Transisi Energi, G20, dan Peran PLTS Atap
TAHUN ini Indonesia memegang kursi presidensi G20. Salah satu tema yang dibahas pada G20 adalah transisi energi. Ini merupakan topik global yang menjadi tantangan ekonomi dunia, baik negara maju maupun berkembang, yang masih banyak mengkonsumsi energi fosil, penyebab perubahan iklim dan kerusakan alam.
Sejak 2019, pemerintah telah mempercepat program listrik 35 ribu megawatt (MW) untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Sayangnya, mayoritas pembangkitnya masih pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Dengan perlambatan ekonomi akibat pandemi Covid-19, terjadi kelebihan kesediaan pasokan energi. Akibatnya, terdapat antrean pembangkit batu bara yang akan memasuki jaringan sistem PT PLN (Persero).
Program pemerintah melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PLN 2021-2030 sangat diapresiasi karena tidak ada lagi pembangkit batu bara baru, tapi masih ada pembangkit batu bara yang terkontrak dari 2019. Dengan adanya antrean pembangkit batu bara, porsi untuk sumber energi bersih hanya sedikit. Agar energi bersih lebih banyak masuk, PLN membutuhkan permintaan yang lebih.
Di saat PLN butuh permintaan, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2021 mengenai pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap menawarkan berbagai hal menarik bagi sektor swasta dan pelanggan PLN untuk mengakses energi bersih secara murah dan mudah. PLTS atap juga menjadi salah satu opsi baru pelanggan PLN dalam mengurangi biaya tagihan listrik. Namun, menurut PLN, kehadiran PLTS atap dapat mengurangi jumlah penjualan listrik, yang merupakan sumber pendapatan PLN. Padahal Kementerian Badan Usaha Milik Negara menuntut pertanggungjawaban direksi dan komisaris BUMN apabila mengalami kerugian sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2022 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran BUMN.
Peraturan yang tumpang-tindih ini membuat PLN tertekan. Transisi energi ataukah keuntungan BUMN? Pada saat yang sama, pelanggan komersial, industri, dan rumah tangga sudah banyak yang tertarik untuk memasang pembangkit energi bersih. Bahkan beberapa perusahaan dituntut menggunakan energi bersih sepenuhnya pada 2030.
Demi menghormati regulasi dan menjaga permintaan tetap tumbuh, PLN akhirnya mengambil jalan tengah. Pelanggan PLN dapat memasang PLTS atap, tapi pengajuannya dibatasi hanya 15 persen dari yang seharusnya dan tetap dengan harga 65 persen dari tarif PLN (regulasi lama). Jalan tengah ini menunjukkan bahwa PLN lebih mengutamakan peraturan pemerintah mengenai BUMN.
Secara legal, peraturan pemerintah tersebut memang lebih kuat dibanding peraturan menteri. Dasar peraturan menteri tentang PLTS atap, sayangnya, juga tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Keputusan itu akan membuat PLN dan pemerintah harus menanggung konsekuensi atas adanya kemungkinan banyak pelaku usaha internasional yang telah berkomitmen harus hengkang ke negara lain yang energi bersihnya melimpah dan tenaga kerjanya murah, seperti Vietnam dan Laos. Pelanggan komersial juga sulit mendorong konsep bangunan hijau yang sumber listriknya berasal dari PLTS atap. Pelanggan rumah tangga yang ingin berhemat hanya dapat memasang 330-990 watt-peak, yang tidak memenuhi kaidah teknis dan ekonomis. Perkembangan PLTS atap terancam.
Pembatasan 15 persen kapasitas PLTS atap itu berasal dari asas kestabilan sistem PLN. PLN perlu memastikan sistemnya berkualitas dan kehilangan daya akibat hilangnya produksi surya/angin dapat mengakibatkan gangguan pada sistem. Tapi 15 persen itu sebenarnya tidak berarti bahwa setiap pelanggan dibatasi 15 persen dengan PLTS atap.
Pertama, batasan 15 persen itu merepresentasikan batasan penetrasi sumber energi surya/angin yang bersifat variabel dalam satu sistem/subsistem PLN agar tidak mengganggu sistem. Konteksnya adalah sistem/subsistem (per trafo tegangan rendah), bukan tiap meteran pelanggan. Saat ini, konteks sistem tersebut disalahterjemahkan menjadi 15 persen setiap pelanggan. Padahal tidak semua pelanggan akan memasang PLTS atap. Kalaupun semua pelanggan ingin memasang, PLN dapat mengatur jumlah yang mendaftar sehingga total seluruh pendaftar tidak melebihi 15 persen, bukan membatasi setiap pendaftar 15 persen sama rata. Sebagai alternatif, PLN dapat menentukan besaran 15 persen tersebut lebih dulu melalui kuota pendaftaran (siapa yang pertama mendaftar berhak mendapat kuota untuk memasang PLTS atap berapa pun).
Kedua, angka 15 persen ini berbeda-beda di setiap negara, tergantung seberapa andal dan canggih jaringan listriknya. Semakin kecil persentase penetrasi panel surya atau energi angin yang bisa diterima sistem/subsistem, semakin kurang andal sistem kelistrikannya. Angka 15 persen ini juga bukan harga mati dan bahkan dapat meningkat apabila ada peningkatan kualitas infrastruktur jaringan, rekayasa prakiraan produksi listrik surya/angin dan sistem operasi ketenagalistrikan, serta penambahan pembangkit fleksibel (gas atau air) atau penyimpan energi.
Ketiga, apabila 15 persen ini diterapkan per pelanggan, untuk mendapatkan PLTS atap yang ekonomis dan teknis, pelanggan diharuskan pindah daya. Artinya, pelanggan akan membayar lebih untuk pindah daya dan akan membayar tarif yang berbeda (berdasarkan tarif dasar listrik yang baru). Padahal tujuan PLTS atap adalah penghematan. Namun PLN sedang membangun paradigma di masyarakat bahwa membangun PLTS itu penuh biaya tambahan dan tidak menjadikan mereka hemat. Apabila ini diteruskan, transisi energi berasaskan masyarakat akan sulit tumbuh.
Keempat, tidak ada satu pun perusahaan utilitas di dunia yang menggunakan pembatasan per pelanggan. Semua melakukan pembatasan per sistem, setidaknya pelanggan dapat memasang sesuai dengan kapasitas meterannya saja atau bahkan bisa lebih selama kuota sistem/subsistem terjaga. Kajian International Energy Agency menunjukkan bahwa sebenarnya angka 15 persen itu merupakan batas dalam sebuah sistem, bukan dalam pelanggan.
Regulasi yang tumpang-tindih dan kurangnya dukungan PLN untuk PLTS atap dapat membuat Indonesia tertinggal dalam pengembangan PLTS atap dari negara lain, seperti Vietnam, Thailand, Filipina, dan Malaysia. Sebagai solusi, pemerintah dan PLN dapat duduk bersama untuk merumuskan seberapa besar penetrasi energi bersih yang diizinkan untuk setiap sistem PLN dengan sistem kuota. Sistem kuota dapat dikaji secara komprehensif dengan metode Integrasi Ketenagalistrikan Energi Terbarukan (RE Grid Integration). Dengan kuota tersebut, PLN dapat menawarkan sejumlah megawatt pemasangan melalui mekanisme pembangkit listrik independen (IPP) atau pengaju PLTS atap. Dengan prinsip first come first served, PLN dapat memberikan izin kepada pemasang energi bersih yang datang lebih dulu tanpa membatasi 15 persen di tingkat pelanggan, tapi di tingkat subsistem. Dorongan pemerintah untuk berinvestasi dalam meningkatkan kualitas keandalan sistem yang mendukung transisi energi juga dibutuhkan PLN dalam mengakomodasi program transisi energi.
Perhelatan G20 akan mencapai puncaknya pada 15 November nanti. Besar harapan bahwa dukungan dari pemerintah dan PLN terhadap transisi energi dapat memberikan contoh yang baik dalam perkembangan transisi energi di dunia. Perkembangan PLTS atap sangat membantu pemerintah dalam mengurangi biaya pembangkit-pembangkit fosil yang besar dan investasinya mahal. Bahkan, dengan transisi energi, Indonesia dapat menjadi game-changer dalam perkembangan ekonomi dunia. (*)
Eko Adhi Setiawan, Direktur Pusat Riset Energi Terbarukan Fakultas Teknik Universitas Indonesia.