Wacana

Semua Anak Bangsa Diajak Membumikan Pancasila

MASIH punya maknakah memperingati hari lahir Pancasila? Apakah masih ada yang kita banggakan dari Pancasila? Dan, apakah Pancasila itu sendiri masih berarti bagi hidup manusia Indonesia?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus selalu ditanyakan. Bukan demi retorika belaka, melainkan demi makin mendalamnya penghayatan kita pada Pancasila dalam menghadapi aneka tantangan yang selalu saja menyoal kepantasan Pancasila sebagai dasar negara yang terus dirongrong.

Rongrongan ini bahkan bukan hanya dari segi ideologis, melainkan juga praksis. Lihatlah betapa banyak pelanggaran praksis Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan oleh manusia itu sendiri yang terjadi bukan hanya secara aksidental, melainkan juga masif dan terkoordinasi.

”Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhan-nya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara berkebudayaan, yakni dengan tiada egoisme agama…. Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain.” Demikianlah Soekarno pada 1 Juni 1945 memperkenalkan sila Ketuhanan.

Esensi dari semua agama adalah iman dan kepercayaan kepada Tuhan itu sendiri, maka prinsip Ketuhanan hendak menohok kepada esensi dan jantung dari semua agama. Jika inti semua agama adalah adanya Tuhan, maka prinsip Ketuhanan hendak memosisikan bahwa Indonesia tidak mau meributkan hal-hal yang tidak esensial yang berkait dengan ”tetek-bengek” formalisme agama saja.

Bangsa ini ber-Tuhan, tetapi bukan negara agama, maka sebaiknya memang sembahlah Tuhan sesuai dengan iman masing-masing secara leluasa dalam semangat menghargai sambil menjauhkan egoisme agama. Bukankah itu yang sebenarnya dikehendaki Soekarno ketika mempromosikan sila Ketuhanan?

Pemahaman semacam ini ternyata masih harus terus diperjuangkan karena secara ideologis dan praksis memang tidak semua sepaham. Semua agama bahkan mempunyai ideologi bahwa jalannyalah yang paling benar. Apa yang di luar agamaku tidak ada keselamatan, wajib dikafirkan, bahkan halal dimusnahkan juga.

Praksis dari hal tersebut tentu amat meresahkan sebagaimana apa yang tampak dari begitu sensitifnya isu agama di tengah masyarakat. Agama pun menjadi mainan dan tunggangan yang menggoda demi mencapai tujuan politik karena aspek sensitifnya tadi.

Sangat mudah mencari simpati ketika ayat dikemukakan, sehingga dengan jelas akan terbedakan mana yang masuk golongan kita dan mana yang bukan. Agama lalu menjadi motif yang seakan absah untuk dimainkan di segala lini (misalnya pendidikan, sosial-kemasyarakatan, budaya, dan ekonomi) karena aspek sensitivitas tadi.

Dan terjadilah jika sila Kemanusiaan hanya disempitkan pemaknaannya hanya sejauh yang beragama sama saja. Manusia seakan-akan harus membela dan menghargai sesama manusia yang beragama sama secara adil dan beradab, tetapi boleh menganggap rendah serta membenci pemeluk agama lain dan yang tidak sealiran dengan cara yang tidak adil dan bahkan biadab. Pemaknaan semacam ini tentu berimbas kepada bagaimana semunya rasa persatuan sebagai bangsa.

”Apakah yang dinamakan bangsa? Apakah syaratnya bangsa? Menurut Renan, syaratnya bangsa adalah kehendak bersatu. Orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu.” Demikianlah Soekarno menyitir pendapat Ernest Renan ketika mengusulkan prinsip kebangsaan yang sekarang berbunyi sila Persatuan Indonesia. Selalu harus direnungkan dari saat ke saat ancaman yang akan mengganggu kehendak untuk bersatu ini. Harus diakui sensitivitas yang disebut di atas kerap mengoyang kehendak bersatu ini.

Prinsip mufakat

Pembelahan yang terjadi karena sensitivitas agamis yang dimainkan dalam proses peraihan kekuasaan mengakibatkan munculnya blok cebong dan kampret yang sampai hari ini masih terus bermanifestasi dalam berbagai bentuk. Apakah ini yang dinamakan kehendak bersatu?

Benar saja kalau kemudian prinsip mufakat sangat sulit untuk dicapai di segala lini. Hal ini diperparah oleh ”westernisasi” demokrasi Pancasila yang seharusnya dicirikhasi oleh musyawarah dan berganti dengan serba voting.

Kekuasaan rakyat lalu diterjemahkan menjadi suara terbanyak yang kerap mengabaikan peran dialog dan musyawarah. Kebenaran seakan-akan ditentukan oleh sang pendulang suara terbanyak, lalu menghasilkan luka dari pihak yang dikalahkan yang termanifestasi dengan segala bentuk ”kenyinyiran” yang tiada ujung.

Bangsa ini kemudian lupa berdialog dan duduk bersama. Semua aspek kehidupan kemudian dianggap sebagai perang yang harus dimenangi sehingga tidak heran jika teman bercengkerama di warung kopi kemudian menjadi musuh karena berbeda pilihan politik.

Agama, budaya, dan ras kemudian ditumpahkan ke dalamnya menjadi bumbu penyedap dari keterbelahan yang merusak kodrat manusia Indonesia yang terbiasa untuk berembuk dan bergotong royong. Imbas dari ini semua mengakibatkan semakin jauhnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Soekarno menuntup pidatonya pada 1 Juni 1945 dengan, ”Maka dari itu, jikalau Bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu menjadi satu realiteit, yakni jikalau kita ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationalitet yang merdeka, ingin hidup yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup di atas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup serba sejahtera dengan aman, dengan Ketuhanan yang sempurna, janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, ialah perjuangan, perjuangan, dan sekali lagi perjuangan.”

Penutup tersebut memberi harapan. Tidak ada waktu untuk berputus-asa dalam lembah kelemahan karena ternyata memang semua harus terus diperjuangkan. Ada banyak hal yang memang harus dibenahi supaya pertanyaan di awal tulisan ini menjadi terjawab. Harus ada banyak perbaikan supaya hidup beragama kita menjadi sungguh ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.

Bertuhan ternyata harus dijalankan dengan cara yang berbudaya, yaitu dengan memperlalukan semua orang sebagai manusia secara adil, dan bukannya biadab. Hal inilah yang akan menyebabkan bangsa ini mudah mewujudkan Persatuan Indonesia yang dijalankan dengan cara musyawarah mufakat, demi mencapai keadilan bagi seluruh rakyat. Jika hal yang jahat saja diusahakan, mengapa untuk hal yang baik kita tidak mau memperjuangkan?

Apa yang sudah baik harus terus dirawat, dan bagi yang kurang baik selalu diundang kepada kebaikan. Pancasila ternyata adalah butir-butir kebaikan yang harus terus diperjuangkan supaya menjadi nyata dalam keseharian. (*)

 

Agustinus W Dewantara, Dosen STKIP Widya Yuwana Madiun.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.