NASIONAL

Biaya Politik Tinggi, Korupsi Kepala Daerah Tak Kunjung Berhenti

JAKARTA — Selama politik masih berbiaya tinggi, politik transaksional yang dapat memicu perbuatan korupsi diyakini bakal terus ada. Untuk mencegahnya, pendanaan bagi partai politik perlu dibenahi dengan mekanisme pengawasan yang transparan dan akuntabel.

Hal itu diungkapkan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati menanggapi penangkapan dan penahanan beberapa kepala daerah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena dugaan korupsi dalam beberapa pekan terakhir. Mereka adalah Bupati Kapuas, Kalimantan Tengah, Ben Brahim S Bahat, dan istrinya, Ary Egahni; Bupati Kepulauan Meranti, Riau, M Adil; serta yang terbaru adalah Wali Kota Bandung Yana Mulyana.

Saat menjelaskan penangkapan Yana, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan, terdapat dugaan penerimaan lain oleh Yana atas kebutuhan politik, seperti merawat konstituen untuk kepentingan politik pada 2024. Sebab, politikus Partai Gerindra itu sudah digadang-gadang dicalonkan sebagai wali kota Bandung pada pemilihan kepala daerah serentak secara nasional pada 2024.

”Memang tidak dapat dimungkiri bahwa pemilihan kepala daerah atau pemilu di Indonesia masih berbiaya tinggi. KPK menunjukkan, untuk maju sebagai kepala daerah, dibutuhkan dana yang bisa menyentuh sampai angka 150 miliar,” kata Khoirunnisa, dilansir Kompas.

Kebutuhan tersebut, kata Khoirunnisa, dimulai dari kebutuhan untuk membayar uang mahar guna mendapatkan tiket atau rekomendasi pencalonan dari partai politik (parpol) hingga kebutuhan operasionalisasi saat pilkada dilangsungkan. Mahar pada parpol ditengarai tetap ada meski Undang-Undang (UU) Pemilu dan UU tentang pilkada menyebut bahwa mahar politik dapat disanksi pidana, bahkan dibatalkan keikutsertaannya dalam pemilu.

Tuntutan finansial pada calon pun bisa semakin besar saat harus mencari dukungan dari parpol. Seperti diketahui, untuk bisa maju di pilkada, calon harus memenuhi persyaratan 20 persen jumlah kursi DPRD atau 25 persen akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu anggota DPRD di daerah bersangkutan, seperti diatur dalam UU Pilkada. Syarat tersebut jarang bisa dipenuhi hanya oleh satu parpol sehingga calon harus mencari dukungan parpol lain.

”Terkadang, dalam koalisi pencalonan ini, salah satu faktornya adalah yang mampu membiayai proses pemilu. Akibatnya, bakal calon harus memiliki modal finansial yang besar,” ujar Khoirunnisa.

Di sisi lain, pendanaan untuk memenuhi kebutuhan parpol termasuk kebutuhan pemenangan pemilu masih bergantung pada pihak ketiga. Hal itu terjadi karena iuran anggota masih minim, sementara dana dari negara belum mampu memenuhi kebutuhan parpol.

Oleh karena itu, menurut dia, mekanisme pencalonan dari parpol harus diperbaiki agar bakal calon yang diusung parpol tidak dituntut untuk memiliki modal finansial yang besar. Kemudian diperlukan reformasi keuangan parpol agar tidak lagi bergantung pada sumber pendanaan pihak ketiga yang nantinya harus dikembalikan saat sudah terpilih. Terakhir, proses kandidasi untuk menyaring kader di internal parpol harus diperbaiki.

Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola, berpandangan, secara formal prosedural, demokrasi di Indonesia sangat bergantung pada parpol. Karena selama ini tidak ada pengawasan dan penegakan hukum yang memadai, akhirnya politik yang bersifat transaksional sulit dihindari.

Di saat yang sama, situasi tersebut menjadi semakin rumit ketika partai yang berkuasa melakukan korupsi tidak hanya melalui suap, tetapi juga melalui peraturan (state capture corruption). Hal itu senada dengan hasil dari Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang menunjukkan bahwa masalah utama di Indonesia adalah korupsi politik. ”Korupsi politik itu bicara dua hal, yakni pertama soal melanggengkan kekuasaan dan kedua sekaligus di saat yang sama adalah berupaya memperluas kekuasaan,” kata Alvin.

Salah satu contoh nyata terkait hal itu adalah adanya rangkap jabatan yang dilakukan oleh banyak pejabat. Namun, sayangnya, saat ini belum ada instrumen tertentu yang tepat untuk mengawasi hal itu.

Oleh karena itu, menurut Alvin, yang penting untuk dibenahi adalah hulu dari permasalahan, yakni sistem politik, khususnya terkait pendanaan parpol. Untuk itu, diperlukan adanya peraturan perundang-undangan tentang pendanaan parpol yang mengatur secara khusus tentang sumber pendanaan parpol serta mekanisme pelaporannya yang transparan dan akuntabel.

Meski saat ini sudah ada UU Partai Politik, UU tersebut tidak mengatur tentang batas-batas sumber pendanaan ataupun pengawasannya. Sebab, faktanya, parpol saat ini sebatas melaporkan laporan keuangannya kepada Kementerian Dalam Negeri. Demikian pula pendanaan kampanye beserta asal-usul donaturnya selama ini kerap tidak transparan.

”Tidak ada proses yang akuntabel di baliknya. Sementara proses audit kami lihat juga tidak cukup komprehensif karena parpol belum dilihat seutuhnya sebagai badan publik,” ujar Alvin.

Tolak gratifikasi

Terkait dengan penerimaan suap oleh Yana yang diduga untuk kebutuhan Pilkada 2024, Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan, hal itu masih akan terus didalami oleh penyidik. Hingga saat ini, temuan suap tersebut masih terkait dengan kebutuhan Lebaran. ”KPK selalu mengingatkan penyelenggara negara agar menolak gratifikasi ataupun THR (tunjangan hari raya) dan sebutan lainnya,” kata Ali.

Ali melanjutkan, KPK telah menerbitkan Surat Edaran (SE) KPK Nomor 6 Tahun 2023 tanggal 30 Maret 2023 tentang Pencegahan Korupsi dan Pengendalian Gratifikasi Terkait Hari Raya.

Dalam SE tersebut, KPK mengingatkan para penyelenggara negara dan pegawai negeri untuk menolak gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, khususnya terkait perayaan Lebaran 2023. (KOM)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.