Wacana

Sastra Kita Masih Hidup

Setelah lima tahun tidak berjumpa, seorang sahabat bercerita mengenai penciptaan sebuah karya dengan bercanda mengatakan, sastrawan saat ini luar biasa banyaknya. Tidak dipungkiri, karya Dee Lestari, Ayu Utami, dan Eka Kurniawan adalah karya-karya mutakhir.  Namun, tetap saja sastrawan Angakatan 45 yang masih eksis dan terkenal hingga hari ini. Para sastrawan yang menafsiran dengan gaya klasik serta memberikan sentuhan sosial-politik. Sastrawan yang memiliki proses kreatif yang tinggi, penyampaian emosional yang baik, dan ketaitan dengan fenomena saat ini.

Sastra masih hidup?

Sastrawan Ali Akbar Navis (A.A. Navis) memiliki karya yang mengandung nilai budaya dan sosial yang kental. Misal, “Robohnya Surau Kami” yang menceritakan cara hidup beragama masyarakat Minangkabau serta unsur budaya matrilinear yang diperlihatkan dalam karyanya. Beda lagi dengan Joko Pinurbo (Jokpin), penyair satu ini memiliki puisi-puisi yang memikat di hati penggemarnya. Pada larik puisinya dalam ”Kamus Kecil” (2014), “Saya dibesarkan oleh bahasa Indonesia yang pintar dan lucu walau kadang rumit dan membingungkan.” Atau pada larik “Bahasa Indonesiaku yang gundah membawaku ke sebuah paragraf yang tersusun di atas tubuhmu”. Ini membuktikan bahwa, beliau memerhatikan bagaimana keberadaan bahasa Indonesia dalam puisinya.

Berbicara sosok Wiji Thukul beserta perjalanan sastranya. Teks-teks dari Wiji Thukul dianggap sebagai sosok atau penggambaran dari egaliter sosial prolentar dari pada teks Chairil Anwar. Wiji Thukul tidak memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi, namun ia juga tidak buta huruf. Karya-karya Wiji Thukul secara garis besar menggunakan rasa. Karyanya juga menyuarakan mengenai perlawanan dan teks-teksnya yang jujur pada diri sendiri. Namun kenyataannya, kejujuran teks puisi dari Wiji Thukul  justru dimusuhi pemerintahan orde baru saat itu. Kepenyairan tidak perlu dicari tetapi tumbuh dan muncul di dalam diri kita. Wiji Thukul dihilangkan hanya karena satu larik atau satu kata yakni “Lawan!”. Diculik bersama 13 aktivis yang sampai saat ini belum ditemukan akibat rezim orde baru. Ini menggambarkan bagaimana kedudukan sastra penting dalam dunia politik Indonesia.

Sastra tergeser?

Sekarang ini karya sastra (maksudnya novel dan cerpen) banyak ditemukan dan berlimpah di dunia maya. Setiap kita bisa menjadi seorang pengarang. Apa yang kita rasakan, apa yang ingin kita ceritakan, dan apa yang ingin kita tulis, semua dapat dituangkan ke dalam cerpen atau novel. Banyak juga aktivitas-aktivitas yang merubah cara pikir seseorang melalui alat-alat canggih elektronik yakni internet. Banyak informasi yang bermunculan dengan kebudayaan-kebudayaan baru yang semakin populer yang justru memberi dampak besar dalam dunia sastra. Seorang pengarang hanya perlu diberikan tempat dan dapat dibaca oleh orang banyak. Mudah sekali bukan berkarya saat ini? Dengan satu kali klik, sebuah karya dapat mendunia.

Sejauh ini karya sastra sudah banyak yang dicetak dan diterjemahkan ke bahasa asing. Namun, hal itu tidak bisa dijadikan alat ukur kemajuan sastra maupun karya sastra. Tidak cukup juga dengan karya yang dicetak berulang-ulang  hingga puluhan kali dan diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Kecuali karya Pramoedya Ananta  Toer yang telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 30 bahasa asing dan tidak tertandingi oleh pengarang Indonesia mana pun. Itulah mengapa Pramoedya mendapat tempat istimewa dengan kepandaiannya melihat  minat pembaca karyanya.

Sejalan perkembangannya, keberadaan sastra bukan lagi sebagai tulisan saja tetapi menjadi sebuah acuan bagi masyarakat. Karya sastra hari ini semakin berpengaruh besar terhadap industrialisasi. Produksi sastra semakin tinggi, ketika kebutuhan juga meningkat. Dimana masyarakat selain bekerja, mereka membutuhkan suatu hiburan dalam kehidupannya. Hal inilah mengapa sastra mempunyai akar kebutuhan sendiri. Kebutuhan yakni selera masyarakat dalam menentukan mana yang mereka inginkan. Selain itu, pasar industri sastra menyediakan tempat atau media massa sebagai bisnis yang menguntungkan. (*)

 

Tri Pujastuti, Penyuluh Bahasa KKLP Pembinaan dan Bahasa Hukum

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *