Wacana

Ruang Inklusi bagi Masyarakat Adat

DI tengah cibiran banyak pihak atas upacara pembukaan Olimpiade Paris 2024, saya justru memandang ada pesan penting yang hendak disampaikan, yakni pentingnya menciptakan ruang inklusif bagi masyarakat termarginalkan, seperti masyarakat adat. Pembukaan Olimpiade yang pertama kalinya digelar di luar stadion itu menyajikan adegan teatrikal Ratu Prancis Marie Antoinette yang dipenggal dengan guillotine.

Adegan itu seolah-olah mengingatkan kita bahwa kekuasaan tak boleh lalim dan zalim, apalagi meminggirkan masyarakat marginal. Dari pembukaan Olimpiade itu, saya rasa penting bagi kita mendiskusikan ruang kuasa inklusi dalam setiap kebijakan negara.

Saya akan mengambil tempat belajar dari masyarakat adat. Sebab, di tengah mencuatnya rekognisi global terhadap masyarakat adat, Indonesia justru tertatih-tatih dalam menepati janji untuk mempertahankan hak-hak masyarakat adat atas tanah, budaya, dan sumber daya alamnya.

Setidaknya ada enam isu krusial yang dihadapi masyarakat adat di Indonesia saat ini. Pertama, pengakuan dan pelindungan hak atas tanah adat. Masyarakat adat kerap mengalami konflik dengan perusahaan dan pemerintah terkait dengan klaim atas tanah adat mereka. Sertifikasi dan pengakuan resmi atas tanah serta hutan adat sering kali sulit didapatkan sehingga mereka rentan terhadap pengambilalihan lahan oleh pihak ketiga.

Kedua, pelindungan hukum dan hak asasi manusia. Masyarakat adat sering kali tidak memiliki akses memadai pada sistem peradilan serta pelindungan hukum yang sangkil dan mangkus.

Ketiga, hilangnya budaya dan identitas. Modernisasi dan urbanisasi membawa perubahan signifikan dalam gaya hidup serta nilai. Banyak tradisi dan bahasa lokal punah karena generasi muda lebih banyak terpapar budaya global serta nasional.

Keempat, akses terbatas pada pendidikan dan kesehatan. Masih banyak warga dari komunitas adat yang kesulitan mendapatkan akses terbatas atas layanan dasar, seperti pendidikan dan kesehatan. Hal ini berdampak pada rendahnya kualitas hidup dan kesempatan mereka untuk berkembang.

Kelima, diskriminasi dan stigma sosial. Masyarakat adat tak jarang menghadapi diskriminasi dan stigma dari masyarakat umum. Mereka sering dianggap sebagai kelompok tertinggal dan terpinggirkan sehingga menghambat integrasi sosial serta ekonomi mereka.

Keenam, kerusakan lingkungan. Aktivitas industri dalam penebangan hutan, pertambangan, dan perkebunan besar hampir pasti merusak lingkungan alam yang merupakan sumber kehidupan masyarakat adat.

Meletakkan Dasar Berbagi Kuasa

Cita-cita luhur dalam mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 adalah keberadaan negara dimaksudkan untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia. Untuk mewujudkan tatanan sosial yang adil, dibutuhkan suatu sistem penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat, baik dari segi ekonomi maupun budaya.

Sistem penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam juga harus menempatkan rakyat sebagai aktor serta tumpuan utama. Prinsip ini perlu didasari penghormatan terhadap nilai-nilai hak asasi manusia, keadilan, keberagaman budaya, dan kelestarian ekosistem.

Seharusnya kebijakan penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam bersumber pada keyakinan bahwa rakyat memiliki kemampuan mengurus diri sendiri. Kebijakan itu juga harus dilandasi semangat penghormatan terhadap kemampuan rakyat untuk menentukan pilihan yang baik menurut keyakinannya.

Kebijakan seharusnya berperan bukan hanya dalam mewujudkan tatanan sosial yang adil, melainkan juga dalam menata sistem penguasaan dan pengelolaan sumber daya yang menempatkan rakyat sebagai aktor utama. Dasar konstitusional atas kebijakan tersebut merupakan titik tolak untuk memahami fondasi pengaturan mengenai masyarakat yang terpinggirkan, termasuk masyarakat adat.

Tiga Ruang Inklusi

Saat ini negara setidaknya sudah membuat 47 regulasi di tingkat undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, serta 461 produk hukum daerah yang mengatur keberadaan dan hak masyarakat adat (HuMa, 2024). Di antara ratusan regulasi tersebut, ada pertanyaan mendalam dan mendasar, sudah sejauh mana kualitas kebijakan yang mengakomodasi kebutuhan masyarakat adat itu dilakukan?

Kemudian muncul pertanyaan lain, apabila Undang-Undang Masyarakat Adat disahkan hari ini, apakah kebijakan itu lantas akan selalu berpihak pada masyarakat adat? Apa yang akan menjamin bahwa negara tidak akan membuat produk hukum lain yang justru mengabaikan keberadaan dan hak masyarakat adat?

Di tengah rezim yang memanipulasi hukum prosedural seperti sekarang ini, menurut saya, hal yang penting dibahas bukanlah hanya soal capaian regulasi. Keberadaan sistem nilai—baik ekonomi, politik, hukum, maupun budaya—dalam regulasi sangat penting. Dengan demikian, ia tak hanya menjadi sebuah penjelasan yang deskriptif-analitik atas peraturan perundang-undangan (law in the book). Sistem nilai itu juga membahas bagaimana hukum dijalankan dalam masyarakat adat (law in action) dan melakukan aksi hukum lebih dulu.

Dalam menjalankan aksi hukum, alangkah elok bila pengorganisasian ditata ulang. Seperti yang disebut oleh filsuf Karl Popper (1966) sebagai piecemeal social engineering. Istilah ini merujuk ketika perubahan sosial tercapai melalui proses perbaikan sedikit demi sedikit, setahap demi setahap, dan pada bagian demi bagian.

Proses aksi hukum dengan pendekatan piecemeal approach ini dapat dibagi ke dalam tiga ruang inklusi. Pertama, ruang inklusi rekognisi. Maknanya adalah pengakuan tuntas terhadap hak asal-usul masyarakat adat. Pengakuan berlandaskan pada fakta bahwa masyarakat adat sudah ada sejak lama, bersama segala hukum adat yang dimiliki oleh mereka, bahkan sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri.

Dalam konteks Indonesia, kemajemukan masyarakat sebetulnya telah diakui secara konstitutif. Buktinya terlihat dari adanya penghormatan atas berbagai kesatuan masyarakat hukum adat, seperti desa, nagari, gampong, banua, lembang, pakraman, atau sebutan lainnya. Rekognisi ini juga meliputi keragaman, organisasi, susunan asli, basis material, dan hukum adatnya.

Kedua, ruang inklusi subsidiaritas. Ruang ini bermakna penetapan kewenangan dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat itu sendiri. Konsekuensinya, negara menetapkan kewenangan berskala lokal-adat. Negara tidak boleh campur tangan terlalu dalam pada urusan adat, juga tidak boleh mengambil urusan dan aset adat.

Penggunaan ruang inklusi subsidiaritas ini akan melahirkan organisasi pemerintahan yang paling bawah, paling depan, dan paling dekat dengan masyarakat. Artinya, pemerintahan dengan sistem adat menjadi representasi kepentingan masyarakat, bukan sebagai kepanjangan pemerintah supra-desa. Adanya ruang inklusi subsidiaritas ini akan berdampak pada tumbuhnya inisiatif dan eksistensi lokal yang lebih dihargai, dipercaya, serta ditantang untuk melakukan perubahan sendiri.

Ketiga, ruang inklusi warga. Ruang ini berlaku dalam konteks pemenuhan layanan publik. Ruang ini menjadi titik tolak bahwa gerakan masyarakat adat juga harus berpihak pada kerentanan kelompok, seperti perempuan, anak-anak, kelompok disabilitas, atau kelompok minoritas lainnya. Keberadaan ruang ini menjadi jaminan pelimpahan sebagian urusan pemerintahan sekaligus menjadi pengikat hubungan antara negara dan rakyatnya dalam hal partisipasi penuh.

Ketiga ruang inklusi ini, jika terwujud, dapat memberikan ruang otonom kepada rakyat. Dengan demikian, dalam menerapkan prinsip kehidupan bermasyarakat, proses perubahan itu dapat berjalan seperti apa yang diucapkan Tan Malaka: “terbentur, terbentur, dan… terbentuk”. (*)

 

Agung Wibowo, Koordinator Eksekutif Perkumpulan HuMa Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.