Reviu Pelaksanaan Anggaran Papua Barat (bag-2)
Permasalahan yang dihadapi
Dalam rangka mencapai pelaksanaan anggaran yang berkualitas (spending better), perlu adanya monitoring dan evaluasi sebagai upaya dalam mengidentifikasi permasalahan dan mengakomodasi solusi untuk memberikan dampak positif bagi kinerja pelaksanaan anggaran pada satuan kerja K/L di Papua Barat.
Berbagai kendala yang terjadi pada awal tahun anggaran hingga berakhirnya semester I tahun 2023 dapat dijadikan bahan evaluasi yang kiranya dapat diminimalisasi pada sisa tahun anggaran dan/atau pada tahun anggaran berikutnya. Berbagai permasalahan yang terjadi antara lain:
Pertama, adanya konflik sosial seperti permasalahan hak ulayat, pemalangan, KKB di Kab. Maybrat dan sebagainya yang berdampak pada penundaan atau keterlambatan pekerjaan konstruksi (infrastruktur).
Kedua, kondisi geografis dan kewilayahan serta cuaca yang menghambat proses pelaksanaan pembangunan khususnya penyerapan belanja modal jalan dan jembatan (infrastruktur).
Ketiga, Kepatuhan administrasi pengelolaan dana hibah sering terlambat sehingga berdampak pada keterlambatan pelaksanaan kegiatan dan menumpuk di akhir tahun.
Keempat, rendahnya pemahaman dan perhatian satker terhadap pentingnya kesesuaian perencanaan dan pelaksanaan anggaran. Salah satu yang terdampak adalah penyerapan belanja barang dan belanja modal pada sebagian satker cenderung lambat di awal tahun namun menumpuk di akhir tahun (pola slow-back loaded expenditure). Mayoritas satker tidak memiliki rencana/kalender kegiatan yang dapat digunakan sebagai dasar pembuatan rencana penarikan dana bulanan.
Kelima, keterbatasan kuantitas dan kualifikasi SDM dalam memahami peraturan serta teknis perencanaan dan pelaksanaan anggaran. Pedoman yang sering berubah-ubah hampir tiap tahunnya juga menjadi penyebab keterbatasan SDM dalam memahami peraturan. Sebagai contoh penyesuaian pejabat perbendaharaan terkait pengelolaan anggaran yang tertuang pada PMK Nomor 62 Tahun 2023 yang mencabut PMK 199/PMK.05/2021 terkait tata cara revisi anggaran diperkirakan akan memakan waktu yang cukup lama. Contoh lainnya, keterbatasan kualitas SDM juga berimbas pada keterlambatan beberapa kegiatan seperti lelang. Pejabat perbendaharaan cenderung tidak memahami pelaksanaan kontrak pra DIPA, proses lelang, serta kendala penggunaan aplikasi.
Selain itu, masih banyak satker khususnya satker DK/TP yang kurang aware dan concern terhadap penilaian kinerja satker seperti yang tertuang pada Peraturan Dijten Perbendaharaan Nomor PER-5/PB/2022. Keterbatasan SDM dalam memahami formulasi/perhitungan nilai kinerja satker berdampak pada rendahnya nilai yang diraih pada beberapa satker. Permasalahan kualitas SDM lainnya yaitu seringnya frekuensi mutasi pejabat perbendaharaan yang berdampak pada terputusnya transfer knowledge dan legacy kepada pejabat yang baru.
Keenam, pada satker Dekonsentrasi (DK) dan Tugas Pembantuan (TP) terjadi keterlambatan penetapan pejabat perbendaharaan oleh Kuasa Pengguna Anggaran yang disebabkan oleh perombakan pejabat tinggi madya di tingkat provinsi, sehingga pelaksanaan anggaran di awal tahun belum dapat dieksekusi dan hingga berakhirnya semester I 2023, terdapat 16 satker DK/TP yang belum merealisasikan belanja.
Ketujuh, belum adanya tindak lanjut dan kejelasan atas pembukaan pagu blokir dan/atau automatic adjustment. Salah satu yang mempengaruhi hal tersebut adalah kurangnya koordinasi dan sinergi pada Unit Eselon I dan satker vertikal yang ada di regional Papua Barat dan Papua Barat Daya. Adanya pagu blokir/automatic adjustment berdampak pada kesulitan satker dalam menyusun rencana kegiatan terutama pada komponen belanja modal.
Kedelapan, merujuk pada Perpres Nomor 17 Tahun 2019 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah untuk Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat untuk memajukan pengusaha asli Papua. Dalam pelaksanaannya masih terdapat keterbatasan vendor/penyedia yang memenuhi kualifikasi sehingga berpotensi menyebabkan penundaan beberapa proyek yang disebabkan oleh keterlambatan pelaksanaan lelang dalam rangka pemenuhan kualifikasi tersebut. Sebagai contoh pelaksanaan preservasi jalan ruas Sisu – Snopy – Gunung Pasir
Kesembilan, masih rendahnya penyedia barang/jasa yang menerima pembayaran dengan Kartu Kredit Pemerintah (KKP) melalui mesin EDC. Sehingga ketidakoptimalan tersebut berdampak pada pengelolaan Uang Persedian di beberapa satker. Selain daripada itu pembayaran dengan kartu kredit dikenakan biaya Surcharge sebesar 2-3% yang tentunya akan membebani satker.
Sepuluh, implementasi Digipay Satu dinilai rumit oleh satker. Tahapan seperti negosiasi antara satker dan penyedia barang/jasa berimbas pada lamanya kesepakatan antara kedua belah pihak. Selain itu, sering kali terjadi permasalahan sistem terkait status barang. Hal ini sempat dikeluhkan oleh vendor yang telah merekam produk barang/jasa namun status yang muncul pada sisi satker menyatakan bahwa status belum di-publish oleh vendor. Permasalahan lainnya yaitu perhitungan pajak pada saat belanja belum diakomodasi dengan pemotongan pajak secara otomatis.(bersambung). ***
Susanto, Kepala Bidang PPA I Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Papua Barat