Wacana

Sertifikasi Halal UMK Pangan

KINERJA sertifikasi halal menunjukkan perkembangan positif walaupun masih berjalan lambat. Selama lima tahun terakhir, tepatnya sejak berdirinya Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) pada Oktober 2017, sekitar 750 ribu produk telah tersertifikasi halal.

Secara rata-rata, terdapat 250 ribu produk setiap tahun, utamanya produk pangan, telah tersertifikasi halal. Ini suatu lompatan signifikan dibandingkan 100 ribu produk per tahun sebelum 2017.

Data BPJPH Kementerian Agama menunjukkan, sejak awal 2023 sekitar 2.200 sertifikasi halal telah diterbitkan, yang meliputi 38.500 produk, utamanya produk pangan termasuk dari usaha mikro dan kecil (UMK).

Dunia usaha dan masyarakat luas masih harap-harap cemas apakah target 10 juta sertifikasi halal pada 2024 dapat dicapai atau tidak. Jumlah UMK di Indonesia sangat banyak, sekitar 40 juta unit yang tersebar hingga pelosok daerah.

Tiga masalah utama yang dihadapi UMK bidang pangan dalam implementasi sertifikasi halal, khususnya deklarasi sendiri, dapat diikhtisarkan sebagai berikut. Pertama, jumlah dan kapasitas sumber daya manusia (SDM) sebagai penyelia halal terbatas. Kedua, pengetahuan dan keterampilan dalam membuat manual halal sederhana tidak memadai. Ketiga, daftar bahan halal dan dokumen pendukung tidak mampu disediakan sehingga usulannya sering ditolak Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Artikel ini menganalisis kinerja kebijakan sertifikasi halal berikut permasalahan di tingkat organisasi dan administrasi serta implementasinya di lapangan. Penutup artikel ini adalah rekomendasi percepatan sertifikasi halal ke depan.

Reforma kebijakan sertifikasi halal

Reforma regulasi jaminan produk halal dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal, yang merupakan turunan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Penetapan kehalalan produk dilakukan dalam sidang fatwa halal oleh MUI. Keputusan kehalalan produk disampaikan MUI kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Pasal 33).

Pemerintah juga memperluas Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang kini bisa dilakukan lembaga keagamaan Islam berbadan hukum, perguruan tinggi negeri, dan perguruan tinggi swasta di bawah lembaga keagaam Islam berbadan hukum atau yayasan Islam berbadan hukum (Pasal 13).

Untuk keperluan tersebut, lembaga keagamaan Islam dapat menyiapkan auditor halal (Pasal 14). Sertifikasi halal untuk UMK tidak dikenakan biaya (Pasal 44).

Kewajiban bersertifikasi halal didasarkan pada pernyataan atau deklarasi pelaku UMK sendiri berdasarkan standar halal yang ditetapkan BPJPH (Pasal 14). Proses memperoleh sertifikasi halal bagi UMK maksimal 21 hari (Pasal 29-35).

Di tingkat hulu, ketersediaan bahan halal memang sangat terbatas, khususnya informasi daging halal. Jumlah rumah potong hewan (RPH) dan rumah potong umum (RPU) yang telah bersertifikat halal kurang dari 15 persen dari 1.329 RPH/RPU di seluruh Indonesia.

Persentase tersebut tentu lebih rendah dibandingkan jumlah RPH/RPU untuk pasar tradisional, walau tidak tersedia data secara pasti.

Sebenarnya, BPJPH telah memberikan banyak pelatihan kepada pendamping proses produk halal (PPH) walaupun cukup sedikit dari pendamping PPH ini, yang bersedia melaksanakan pekerjaannya di lapangan.

Insentif atau honor untuk pendamping PPH dan lembaga PPH sangat kecil dibandingkan volume pekerjaan dan tanggung jawab moral yang diembannya.

Mekanisme sertifikasi halal

Mekanisme dan proses sertifikasi halal deklarasi sendiri dapat diikhtisarkan, pertama, pelaku UMK mengajukan permohonan sertifikasi halal melalui BPJPH yang terintegrasi dengan online single submission (OSS) Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Kedua, pendamping PPH melakukan input dokumen hasil verifikasi/validasi di lapangan. Ketiga, lembaga pendamping memeriksa ulang dokumen hasil verifikasi/validasi pendamping.

Keempat, BPJPH memverifikasi data pelaku UMK menggunakan machine learning pada sistem SIHALAL, apakah telah sesuai kriteria self-declare atau tidak.

Kelima, setelah proses validasi otomatis menggunakan artificial intelligence, BPJPH menyetujui dokumen hasil verifikasi/validasi menggunakan Sistem Pengambilan Keputusan. Lalu keenam, MUI menjadwalkan tanggal sidang fatwa dan menerbitkan ketetapan halal.

Sedangkan ketujuh, BPJPH menerbitkan sertifikat halal secara digital, kadang terintegrasi dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).

Implementasi dari mekanisme dan proses sertifikasi halal di lapangan terkadang banyak menghadapi kendala. Bahkan, verifikasi pada sistem SIHALAL masih dilakukan secara manual petugas BPJPH. Tahapan prosedur 1 sampai 5 di atas memerlukan waktu lebih dua hari.

Demikian pula, proses penerbitan ketetapan halal memerlukan waktu lebih dari tiga hari, karena proses sidang fatwa MUI dilakukan setelah beberapa pengajuan permohonan dari UMK memenuhi syarat minimal tertentu.

Terkadang prosedur 6 di atas perlu waktu dua pekan untuk memperoleh jadwal sidang. Selama ini, jadwal sidang fatwa terpusat di MUI Pusat.

Sekali lagi, proses sertifikasi halal bagi UMK tak dikenai biaya alias nol rupiah.

Sumber pembiayaan utamanya berasal dari APBN (Pasal 81) dan bisa dari APBD, pembiayaan alternatif UMK, dana kemitraan, hibah pemerintah atau lembaga lain, dana bergulir, atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat.

Walaupun demikian, pelaku UMK sering tidak menindaklanjuti temuan kekurangan saat audit oleh LPH.

Rekomendasi percepatan

Pertama, perbaikan sektor hulu pertanian dan peternakan melalui peningkatan jumlah RPH/RPU bersertifikat halal sebagai rantai pertama pada rantai nilai halal, khususnya produk daging dan turunannya.

Kedua, percepatan ketersediaan dan peningkatan kapasitas penyelia halal dan/atau pendamping PPH pelaku UMK yang kompeten, sehingga kelemahan atau kekurangan dapat diantisipasi sebelum audit, melalui suatu audit internal yang benar.

Ketiga, pendaftaran halal secara paralel oleh UMK ke BPJPH dan LPH. UMK dapat memilih LPH di daerah, terutama untuk produk UMK yang dipasarkan di tingkat lokal/nasional. LPH ini melakukan audit tanpa harus menunggu Surat Tanda Terima Dokumen (STTD) dari BPJPH.

Keempat, penambahan SDM di BPJPH yang kompeten untuk menangani pendaftaran sertifikasi halal, setidaknya untuk mempercepat proses verifikasi dan validasi data lapangan.

Kelima, desentralisasi fatwa halal kepada MUI daerah, utamanya untuk produk UMK yang memiliki cakupan pemasaran lokal di daerah atau tingkat provinsi. MUI pusat dapat lebih fokus pada produk UMK yang memiliki cakupan pemasaran nasional dan global. (*)

Bustanul Arifin, Guru Besar UNILA dan Ekonom INDEF

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.