Reviu Pelaksanaan Anggaran Papua Barat (bag-3)
Rekomendasi
Berdasarkan permasalahan pelaksanaan anggaran yang terjadi sebagaimana tertuang pada tulisan sebelumnya, maka perlu kiranya rekomendasi sebagai upaya strategi untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan anggaran. Beberapa rekomendasi tersebut antara lain:
Pertama, terkait permasalahan konflik sosial, perlu kiranya pendekatan khusus kepada masyarakat di wilayah Papua dengan melibatkan tokoh agama, tokoh adat, pejabat setempat, akademisi, serta APH dalam proses negosiasi.
Kedua, dalam rangka percepatan pelaksanaan pekerjaan konstruksi, perlu kiranya penyusunan timeline pekerjaan dengan memperhitungkan faktor-faktor penghambat seperti cuaca dan kondisi geografis sebagai langkah antisipatif serta perlu kiranya koordinasi yang baik antara pengelola keuangan dan pelaksana kegiatan.
Ketiga, sebagai upaya pelaksanaan anggaran yang bersumber dari hibah agar lebih tertib, perlu kiranya penegasan sebagai pengganti dari PMK Nomor 99/PMK.05/2017 atau kebijakan turunan khususnya hibah uang dalam negeri terkait penetapan batas waktu dari setiap langkah yang harus dilakukan oleh satker dengan tujuan untuk meningkatkan kedisiplinan satker terhadap pengelolaan keuangan negara yang bersumber dari hibah.
Keempat, strategi untuk meningkatkan capaian kinerja satker, perlu kiranya kebijakan dari masing-masing K/L untuk memberikan reward and punishment terhadap kesesuaian dan ketepatan satker dalam melakukan update revisi halaman III DIPA serta ketercapaian indikator lainnya. Selain itu, perlu dilaksanakan koordinasi melalui FGD/sosialisasi yang bisa melibatkan KPPN/Kanwil DJPb di lingkup wilayah atau FGD yang dilakukan terpusat oleh K/L dengan mengadopsi berbagai inovasi seperti Workshop secara periodik.
Kelima, dalam rangka meningkatkan kapasitas dan kualitas SDM pejabat perbendaharaan, perlu kiranya disusun regulasi turunan dari PMK No. 62 Tahun 2023 terkait teknis penunjukan pejabat perbendaharaan dan kualifikasinya. Bagi Pusat Pendidikan dan Pelatihan Anggaran dan Perbendaharaan, perlu kiranya merumuskan penetapan jadwal sertifikasi bendahara secara tertulis (kebijakan) tiap dwimingguan dengan memberikan kuota maksimal per K/L dengan memperhitungkan kebutuhan pada satker-satker vertikal di daerah serta melibatkan peran aktif dari KPPN sebagai validator awal pada teknis aplikasi dalam menyosialisasikan pentingnya pejabat perbendaharaan yang memiliki kualifikasi.
Selain itu, perlu kiranya percepatan pendaftaran sertifikasi kompetensi PPK dan PPSPM oleh satker dengan mengacu pada PMK 211/PMK.05/2019 dan percepatan pendaftaran sertifikasi bendahara dengan mengacu pada PMK 126/PMK.05/2016. Adapun KPA perlu memastikan adanya transfer knowledge sebelum adanya pergantian pejabat perbendaharaan dan selalu berkoordinasi dengan KPPN setempat.
Keenam, pada pelaksanaan pengelolaan anggaran oleh satker DK/TP yang sebagian besar mengalami permasalahan keterlambatan penetapan pejabat perbendaharaan, perlu kiranya penegasan dari K/L terkait dibantu dengan penerbitan Surat Kepala Kanwil Ditjen Perbendaharaan dan Kepala KPPN seperti penegasan kembali penetapan pejabat perbendaharaan dengan mengacu pada PMK 62 Tahun 2023 bahwa pejabat perbendaharaan sebagai eksekutor anggaran tahun anggaran sebelumnya masih tetap eksisting apabila tidak terdapat SK penetapan di tahun anggaran berjalan untuk segera mengeksekusi anggaran tanpa harus menunggu SK penetapan dari KPA di awal tahun. Hal ini untuk memitigasi/menghindari terjadinya keterlambatan pelaksanaan kegiatan apabila terdapat isu mutasi pejabat tinggi madya (KPA).
Ketujuh, selain strategi percepatan pembukaan blokir anggaran dengan mengacu pada PMK Nomor 62 Tahun 2023, perlu kiranya penegasan kebijakan terkait batas maksimal penyelesaian atau pembukaan blokir hingga berakhirnya semester I tahun berjalan. Hal tersebut mampu mendorong percepatan penyerapan anggaran satker sehingga permasalahan terkait penumpukan penyerapan di akhir tahun mampu dimitigasi.
Kedelapan, untuk menjawab keterbatasan pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang mengharuskan kualifikasi pemilik saham OAP lebih dari 50 persen sesuai dengan Peraturan Menteri PUPR Nomor 25 Tahun 2020, perlu kiranya penegasan berupa kebijakan turunan untuk memitigasi pasal pengecualian bagi satker yang berada pada lokasi yang tidak memenuhi kriteria dan/atau batas waktu pelaksanaan lelang pada penyedia dengan kualifikasi pemilik saham OAP lebih dari 50 persen untuk digantikan dengan penyedia pada pelaku usaha secara umum agar tidak terjadi keterlambatan kontrak di tahun berjalan. Selain itu, hal tersebut bertujuan untuk meminimalisasi pengenaan sanksi yang tercantum pada Pasal 25 ayat (2) dan (3) Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2019.
Kesembilan, dalam mengoptimalkan KKP serta Digipay Satu, perlu adanya penegasan kebijakan sebagai turunan dari PMK Nomor 97/PMK.05/2021 terkait kewajiban penyedia barang/jasa yang memenuhi kesesuaian spesifikasi teknis dan volume barang/jasa dianjurkan memiliki mesin EDC atau paling tidak terintegrasi dengan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) yang merupakan inovasi aplikasi pembayaran bank dan nonbank melalui kode QR. Selain itu, perlu kiranya penegasan terkait petunjuk teknis penggunaan, syarat dan ketentuan yang berlaku, hingga peraturan terkait pemotongan dan pemungutan perpajakan pengadaan barang/jasa melalui platform Digipay Satu. (Tamat). ***
Susanto, Kepala Bidang PPA I Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Papua Barat