Berita Utama

Pemilihan Penjabat Kepala Daerah Tertutup Buka Ruang Korupsi

JAKARTA – Proses pemilihan 272 penjabat kepala daerah yang akan memimpin daerah-daerah yang kepala-wakil kepala daerahnya berakhir masa jabatannya pada 2022 dan 2023, rentan melahirkan praktik jual beli jabatan. Komisi Pemberantasan Korupsi menaruh perhatian besar terhadap ancaman itu. Namun, sebelum penegak hukum bertindak, pemerintah pusat bisa mencegahnya dengan membuat sistem pemilihan yang transparan.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha di Jakarta, Rabu (20/4/2022), mengatakan, potensi konflik kepentingan dalam pemilihan penjabat kepala daerah sangat besar. Hanya ada satu pihak yang menentukan, yakni pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Jika proses itu tidak dilakukan secara terbuka dan menihilkan ruang partisipasi publik, potensi penyelewengan akan kian besar.

Salah satu bentuk penyelewengan yang memungkinkan terjadi ialah praktik jual beli jabatan. Aparatur sipil negara (ASN) calon penjabat kepala daerah menawarkan uang kepada pihak yang berwenang menentukan penjabat agar dirinya dipilih. Praktik ini sudah kerap diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tetapi umumnya terjadi pada level jabatan di pemerintah daerah.

Jika praktik itu dibiarkan, korupsi lebih besar memungkinkan terjadi. ASN yang dipilih akan berpikir untuk balik modal saat menjadi penjabat. Akibatnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dikorupsi. Bisa juga penjabat itu berkongkalikong dengan pengusaha, memuluskan perizinan ataupun memberikan proyek tertentu, dengan imbalan suap.

”APBD bisa disalahgunakan oleh penjabat kepala daerah untuk transaksi seperti korupsi yang selama ini terjadi pada kepala daerah,” ujar Egi.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, tujuh provinsi yang akan diisi penjabat gubernur tahun ini memiliki porsi anggaran yang sangat besar. Sebut saja DKI Jakarta dengan APBD 2022 sebesar Rp 82,47 triliun; Aceh Rp 16,17 triliun; Banten Rp 12,7 triliun; Bangka Belitung Rp 9,38 triliun; Papua Barat Rp 6,7 triliun; Gorontalo Rp 1,91 triliun; dan Sulawesi Barat sejumlah Rp 1,82 triliun.

Oleh karena itu, Egi berharap ada pengawasan dari penegak hukum dalam proses pemilihan penjabat. Selain itu, dibutuhkan mekanisme pemilihan yang transparan dan partisipatif.

Kekhawatiran KPK

Menanggapi potensi korupsi itu, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan, pihaknya akan memberikan atensi pada proses pemilihan penjabat kepala daerah tersebut.

Salah satu yang menjadi kekhawatiran, menurut Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri, munculnya praktik jual beli jabatan dalam proses pemilihan penjabat. ”Mirip halnya praktik jual beli jabatan dalam beberapa perkara yang ditangani KPK,” katanya.

Ia membenarkan uang suap yang dikeluarkan bagi seseorang untuk bisa mendapat jabatan tertentu membuka potensi korupsi yang lebih besar saat orang itu menjabat. Banyak penyelenggara negara yang ditangkap KPK karena proses yang diwarnai dengan suap. Maka, KPK berharap proses pemilihan penjabat mampu mencegah praktik jual beli jabatan.

”Harapannya pula, penjabat dan kepala daerah yang terpilih memiliki integritas mumpuni untuk menduduki suatu jabatan dengan amanah demi menyejahterakan masyarakatnya,” tutur Ali.

Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri Agus Fatoni menuturkan, saat ini era keterbukaan, transparansi, dan akuntabilitas. Sebagai contoh, mekanisme perencanaan dan penganggaran pemerintah daerah sudah terintegrasi dengan Sistem Informasi Pemerintah Daerah (SIPD) di Kemendagri. Hal ini ia klaim sudah bisa menutup celah bagi para penjabat kepala daerah dan pejabat lainnya untuk bermain anggaran.

Pengawasan berbagai pihak

Tak hanya Kemendagri, menurut Fatoni, sejumlah pihak juga ikut mengawasi anggaran di daerah. Pertama, pengawas internal yang meliputi inspektorat daerah serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Kedua, pengawas eksternal, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ketiga, pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Keempat, aparat penegak hukum, yakni KPK, kepolisian, dan kejaksaan. Terakhir, media serta masyarakat.

”Jadi, baik kepala daerah maupun penjabat kepala daerah atau pejabat lainnya tidak bisa ambil uang dari APBD karena sudah dijaga dan diawasi banyak pihak. Semua harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kalau mereka masih berani dan (anggaran) dikorupsi, pasti berurusan dengan banyak pihak tadi,” ujar Fatoni.

Sebagai mantan penjabat Gubernur Sulawesi Utara, Fatoni mengaku bukan hal yang mudah untuk mengotak-atik APBD. Selain ada pengawasan dan sistem yang ketat, kadang kala penjabat kepala daerah sudah sangat sibuk dengan agenda daerah. Karena itu, penjabat akan lebih fokus bekerja sesuai dengan rencana pembangunan daerah yang telah disusun.

”Jadi, penjabat itu pasti takut dan tidak berani macam-macam. Jadi, yakinlah, bukan perkara mudah untuk melanggar aturan. Apalagi penjabat kepala daerah itu mudah sekali diganti,” kata Fatoni. (KOM)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.