Tak Ada Wasiat Saling Membenci
TIDAK ada surat wasiat dari para pendiri bangsa untuk saling membenci. Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan tokoh-tokoh pendiri republik ini memberi contoh kecerdasan penuh kearifan: perbedaan politik dan cara berpikir tidak menghambat persaudaraan kebangsaan. Justru dengan perbedaan, bangsa kita bisa berkompetisi sehat, mewujudkan Indonesia bermartabat.
Namun, memori kolektif bangsa rupanya tidak kuat. Nilai-nilai para pendiri bangsa luput dijadikan orientasi pemikiran dan perilaku. Segala perbedaan disikapi secara kaku. Logika dikalahkan emosi. Kebenaran jadi pembenaran.
Lihatlah realitas politik kita hari-hari ini, terutama di media sosial. Para pengikut, pendukung, simpatisan parpol dan capres saling serang. Kekerasan verbal, auditif, dan visual jadi pemandangan yang memedihkan mata dan memerihkan hati. Masing-masing merasa paling benar, pintar, bersih, jujur, dan berprestasi.
Politik ”belah bambu” dijalankan secara ”baik” dan ”benar”: mengangkat tinggi-tinggi capres yang didukung dan menginjak kuat-kuat capres yang dianggap lawan atau bahkan musuh politik. Menjurus pada pembunuhan karakter.
Ini dilakukan siapa saja: mereka yang berafiliasi dengan parpol, buzzer resmi, amatir, simpatisan, hingga yang ”merasa terpanggil” jadi partisan demi ”cita-cita politik” tertentu. Semua pihak merasa jadi pemenang dan ”hero” politik.
Residu kebencian
Segala teks kampanye hitam berhamburan di media sosial. Memancarkan keburukan dan kebencian yang membuka ruang-ruang konflik horizontal dan vertikal. Kebencian yang meletup-letup di sana bisa jadi residu Pilpres 2014 dan 2019.
Namun, kebencian itu bisa juga bagian dari residu yang sudah ada jauh lebih lama. Ini akibat kekurangmampuan mengelola perbedaan yang berbasis primordialisme. Tak hanya bertalian dengan asal-asal sosial-kultural, agama, kesukuan, ras, golongan, dan kepercayaan, tetapi juga kekerabatan lintas batas dan ”klik” sosial, yang berbasis ”ideologi”. Di situ berlaku prinsip ”kami” dan ”mereka”. Dalam praktik di ranah sosial terjadi dikotomi in-group dan out-group. Orang lain yang dianggap berbeda diposisikan sebagai outsider.
Sebelumnya, residu kebencian itu tersimpan rapi di laci bawah sadar. Namun, seperti bom waktu, ia akan meledak pada saatnya. Kontestasi dan kompetisi politik menjadi momentum ledakan kebencian kolektif ini. Demokrasi yang mengutamakan kebebasan berbasis kearifan dan kecerdasan disalahpahami menjadi ruang mengekspresikan diri tanpa batas. Tanpa kendali.
Politik yang dijalankan berbasis etika, moral, integritas, pengetahuan, ilmu, dan keterampilan mampu mengangkat nilai-nilai persaudaraan bangsa dan kemanusiaan. Dalam politik yang berbudaya dan bermartabat, yang jadi isu utama adalah keadilan, kesetaraan, kohesi sosial, dan kesejahteraan.
Isu-isu itu secara bersama- sama diperjuangkan berbagai kelompok sosial dan politik dengan saling mengapresiasi dan berempati. Kekuasaan yang berjalan bukan kekuasaan yang didominasi dan dihegemoni, melainkan kekuasaan yang terbagi dan berkeadilan. Di situ hak semua warga negara dijamin untuk dipenuhi.
“Surga” yang hilang
Di dalam politik yang berkeadaban dan bermartabat, pelbagai bentuk ketidakadilan adalah luka peradaban yang menuntut tanggung jawab bersama untuk mengatasinya.
Begitu pula dengan berbagai penyimpangan etik dan moral serta prinsip keadilan yang bersinggungan dengan kekuasaan dan hajat hidup orang banyak. Misal korupsi, kekerasan atas hak asasi manusia, hambatan terhadap kebebasan menjalankan agama/keyakinan, dominasi destruktif kelompok mayoritas, dan lainnya.
Hal itu jadi tanggung jawab kolektif, terutama para penyelenggara negara dan elite politik. Tanggung jawab yang sama dituntut terkait penyelenggaraan pemilu yang jujur, adil, bersih, dan demokratis.
Mereka sadar atas peran politisi yang erat berhubungan dengan nilai-nilai profetik. Karena itu, menjalankan demokrasi yang berbudaya adalah ”ibadah” politik dan sosial yang berhukum wajib.
Mereka juga sangat sadar bahwa potensi destruktif pemilu harus diatasi agar tidak mengancam rajut kebangsaan. Mereka pun sangat piawai menjadi guru politik bagi para pengikut dan simpatisannya untuk tetap konsisten di jalur budaya di dalam beraspirasi.
Jika seluruh kesadaran dan kemampuan itu secara konsisten dijalani para elite politik dan bebotoh politik, maka pemilu/pilpres menjadi momentum pesta demokrasi yang memberikan pencerahan.
Masyarakat pun menjadi nyaman dan bahagia. Hasilnya bisa dipertanggungjawabkan secara etik, moral, budaya, sosial, dan politik. (*)
Indra Tranggono, Praktisi Budaya dan Esais