Berita Utama

Langgar Netralitas, 45 ASN Dilaporkan ke Kemendagri

JAKARTA — Netralitas aparatur sipil negara atau ASN di pemerintah daerah menjadi masalah yang terus berulang dalam pemilihan presiden dan legislatif. Hingga 21 November 2023, setidaknya 45 ASN dilaporkan ke Kementerian Dalam Negeri karena diduga bersikap tidak netral dalam Pemilu 2024.

Kerawanan pelanggaran netralitas di kalangan ASN ini diduga karena pejabat pembina kepegawaian (PPK) yang ada di tiap pemerintahan diisi orang-orang politik yang memiliki kepentingan di Pemilu 2024.

Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, mengatakan pelanggaran netralitas ASN di pemerintah daerah terjadi karena pejabat pembina kepegawaian (PPK) diisi orang-orang politik. ”Mereka adalah bupati, wali kota, dan gubernur, yang dalam hari-hari normal susah mencari yang netral. Apalagi menjelang Pemilu 2024, tingkat kontestasi semakin tinggi. Potensi ketidaknetralan ASN semakin menjadi-jadi,” katanya di Jakarta, Selasa (28/11/2023).

Robert menjelaskan, banyak ASN di daerah yang takut melawan atau menolak tugas dari atasannya karena nasib dan jabatan mereka tergantung oleh atasan, yang merupakan pejabat pembina kepegawaian. Hal itu kemudian mendorong banyaknya kasus-kasus pelanggaran netralitas ASN. ”Kalau pemimpinnya saja tidak netral, jangan berharap bawahannya netral,” katanya.

Mendukung calon kepala daerah

Berdasarkan laporan Kemendagri, 45 ASN di sejumlah pemerintah daerah yang dilaporkan melanggar prinsip netralitas itu terkait kasus dukungan kepada calon kepala daerah, mengadakan kegiatan mengarah pada keberpihakan, memasang spanduk dan baliho yang mempromosikan calon kepala daerah, menjadi anggota atau pengurus partai politik, kampanye atau sosialisasi media sosial, serta menghadiri pertemuan dengan peserta pemilihan kepala daerah.

Pelaksana Harian Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Togap Simangunsong menyebutkan, berdasarkan data dari Badan Kepegawaian Negara (BKN), 45 ASN yang melanggar prinsip netralitas itu berasal dari Provinsi Lampung (1 orang), Provinsi Banten (1), Kabupaten Gorontalo Utara (1), Kota Serang (1), Kota Balikpapan (1), Kabupaten Lampung Timur (1), Kabupaten Rembang (29), Kabupaten Brebes (1), Kabupaten Parigi Moutong (1), Kabupaten Enrekang (1), Kabupaten Gorontalo (1), Kabupaten Asahan (1), Kabupaten Majene (2), Kabupaten Grobogan (1), Bolaang Mongondow (1), dan Bengkulu Tengah (1).

Sebanyak 3 dari 45 orang yang diadukan kehilangan status kepegawaian karena diberhentikan, pensiun, atau pensiun atas permintaan sendiri. Mereka masing-masing berasal dari Kota Serang, Kota Balikpapan, dan Kabupaten Parigi Moutong. Sebanyak 15 ASN mendapatkan hukuman, yaitu di Provinsi Lampung (1), Provinsi Banten (1), Kabupaten Rembang (7), Kabupaten Asahan (1), Kabupaten Majene (2), Kabupaten Grobogan (1), Kabupaten Bolaang Mongondow (1), dan Kabupaten Bengkulu Tengah (2).

Sebanyak 25 ASN masih menunggu tindak lanjut penanganan dari Panitia Pemilihan Kecamatan, yaitu dari Kabupaten Rembang (22), Brebes (1), Enekang (1), dan Lampung TImur (1). Adapun ASN di Kabupaten Gorontalo Utara dan Gorontalo tidak terbukti bersalah.

Togap menjelaskan, terhadap pegawai negeri sipil yang melakukan pelanggaran kode etik dikenai sanksi moral terbuka dan tertutup hingga hukuman disiplin. Sanksi moral terbuka diberikan oleh instansi yang berwenang dan diumumkan secara terbuka, sanksi moral tertutup disampaikan secara tertutup atau terbatas.

Terdapat pula hukuman disiplin, mulai dari pemotongan tunjangan 25 persen selama 6 sampai 12 bulan. Selain itu bisa dikenai hukuman disiplin berat, seperti penurunan jabatan, pembebasan dari jabatan, dan pemberhentian dengan tidak hormat.

Berkaca pada pemilu sebelumnya, masalah netralitas selalu terulang. Pada Pemilu 2019, terdapat 827 ASN pemerintah daerah dilaporkan karena bersikap tidak netral. Dari jumlah itu, 606 ASN dinyatakan melanggar netralitas dan 302 orang mendapatkan sanksi. Sebanyak 72 ASN laporannya belum ditindaklanjuti.

Padahal, menurut Togap, dasar hukum netralitas ASN sudah jelas dan tertuang antara lain dalam Pasal 9 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara yang menjelaskan pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan semua partai politik. Selain itu, dalam Pasal 280 Ayat 1F Undang-Undang No 7/2017 tentang Pemilu juga disebutkan bahwa pelaksana dana tim kampanye dalam kegiatan kampanye pemilu dilarang mengikutsertakan ASN. Implementasi netralitas itu kemudian dituangkan dalam sejumlah larangan, seperti pejabat kepala daerah dilarang melakukan pencopotan spanduk, baliho, umbul-umbul, bendera peserta partai pemilu tanpa sepengatahuan pengurus partai politik; foto bersama dengan peserta pemilu dengan menyertakan simbol tangan yang menunjukkan keberpihakan; serta menjadi pembicara dalam pertemuan partai politik.

Selain itu, dilarang memasang baliho atau spanduk yang mengarah pada keberpihakan peserta pemilu; pejabat kepala daerah juga dilarang mengunggah, menanggapi, menyebarluaskan gambar, foto, video peserta pemilu; menghadiri acara deklarasi atau rapat konsolidasi; mengalokasikan program dan anggaran yang menunjukkan keberpihakan; menyebarkan ujaran kebencian dan berita bohong; serta melakukan praktik-praktik intimidasi dan ancaman kepada ASN.

Mekanisme pengawasan ASN tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 800.1.6.1-6187 tahun 2023 tanggal 24 November 2023 tentang Tim Pemantauan dan Penanganan Pengaduan Netralitas Aparatur Sipil Negara Daerah dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Dalam surat keputusan itu disebutkan Inspektur Jenderal Kemendagri dan sejumlah anggotanya bertugas menyelenggarakan fungsi pemantauan dan penanganan pengaduan netralitas.

Potensi masalah di kampanye

Anggota Bawaslu, Totok Hariyono, mengatakan, ada sejumlah potensi masalah yang terjadi selama masa kampanye, yaitu adanya pihak yang mengganggu atau menghalangi kampanye, kampanye pemilu di luar jadwal, politik uang, dan adanya pelibatan aparat kepolisian-TNI, ASN, kepala desa, dan pemimpin daerah yang tidak netral.

”Ini beberapa masalah penting yang bisa dijadikan pijakan apakah ada pelanggaran atau tidak. Terhadap mereka yang mengganggu masa kampanye ada sanksi hukuman penjara 1-4 tahun,” jelasnya.

Robert pun mengingatkan, untuk mengendalikan pelanggaran prinsip netralitas ASN, dibutuhkan keteladanan dan ketegasan pemimpin daerah untuk mencegah pelanggaran tersebut. Ketegasan bisa diwujudkan dengan memberikan efek jera apabila ada pegawai yang melanggar prinsip netralitas sehingga bisa memberikan efek jera bagi ASN yang melanggar dan juga orang lain. (sem/kom)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.