadi, solusinya bukan selalu cathlab, karena di Jepang semua pekerja di tempat umum, termasuk resepsionis hotel dan pegawai kantor kecamatan, sudah mendapatkan pelatihan untuk mengoperasikan alat defibrilator atau AED tersebut.
Update data dari American Heart Association tahun 2022 menyebutkan bahwa angka rata-rata kematian penyakit jantung adalah 239,8 per 100.000, atau hampir 240.000 orang per 100 juta populasi, tertinggi di Eropa Timur dan Asia Tengah.
Jadi, untuk Indonesia yang populasinya hampir 280 juta, angka 250.000 kematian akibat sakit jantung ini relatif rendah, separuh dari angka dunia.
Untuk bisa mencapai keberhasilan pemenuhan target indikator perbaikan layanan kesehatan, kita harus kembali kepada Renstra yang telah ditetapkan Kemenkes sendiri dengan berpedoman pada RPJMN 2020-2024 Bappenas. (*)
ZAINAL MUTTAQIN, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Pengamat Bidang Kesehatan