Wacana

Wakaf Produktif untuk Umat dan Bangsa

PENGEMBANGAN sektor wakaf produktif melalui pemanfaatan instrumen keuangan syariah dengan penguatan modal sosial (social-capital), yakni serangkaian nilai atau norma yang dimiliki bersama di antara para anggota dari kelompok masyarakat yang saling terkait didasarkan pada nilai kepercayaan, norma, dan jaringan sosial.

Nilai dan kepercayaan merupakan salah satu kekuatan dalam pengembangan instrumen integrasi keuangan komersial dan sosial-syariah secara strategis yang dapat mendukung perekonomian nasional. Menurut Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, dalam webinar nasional virtual wakaf produktif “Era Baru Perwakafan Melalui Transformasi Digital dan Penguatan Ekosistem” (7/5/21) bersama Badan Wakaf Indonesia (BWI), Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), dan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) serta rangkaian Road to Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) 2021.

Terdapat empat hal yang perlu diperkuat, di antaranya pentingya penguatan gerakan masyarakat untuk melakukan transformasi wakaf produktif dapat menjadi pilar penting dalam perekonomian.

Dalam konteks ini hemat saya setidaknya ada lima permasalahan yang membuat lemahnya produktivitas wakaf saling terkait.

Pertama, secara umum masih lemahnya gerakan masyarakat untuk melakukan transformasi wakaf produktif dapat menjadi pilar penting dalam perekonomian.

Kedua, terbatasnya kemampuan dalam mendesain proyek produktif berbasis wakaf secara integral yang dapat mendukung antara proyek komersial dan proyek sosial.

Ketiga, kurangnya profesionalisme dalam mendesain manajemen keuangan yang terintegrasi antara instrumen keuangan sosial syariah dan instrumen integrasi keuangan komersial dan sosial syariah.

Sekadar contoh gerakan Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS) melalui Ritel SWR001 dan SWR002 masih berada di kelas menengah.

Keempat, rendahnya tingkat kepatuhan implementasi terhadap ketentuan syariah karena lemahnya literasi, edukasi, dan sosialisasi kepada pemangku kepentingan.

Kelima, belum meratanya pemahaman masyarakat terhadap digitalisasi wakaf yang memudahkan masyarakat untuk berpartisipasti dalam berwakaf mengakibatkan lambannya pertumbungan wakaf produktif.

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka pengelolaan wakaf masih berputar pada tiga M (makam, mushala, masjid). Hal ini meniscayakan pentingnya gerakan nasional secara simultan untuk menjadikan wakaf sebagai instrumen keuangan.

Dalam konteks ini tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan ekosistem perwakafan nasional, antara lain, pentingnya membangun ekosistem agar kepercayaan publik, kapasitas dan kompetensi pihak yang menerima harta benda wakaf untuk dikelola (nazhir), literasi dan edukasi dan sosialisasi perwakafan.

Kelembagaan BWI menurut Ketuanya Mohammad Nuh menyampaikan komitmen karena pertama bahwa Indonesia telah memasuki era baru (kebangkitan) perwakafan nasional. Kedua, hal ini ditandai oleh tumbuhnya kesadaran kolektif lintas struktur sosial untuk berwakaf, penggunaan teknologi dalam mengelola perwakafan.

Ketiga, tumbuhnya kesadaran dalam mengelola aset wakaf berbasis good waqf governance, diversifikasi harta khususnya wakaf uang yang lebih mudah dan fleksibel dengan penggunaan CWLS sebagai instrumen yang terjamin keamanan dan kepastian hasilnya.

Keempat, melakukan sinergi dengan Islamic social finance dengan Islamic Commercial Finance semakin kuat.

Di tengah terbatasnya pembiayaan melalui APBN dan masih berlangsungnya pandemi Covid-19, sangat membutuhkan instrumen keuangan sosial-syariah seperti wakaf dinilai sangat strategis mendukung program perlindungan sosial dalam menghadapi dampak sosial pandemi Covid 19.

Peran wakaf sebagai instrumen modal sosial (social-capital) sangat signifikan untuk menjaga dan memenuhi kebutuhan masyarakat dhuafa dalam bentuk pembiayaan syariah maupun dalam bentuk UMKM, sehingga dapat menjaga tingkat konsumsi dalam perekonomian nasional. Hal ini akan membantu upaya pemberdayaan umat secara signifikan.

Ada banyak instrumen pembiayaan yang berlangsung saat ini. Di antarnya CWLS berbentuk investasi sosial di Indonesia di mana wakaf uang yang dikumpulkan oleh BWI selaku nazhir melalui Bank Muamalat Indonesia dan BNI Syariah sebagai Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKSPWU) akan dikelola dan ditempatkan pada instrumen Sukuk Negara atau SBSN (Surat Berharga Syariah Negara) yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan dengan jangka waktu 5 tahun.

Keunggulang program CWLS adalah penyetor wakaf atau wakif bisa perorangan atau komunitas atau lembaga, dapat berwakaf secara temporer dengan minimal nominal Rp 3 juta dan minimum jangka waktu 5 tahun bersama pemangku kepentingan, yaitu Bank Indonesia sebagai fasilitator, BWI sebagai nazhir yang mengelola CWLS, Kementerian Keuangan berperan sebagai pengelola dana di sektor UMKM.

Keunggulan tersebut harus menggunakan dan memanfaatkan kemajuan teknologi digital akan menghasilan banyak manfaat, antara lain, pertama, mendorong produktivitas wakaf yang lebih signifikan dari sektor perwakafan nasional.

Kedua, teknologi digital menjadi pendukung sekaligus katalisator bagi aspek mobilisasi dan penyaluran dana wakaf. Ketiga, teknologi digital juga menjadi penguat jaringan sekaligus mendorong efisiensi pada pengelolaan dan efektivitas pada penggunaan dana atau aset wakaf yang dilakukan banyak lembaga keuangan sosial syariah di Indonesia.

Atas dasar ini mengajak para pemangku kepentingan untuk menggunakan momentum ini melakukan gerakan wakaf secara nasional melalui perguruan tinggi yang memiliki basis sumber daya manusia (SDM) yang menguasai informasi dan teknologi (IT) dan jaringan infrastruktur Perguruan Tinggi (PT) seluruh Indonesia, seperti Muhammdiyah, Nahdlatul Ulama, dan ormas lainnya. Namun hingga saat ini yang memiliki program Studi Zakat dan Wakaf terbatas pada Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta. (*)

 

Amirsyah Tambunan, Sekjen MUI Pusat, Pengurus Majelis Wakaf PP Muhammadiyah

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.