Wacana

Transparansi Penunjukan Penjabat Kepala Daerah

KLAIM yang dilontarkan Presiden Joko Widodo ataupun Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, bahwa proses penunjukan penjabat kepala daerah telah berlangsung secara transparan, praktis hanyalah cakap angin belaka. Pada akhir Juli lalu, Komisi Informasi Pusat (KIP) memenangkan permohonan sengketa Indonesia Corruption Watch (ICW) melawan Kementerian Dalam Negeri mengenai masalah ini. Majelis Komisioner KIP memutuskan bahwa seluruh dokumen, baik peraturan yang menjadi acuan maupun berkas-berkas pendukung lain, seperti dasar pertimbangan penunjukan penjabat kepala daerah, merupakan informasi terbuka.

Sebelumnya, permohonan informasi yang dilayangkan ICW kepada Kementerian Dalam Negeri sejak 2022 justru direspons dengan pernyataan bahwa salinan keputusan pengangkatan penjabat kepala daerah, seluruh dokumen pendukung yang merupakan dasar pertimbangannya, hasil penilaian akhir Tim Penilai Penjabat Kepala Daerah, serta profil kandidat penjabat kepala daerah merupakan informasi yang dikecualikan untuk dibuka ke publik. Kementerian tampak menutup-nutupi proses pengisian posisi kepala daerah yang habis masa jabatannya sebelum pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada 2024.

Proses penunjukan penjabat oleh Kementerian tersebut selama ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021 dan Nomor 15/PUU-XX/2022. Dua putusan itu telah memberikan rambu-rambu mengenai bagaimana seyogianya pengisian posisi penjabat kepala daerah tetap dapat diselenggarakan secara akuntabel dan demokratis meski tidak dipilih langsung oleh rakyat. Majelis hakim konstitusi menegaskan bahwa pemerintah perlu menerbitkan peraturan pelaksana dari Pasal 201 Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah agar ada mekanisme yang terukur ketika menjaring kandidat penjabat. Selain itu, pemerintah diminta memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa proses penunjukan berlangsung secara terbuka, transparan, dan akuntabel. Mandat ini kemudian dipertegas oleh Ombudsman RI ketika menerbitkan laporan yang menyatakan proses pengangkatan penjabat kepala daerah kental akan maladministrasi karena tidak memiliki aturan turunan berupa peraturan pemerintah.

Meskipun demikian, Kementerian tetap berpegang pada pendiriannya bahwa perintah Mahkamah Konstitusi ataupun Ombudsman itu telah terakomodasi dengan terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati, dan Penjabat Wali Kota. Alih-alih menuntaskan permasalahannya, terbitnya peraturan ini justru melahirkan setidaknya tiga persoalan baru.

Persoalan pertama, keluarnya peraturan ini menimbulkan pertanyaan mengenai status sedikitnya 101 penjabat yang telah dilantik pada 2022 tanpa menggunakan dasar hukum teknis apa pun. Kedua, peraturan setingkat menteri tidak mungkin dapat memberikan daya ikat kuat bagi kementerian atau lembaga negara lain yang dilibatkan dalam proses penunjukan penjabat kepala daerah, terlebih mengatur presiden selaku atasan langsung Menteri Dalam Negeri. Ketiga, partisipasi publik telah dikesampingkan dalam seluruh tahapan penunjukan penjabat karena tidak ada satu pasal pun dalam peraturan itu yang menjamin partisipasi publik bermakna untuk dapat terlibat langsung dalam mengawasi pemilihan pengganti pemimpin daerah mereka masing-masing.

Apabila mempertimbangkan luasnya kewenangan Kementerian Dalam Negeri untuk memutuskan siapa saja yang akan ditunjuk sebagai penjabat, sulit untuk membantah bahwa seluruh proses yang telah berlangsung ini sarat dengan konflik kepentingan. Apalagi untuk menepis dugaan adanya upaya dari pusat untuk mengintervensi urusan daerah. Berdasarkan penelusuran ICW per 26 Mei 2023, dari 116 penjabat kepala daerah yang telah dilantik, mayoritas di urutan kedua berasal dari lingkungan Kementerian Dalam Negeri sendiri. Selain itu, ada tujuh penjabat lain yang terafiliasi ke tujuh kementerian.

Ada pula penjabat yang terlibat korupsi. Contohnya adalah Ridwan Djamaluddin, penjabat Gubernur Kepulauan Bangka Belitung pada 2022 yang sempat merangkap Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Ridwan kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh kejaksaan atas dugaan keterlibatan dalam kasus korupsi pertambangan nikel ilegal di Konawe Utara. Posisinya kemudian digantikan oleh Sekretaris Jenderal Ombudsman Suganda Pandapotan Pasaribu pada 31 Maret 2023. Tak lama berselang, Ombudsman menghentikan pemeriksaan terhadap Menteri Dalam Negeri atas dugaan penyimpangan prosedur dalam penunjukan kepala daerah yang dilaporkan oleh ICW, Kontras, dan Perludem.

ICW bahkan mendapati 51 penjabat itu tidak patuh dalam mengumumkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Semakin terang bahwa proses seleksi penjabat kepala daerah ini bermasalah sehingga sampai-sampai tidak mempertimbangkan aspek sesederhana kepatuhan pelaporan LHKPN.

Mendekati pengujung 2023, proses penunjukan 271 penjabat kepala daerah akan memasuki babak akhir. Masih tersisa waktu bagi pemerintah untuk membenahi penunjukan setidaknya 17 gubernur yang akan mengakhiri masa jabatannya mulai September mendatang. Bila tidak, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sebenarnya telah membantu Presiden Joko Widodo untuk menggembosi aspirasi otonomi daerah yang mengedepankan keterlibatan publik yang bermakna dalam penyelenggaraan demokrasi lokal. (*)

 

Yassar Aulia, Staf Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.