Berita Utama

Obral Remisi Idul Fitri untuk Narapidana Korupsi

JAKARTA – Pemerintah kembali mengobral remisi atau pemotongan masa hukuman kepada para narapidana korupsi dalam perayaan Idul Fitri 1445 H/2024 H. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengatakan pemerintah memberikan potongan masa hukuman bervariasi, dari 15 hari, satu bulan, satu setengah bulan, hingga dua bulan.

“Remisi dan pengurangan masa pidana menjadi sebuah indikator narapidana dan anak binaan telah mampu menaati peraturan di lembaga pemasyarakatan, rumah tahanan negara, atau lembaga pembinaan khusus anak, dan telah mengikuti program pembinaan dengan baik,” kata Yasonna dalam keterangan resmi di Jakarta, Selasa (16/4/2024).

Koordinator Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham Dedy Edward Eka Saputra menunjukkan data, tahun ini sebanyak 2.113 narapidana kasus korupsi menikmati remisi Idul Fitri. Dari jumlah itu, 2.109 narapidana mendapat remisi khusus (RK) I berupa pemotongan masa tahanan dan empat narapidana mendapat remisi khusus II, yang artinya bisa langsung bebas.

Dedy menjabarkan, empat narapidana korupsi yang mendapat RK II itu berasal dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Pekanbaru, Riau, sebanyak tiga orang dan sisanya satu orang dari Rumah Tahanan Kelas IIB Tanah Grogot, Kalimantan Timur. “Keempatnya saat ini masih menjalani subsider pengganti denda, jadi belum bebas,” kata Dedy dikutip Tempo, Rabu (17/4).

Kepala Lembaga Pemasyarakatan Khusus Korupsi Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, Wachid Wibowo, mengatakan ada 240 narapidana di sana yang mendapat remisi Lebaran. Eks Ketua DPR yang terlibat kasus korupsi e-KTP, Setya Novanto, termasuk di antara penerima remisi itu. Ada juga nama eks Kepala Korlantas Polri, Djoko Susilo, yang terlibat kasus korupsi simulator SIM, dalam daftar penerima diskon masa tahanan. “Yang paling kecil 15 hari dan yang paling besar remisi dua bulan,” kata Wachid.

Pemberian remisi kepada para narapidana kasus korupsi mendapat kritik sejak akhir 2021. Pasalnya, Mahkamah Agung saat itu mengabulkan gugatan untuk mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan pada 28 Oktober 2021.

PP itu mengatur syarat pemberian remisi kepada narapidana tindak pidana khusus, seperti korupsi, hanya terbatas pada mereka yang mau bekerja sama dengan aparat penegak hukum atau menjadi justice collaborator. Selain itu, ada syarat khusus bagi para narapidana kasus korupsi, yaitu telah membayar kerugian negara plus denda sesuai dengan ketentuan putusan pengadilan.

Melalui putusan bernomor 28 P/HUM/2021, MA menilai aturan itu tidak sesuai dengan filosofi pemasyarakatan, yakni memperkuat rehabilitasi dan reintegrasi sosial serta konsep restorative justice. MA juga menilai pemberian remisi seharusnya tak dibeda-bedakan berdasarkan jenis kejahatannya.

Putusan MA itu kemudian dikuatkan dalam Revisi Undang-Undang Pemasyarakatan setahun setelahnya. Dalam revisi itu, pemerintah dan DPR akhirnya mengunci syarat pemberian remisi. Semua narapidana cukup memenuhi tiga syarat untuk mendapat remisi, yaitu berkelakuan baik, aktif mengikuti program pembinaan, dan telah menunjukkan penurunan tingkat risiko. Padahal, dalam UU sebelumnya, syarat pemberian revisi menjadi hak eksekutif yang diatur dalam peraturan pemerintah.

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menjelaskan remisi sejatinya merupakan hal universal dalam semua sistem hukum di dunia. Pemberiannya pun dinilai sebagai hadiah dari pemerintah terhadap narapidana terpilih. “Remisi itu bentuk apresiasi bagi warga binaan yang patuh menjalani hukuman dengan baik,” katanya.

Namun, kata Fickar, pemerintah seharusnya melihat sisi sistem penegakan hukum yang efektif serta tetap membuat jera pelaku pidana. Di Indonesia, menurut Fickar, pemberian remisi belum bisa dianggap adil karena tingkat korupsi masih tinggi.

Dia justru menyoroti kewenangan Kementerian Hukum yang terlalu besar dalam pemberian remisi ini. Pasalnya, Kementerian bertindak sebagai pihak yang memberi rekomendasi siapa saja yang berhak mendapat remisi sekaligus sebagai pemberi remisi itu sendiri. “(Di Indonesia) aparatur negaranya (masih) bisa disuap. Tidak mustahil remisi ini juga menjadi modus korupsi, power tend to corrupt,” kata Fickar.

Fickar pun mengingatkan soal konteks putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan pencabutan PP 99 Tahun 2012 pada 2021. Saat itu, menurut dia, tak sedikit hakim MA yang terjerat kasus korupsi. Karena itu, dia mencium ada latar belakang sosiologis guna melindungi para narapidana kasus korupsi untuk mendapat keistimewaan. “Meski motif itu belum tentu benar, seharusnya ada kesadaran MA bahwa remisi itu bagian dari fasilitas yang justru tidak menghilangkan kejeraan para narapidana, sehingga juga menjadi hitungan matematis pelaku kejahatan,” katanya.

Peneliti dari Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, mengatakan pemberian remisi terhadap koruptor makin membuktikan pemerintah tak serius memberantas korupsi. “Bagi kami, boleh saja remisi diberikan, tapi syaratnya diperketat, dong,” kata Kurnia saat dimintai konfirmasi Tempo.

Kurnia mengatakan kejahatan korupsi merupakan extraordinary crime atau kejahatan luar biasa sehingga tidak bisa disamakan syarat pemberian remisinya dengan pelaku tindak pidana lainnya. Menurut Kurnia, pemerintah dalam hal ini ambigu dalam mengambil sikap terhadap pemberantasan korupsi.

“Justru pelaku korupsi diberikan keistimewaan oleh negara, KPK dilemahkan, vonis ringan, fasilitas istimewa di lapas, ditambah mudahnya dapat remisi ini,” kata Kurnia. “(Mungkin) ini memang kondisi pemberantasan korupsi yang diinginkan oleh pemerintah dan DPR,”

Senada dengan pernyataan Kurnia, Koordinator IM57+ Institute M. Praswad Nugraha mengatakan pemberian remisi lewat Kemenkumham ini adalah representasi dari sikap pemerintah secara resmi. “Pemberian remisi bagi koruptor secara fleksibel dapat ditangkap oleh publik sebagai sikap dari pemerintah yang tidak mendukung pemberantasan korupsi di Indonesia,” kata Praswad.

Menurut Praswad, korupsi merupakan problem sistemik di Indonesia sehingga penanganannya harus dilakukan secara komprehensif dari berbagai lini. Menurunnya kinerja pemberantasan korupsi pasca-revisi UU KPK seharusnya menjadi momentum pemerintah mengembalikan kepercayaan publik alih-alih sibuk menjustifikasi pemberian remisi.

Eks penyidik KPK, Yudi Purnomo Harahap, menambahkan seharusnya koruptor tak perlu mendapat remisi. Sebab, menurut dia, tidak akan memberikan efek jera. “Koruptor tidak layak mendapat remisi karena perbuatannya merupakan kejahatan luar biasa,” kata Yudi.

Meskipun MA telah membatalkan PP Nomor 99 Tahun 2012, Yudi menilai masih ada celah hukum bagi pemerintah untuk membuat aturan serupa. Dia pun mendesak KPK ikut mendorong pemerintah untuk kembali memperketat pemberian remisi bagi narapidana korupsi. “KPK harus mendorong agar dibuat aturan baru,” katanya. (tem)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.