Tengkes dan Beban Ganda Perempuan
ANGKA tengkes (stunting) di Indonesia sebesar 21,6 persen pada 2022, menurun dari tahun sebelumnya. Meskipun menurun, angka ini menunjukkan bahwa lebih dari seperlima anak di Indonesia masih mengalami tengkes.
Standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk prevalensi tengkes suatu negara idealnya kurang dari 20 persen, sedangkan target pemerintah adalah 14 persen pada 2024. Dengan target ini, pemerintah perlu berusaha sangat keras untuk mencapainya karena perlu menurunkannya lebih dari 5 persen dalam 2 tahun.
Tengkes merupakan kondisi gagal tumbuh pada balita yang diakibatkan oleh kekurangan gizi kronis terutama pada 1.000 hari pertama kelahiran (HPK). Dalam jangka panjang, tengkes dapat memengaruhi kecerdasan dan tumbuh kembang anak, dan lebih jauh dapat memengaruhi kualitas generasi suatu bangsa. Tengkes dapat dicegah dengan pemenuhan gizi anak dan pengasuhan yang baik.
Pemenuhan gizi dan pengasuhan pada anak
Dalam budaya yang berkembang di masyarakat, tidak bisa dimungkiri bahwa beban pengasuhan anak lebih banyak berada di pundak ibunya. Selain ditempeli kewajiban untuk melakukan reproduksi, setelah melahirkan pun seorang perempuan masih dilimpahi kewajiban penuh dalam pengasuhan anaknya.
Isu beban ganda peran perempuan sudah bergulir sejak lama. Namun, perkembangan penyelesaiannya masih lambat. Hingga kini masih banyak masyarakat yang memandang bahwa pekerjaan rumah tangga sudah sewajarnya dikerjakan oleh perempuan (anak perempuan/istri/ibu), termasuk dalam hal pengasuhan anak seakan-akan menjadi tanggung jawab penuh ibunya.
Menurut The Asian Parent, Indonesia berada di peringkat ketiga sebagai negara fatherless atau father hunger terbanyak di dunia. Fatherless dimaknai sebagai hilangnya peran ayah dalam pengasuhan dan tumbuh kembang anak, yaitu keterlibatan fisik dan psikologis. Konsep pembagian peran yang selama ini kita kenal adalah ayah bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan ibu menyelesaikan seluruh urusan domestik, yaitu mengurus rumah dan anak.
Selanjutnya, terkait pemenuhan gizi anak juga seakan-akan hanya menjadi tanggung jawab ibu. Kewajiban untuk memberikan air susu ibu (ASI) dan makanan pendamping (MP) ASI yang bergizi kepada anak juga ada di pundak ibu. Jika terjadi sesuatu kepada anak, yang disalahkan adalah ibunya karena dianggap tidak memiliki kemampuan mumpuni untuk merawat anaknya, seakan-akan ibu berperan sendirian dari fase reproduksi dan setelahnya.
Padahal, di balik fase mengandung hingga menyusui, terdapat perjuangan seorang ibu untuk menjaga kesehatan janinnya dan agar ASI-nya dapat keluar dengan lancar, berusaha untuk menjaga kesehatan fisik dan mentalnya agar tidak memengaruhi kehamilannya, pasokan ASI setelah melahirkan, serta kesehatan buah hatinya. Peran ibu sangat besar dalam upaya penurunan tengkes. Akan tetapi, support system agar perempuan dapat berperan sebagai ibu dengan baik masih sangat minim.
Kenaikan partisipasi bekerja pada perempuan
Masih terkait pemenuhan gizi pada balita, pemberian ASI eksklusif pada balita juga berperan penting dalam pencegahan tengkes. Pemberian ASI menuntut kehadiran penuh ibu di samping anaknya. Hal ini berkebalikan dengan tren partisipasi bekerja pada perempuan. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) pada perempuan meningkat dari 51,88 persen pada 2018 menjadi 53,13 pada 2020.
Sudah lebih dari setengah perempuan memiliki kegiatan utama bekerja atau sedang mencari pekerjaan. Semakin banyaknya perempuan yang bekerja dapat mengurangi waktu bersama dengan anak. Biasanya peran pengasuhan dibagi dengan pekerja rumah tangga (PRT), menggunakan fasilitas daycare, atau anak dititipkan ke keluarganya seperti orangtua (kakek/neneknya). Hal ini juga berpengaruh kepada pemberian ASI eksklusif pada anak.
Berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017, semakin bertambahnya umur anak, persentase ASI eksklusif semakin menurun. Padahal, idealnya anak seharusnya diberikan ASI eksklusif hingga berusia enam bulan. Salah satu penyebab penurunannya kemungkinan kembalinya ibu untuk bekerja dan tidak semua tempat bekerja ibu mendukung untuk pemenuhan ASI eksklusif (seperti tersedianya ruang laktasi, kulkas untuk menyimpan ASI, dan fasilitas pendukung lainnya).
Kesadaran akan pentingnya pemberian ASI eksklusif sangat baik untuk perkembangan otak dan pembentukan imun masih rendah. Selain itu, pengetahuan tentang pentingnya pemberian ASI eksklusif juga belum tentu didapatkan oleh seluruh perempuan. Beban ini terasa semakin berat jika ibu tidak memiliki support system yang baik, apalagi jika memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah.
Pengasuhan dan pemenuhan gizi menjadi kunci pencegahan tengkes. Peran dan dukungan lingkungan sekitar khususnya ayah dalam rangka pengasuhan dan pemenuhan gizi pada anak harus terus ditingkatkan. Tugas domestik tidak seharusnya dibebankan hanya kepada perempuan (ibu), begitu pula urusan pemenuhan gizi dan pengasuhan anak.
Ayah dan ibu perlu saling mendukung satu sama lain, serta lingkungan masyarakat juga tidak ikut menekan peran perempuan sebagai ibu. Lebih luas, pemerintah perlu mendukung melalui regulasi untuk menyediakan fasilitas-fasilitas untuk mendukung peran perempuan sebagai ibu seperti keberadaan ruang laktasi. Kualitas perempuan sangat menentukan generasi penerus bangsa. (*)
Hanin Rahma Septina, ASN/Statistisi Badan Pusat Statistik (BPS)