Wacana

Memberi Makna Supervisi Akademik

“CARA paling fundamental dan kuat untuk terhubung dengan orang lain ialah dengan mendengarkan. Cukuplah dengarkan. Mungkin hal terpenting yang bisa kita berikan kepada orang lain ialah perhatian kita.” (Rachel Naomi Remen).

Kutipan Rachel Naomi Remen, seorang profesor emeritus kedokteran keluarga dan komunitas, di atas menunjukkan betapa pentingnya bagi kita semua untuk mendengarkan lebih banyak daripada berbicara. Hal ini juga berlaku dalam dunia pendidikan. Menjadi pendengar yang baik ialah salah satu keterampilan dasar yang perlu dikembangkan dan ditingkatkan. Pimpinan di sekolah harus menjadi pendengar yang baik bagi para guru, begitu pula guru harus menjadi pendengar yang baik bagi murid-muridnya.

Dalam lingkungan pendidikan, para guru selalu menghadapi proses evaluasi atau penilaian kualitas pembelajaran yang dilakukan oleh pimpinan atau kepala sekolah. Hal ini biasa disebut sebagai supervisi akademik. Selama ini, proses supervisi akademik yang dilakukan oleh kepala sekolah cenderung satu arah, hanya kepala sekolah yang berwenang untuk menilai, sementara guru hanya menerima evaluasi tanpa memiliki kesempatan untuk memberikan tanggapan.

Akibatnya, kesan yang menakutkan sering kali muncul saat proses supervisi guru berlangsung. Tidak jarang proses supervisi dan evaluasi ini justru membuat guru merasa rendah diri dan kehilangan semangat untuk meningkatkan kualitas pembelajaran yang masih dianggap belum optimal.

Supervisor sebagai pelatih

Sebagai guru, saya mencoba mengingat kembali bagaimana seharusnya kita memaknai proses supervisi akademik yang sesuai dengan semboyan Ki Hadjar Dewantara, yaitu ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Sebenarnya, semboyan ini tidak bermakna menuntut orang lain. Pemimpin di lingkungan pendidikan seharusnya menjadi pemandu, bukan penuntut.

Proses supervisi akademik harus didasarkan pada niat untuk membimbing agar proses dan kualitas pembelajaran yang diberikan kepada peserta didik semakin baik dari waktu ke waktu. Hal ini tidak hanya sebatas mencari kesalahan semata, tetapi juga memberikan solusi positif.

Karenanya, dalam pelaksanaan supervisi akademik terdapat dua paradigma yang menjadi landasan yaitu paradigma pengembangan kompetensi yang berkelanjutan dan optimalisasi potensi setiap individu. Dalam interaksi keseharian di sekolah, kepala sekolah dan guru wajib menghidupi paradigma berpikir yang memberdayakan bagi setiap warga sekolah dan melihat kekuatan-kekuatan yang ada dalam komunitasnya. Melalui supervisi akademik seharusnya potensi setiap guru dapat dioptimalisasi sesuai dengan kebutuhan yang dapat membantu guru berproses meningkatkan kompetensi, dengan menerapkan kegiatan pembelajaran baru yang dimodifikasi dari sebelumnya.

Pada dasarnya, prinsip-prinsip supervisi akademik berkutat pada aspek kemitraan, konstruktif, terencana, reflektif, objektif, berkesinambungan, dan komprehensif. Pelaksanaan supervisi akademik juga harus didasarkan pada kebutuhan dan tujuan sekolah yang dilaksanakan dengan tiga tahapan, yaitu pra-observasi, observasi, dan pascaobservasi. Berpikir sebagai pembimbing yang menuntun adalah aspek penting yang perlu dipahami kepala sekolah dalam proses supervisi akademik.

Bimbingan (coaching) adalah— menurut Harvard Business Review— memberikan kesempatan untuk bertindak sebagai fasilitator guna melakukan komunikasi kinerja secara dua arah. Adapun bimbingan dalam dunia pendidikan, sejalan dengan tujuan pendidikan, yaitu ‘menuntun’ tumbuhnya kekuatan kodrat manusia sehingga dapat memperbaiki perilakunya. Oleh sebab itu keterampilan membimbing perlu dimiliki pendidik untuk menuntun segala kekuatan potensi murid agar mencapai potensi maksimal yang diinginkan.

Proses bimbingan sebagai komunikasi pembelajaran antara atasan dan guru atau guru dan murid amat diperlukan. Atasan perlu memberikan ruang untuk guru, dan guru juga haruslah memberikan ruang kebebasan kepada murid untuk menemukan kekuatan dirinya. Peran atasan semestinya berlakon layaknya ‘pamong’ yang memberi tuntunan dan memberdayakan potensi gurunya.

Oleh karena itu, bimbingan sebagai salah pendekatan komunikasi dengan semangat among (menuntun), membantu orang yang didampingi menemukan kekuatan dirinya dalam pembelajaran. Pendekatan komunikasi dengan proses bimbingan merupakan dialog antara pembimbing dan orang yang dibimbing, yang terjadi secara emansipatif dalam sebuah ruang perjumpaan penuh kasih dan persaudaraan.

Dalam ruang kemerdekaan belajar, bimbingan merupakan proses untuk mengaktivasi kerja otak pembimbing dan orang yang dibimbing. Pertanyaan-pertanyaan reflektif yang muncul ke permukaan dapat membuat orang yang dibimbing melakukan metakognisi.

Selain itu, pertanyaan-pertanyaan dalam proses pembimbingan juga mendorong orang yang dibimbing berpikir secara kritis dan mendalam, yang bermuara pada refleksi dan kontemplasi untuk menemukan kekuatan diri dan potensinya untuk terus dikembangkan secara berkesinambungan, atau menjadi seorang pembelajar sepanjang hayat.

Mitra supervisi

Sebagai supervisor yang melakukan supervisi akademik, baik kepala sekolah terhadap guru atau guru kepada muridnya, perlu menempatkan diri sebagai mitra atau rekan seperjalanan dalam pengembangan diri sehingga dapat membangun kepercayaan, memberikan perasaan tenang, serta menumbuhkan motivasi internal.

Seorang supervisor dapat menggunakan model percakapan yang dialogis dan reflektif bersama guru ketika proses supervisi akademik terjadi berdasarkan data yang telah didapat dan diambil, pada saat kunjungan kelas berdasarkan kesepakatan akan aspek-aspek yang hendak diperhatikan. Supervisor harus memberikan ruang bagi guru untuk berefleksi agar guru dapat menemukan sendiri area pengembangan diri selanjutnya.

Saat guru dituntun dan mendapatkan proses pemberian umpan balik secara positif dengan berbasis bimbingan, mereka akan menemukan area pengembangan dan perbaikan diri yang hendak dilakukan nantinya. Guru akan merasakan proses supervisi yang memberdayakan dirinya secara berkelanjutan.

Sama halnya bagi guru yang juga harus memberikan kesempatan kepada murid untuk melakukan refleksi pembelajaran. Mereka dapat dengan leluasa memberikan kesempatan kepada dirinya untuk menyampaikan keinginannya dalam menerima materi dengan metode yang sesuai dengan kodratnya. Sampai murid dapat menemukan sendiri letak kekurangannya saat pembelajaran sehingga berpeluang menemukan solusi bagi dirinya sendiri untuk meningkatkan kemampuannya di pembelajaran selanjutnya.

Oleh karena itu, supervisi akademik dengan pendekatan pembimbingan memberikan dimensi pertumbuhan dan pengembangan diri yang sering kali terabaikan dalam rangkaian supervisi (Ellison, 2014). Proses pembimbingan dapat membantu atasan dan guru berpikir mendalam (metakognisi) untuk menggali potensi dirinya, sekaligus membangkitkan motivasi internal sebagai individu yang terus belajar.

Kegiatan supervisi akademik tidak boleh berhenti setelah rangkaian supervisi klinis selesai. Dengan prinsip berkesinambungan, supervisi harus terus dilanjutkan dan diikuti dengan tindak lanjut yang tepat. (*)

 

Eka Syafitri, Guru Sekolah Sukma Bangsa Pidie

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.