Waisak dan Moderasi Beragama
PEKAN lalu, seorang diplomat senior yang bersama saya sama-sama cukup lama bergelut di bidang kerukunan antar-kepercayaan, yang lazim disebut interfaith, menelepon saya. Setelah basa-basi melepas kangen, tiba-tiba beliau mengajukan sebuah pertanyaan yang tidak saya duga. Dia sangat paham bahwa di Indonesia terus digulirkan semangat moderasi beragama dan dia tahu persis hal ini sudah ada sejak saat menteri agama dijabat Lukman Hakim Saifuddin. Pertanyaan beliau adalah, saat ini makin banyak tokoh agama bicara moderasi beragama, lantas sebetulnya apakah kita memerlukan semangat moderasi beragama?
Saya sering membahas moderasi beragama di berbagai forum. Namun saya tahu penanya sendiri sudah sangat paham dan bahkan lebih paham dari saya mengenai masalah ini. Pertanyaannya membuat saya merenungkan kembali moderasi beragama kita.
Saya menarik renungan jauh ke bulan Agustus 2018. Saat itu, saya dan para tokoh agama yang tergabung dalam Centre for Dialogue and Cooperation Among Civilisations (CDCC) menyelenggarakan The 7th World Peace Forum (WPF) di Hotel Sultan, Jakarta. Acara itu dihadiri para petinggi negara, petinggi organisasi agama, dan perwakilan lain dari 43 negara. Temanya adalah “Jalan Tengah untuk Peradaban Dunia”.
Dalam acara itu, jalan tengah (middle path) yang dibahas meliputi tiga perspektif, yaitu agama, ideologi, dan ekonomi. Khusus jalan tengah dalam beragama sudah mengarah ke aspek-aspek moderasi beragama. Acara WPF ini menghasilkan pemahaman bersama untuk mengarusutamakan jalan tengah sebagai prinsip untuk mewujudkan peradaban dunia, termasuk implementasi dalam kehidupan beragama. Sebagai pemuka agama, mereka perlu menonjolkan keteladanan dan mempromosikannya agar jalan tengah dapat dilaksanakan dalam kehidupan beragama di masyarakat.
Moderasi Beragama
Pada Oktober 2019, buku berjudul Moderasi Beragama resmi diluncurkan oleh Kementerian Agama. Dalam peluncuran buku ini, menteri agama saat itu, Lukman Hakim Saifuddin, mengundang Profesor Komaruddin Hidayat sebagai pembicara. Menurut Komaruddin, pengertian moderasi beragama muncul karena ada dua kutub ekstrem, yakni ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Ekstrem kanan terlalu terpaku pada teks dan cenderung mengabaikan konteks, sedangkan ekstrem kiri cenderung mengabaikan teks. Maka, moderasi beragama berada di tengah-tengah dari dua kutub ekstrem tersebut, yakni menghargai teks tetapi mendialogkannya dengan realitas kekinian.
Saat ini, perkembangan situasi dalam dan luar negeri menunjukkan polarisasi kedua kutub yang semakin lebar dan menjadikan kesenjangan dalam berbagai aspek beragama semakin dalam. Dengan memperhatikan perkembangan tersebut, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas merumuskan rencana strategis yang harus diimplementasikan oleh unit-unit dalam bentuk program kerja konkret, dan manfaat yang dihasilkan dapat terukur.
Yang diprioritaskan dan mendapat perhatian khusus adalah penguatan moderasi beragama sebagai landasan utama pembangunan nasional yang telah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Bila program ini berhasil diterapkan, Indonesia akan dapat dinilai oleh dunia sebagai negara yang mampu memiliki corak beragama yang mengambil jalan tengah dengan indikator komitmen kebangsaan, antikekerasan, toleransi, dan menghargai kearifan lokal.
Waisak
“Jalan Tengah Meneguhkan Keluhuran Bangsa” adalah ajakan yang indah dan ajakan dari Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi) untuk Waisak tahun ini. Tema Waisak nasional, “Jalan Kebijaksanaan Menuju Kebahagiaan Sejati”, juga menggambarkan bagaimana sikap yang tidak berat kanan dan kiri adalah dasar mencapai kebahagiaan.
Waisak merupakan sebuah peringatan besar agama Buddha, yang tentu saja bukan hanya kita isi dengan ritual-ritual. Ini juga kesempatan yang baik untuk meninjau seberapa dalam pemahaman kita ihwal ajaran Sang Buddha, membersihkan batin, dan menimbang kembali seberapa jauh kita telah mengimplementasikan ajarannya dalam kehidupan.
Komunikasi yang terbuka, membangun hubungan sosial yang tulus, peduli kepada yang lain, mau memahami yang lain, menjaga toleransi, dan menghormati yang lain adalah dasar-dasar untuk dapat membenahi cara beragama sesuai dengan pemahaman moderasi beragama. Melaksanakan kebaikan yang diajarkan dalam agama merupakan bagian yang tidak dapat diabaikan dalam sikap beragama.
Waisak telah tiba. Marilah kita menggunakan kesempatan ini untuk memperkuat moderasi beragama sesuai dengan program pemerintah untuk esok hari yang lebih baik dan bahagia bagi seluruh manusia. Semoga semua makhluk hidup berbahagia. (*)
Philip K. Widjaja, Ketua Umum Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi)