Berita UtamaInforial

FRP Manokwari Suarakan Penolakan Keberlanjutan Otsus

MANOKWARI, papuabaratnews.co – Sejumlah pemuda di Manokwari yang tergabung dalam Front Rakyat Papua (FRP), kembali menyuarakan penolakan mereka terhadap pembahasan Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua yang sedang dibahas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI di Jakarta.

Koordinator FRP Kota Manokwari Erik Aliknoe mengatakan, FRP menyatakan menolak keberlanjutan Otsus dengan cara tidak melakukan aksi turun jalan. Namun, sikap penolakan dilakukan dengan cara konferensi di antara sesama mahasiswa serta para pemuda yang memiliki sikap yang sama terhadap agenda Jakarta dalam membahas perpanjangan Otsus.

“Untuk saat ini kami tidak turun ke jalan, tetapi sikap kami jelas, yaitu tolak Otsus Jilid II. Orang Papua tidak lagi inginkan Otsus diperpanjang dalam bentuk apapun. Secara tegas, kami (FRP) menolak segala bentuk kompromi dan pembahasan Jakarta-Papua mengenai perpanjangan Otsus Papua,” kata Aliknoe kepada Papua Barat News di Manokwari, Selasa (12/1/2021).

Selain itu, meski bukan sebuah aksi unjuk rasa, namun dalam sebuah pernyataan sikap FRP Kota Manokwari, Aliknoe menyatakan, bahwa FRP secara tegas menolak Prolegnas DPR RI tentang Otsus Papua.

Selain itu, mereka juga menyatakan dukungan terhadap hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) rakyat Papua melalui Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB), serta mendukung Petisi Rakyat Papua (PRP) untuk menolak keberlanjutan Otsus Papua.

Selain di Manokwari, dalam catatan Papua Barat News, aksi serupa juga terjadi di Kota Sorong. Bedanya, sejumlah warga Papua yang juga tergabung dalam FRP menggelar aksi unjuk rasa menolak penerapan Otsus di Kantor DPRD Kota Sorong pada Senin (11/1/2021). Mereka menilai kebijakan itu bukan kebutuhan warga Bumi Cendrawasih.

Capai 94,24 Triliun

Diketahui, pelaksanaan Otsus di Papua dan Papua Barat telah berjalan sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Regulasi itu kemudian diubah dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2008 yang sekaligus menjadi payung hukum bagi Otsus itu sendiri.

Dalam Undang-undang tersebut, disebutkan bahwa dana Otsus Papua dihitung sebesar 2 persen dari plafon Dana Alokasi Umum (DAU) yang berlaku selama 20 tahun. Sesuai dengan amanat Undang-undang, maka alokasi dana Otsus Provinsi Papua setara dengan dua persen dari total pagu Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional.

Dana Otsus dianggarkan guna mendukung pelaksanaan Otsus, terutama pada bidang pendidikan dan kesehatan. Selain itu, dana Otsus juga diarahkan untuk mendanai pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan.

Khusus untuk Papua Barat, jumlah dana Otsus yang telah digelontorkan pemerintah pusat sejak tahun 2002 hingga 2020 mencapai Rp94,24 triliun. Dana itu berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun.

Namun, menurut Aliknoe, praktik di lapangan tidak menunjukan hal yang baik walau sudah belasan tahun Undang-undang tersebut diimplementasikan. Selain itu, aktivis mahasiswa itu juga turut menyoroti dana Otsus yang tak maksimal untuk mendanai kesehatan hingga pendidikan di tanah Papua.

“Kita bisa lihat data Badan Pusat Statistik (BPS), Papua masih menjadi urutan pertama kemiskinan di Indonesia, dan bahkan dengan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terendah di Indonesia,” ujar mantan Tahanan Politik (Tapol) anti rasisme itu.

Tak hanya itu, Aliknoe juga menyoroti mandat lain dari Undang-undang Otsus yang menurutnya belum dijalankan secara baik oleh pemerintah, misalnya, agenda penyelesaian masalah Hak Asasi Manusia (HAM) di tanah Papua.

Selain di Manokwari dan Sorong, Dewan Adat Sorong Selatan (Sorsel) Wilayah adat III Domberai juga menegaskan kepada pemerintah bersama DPR RI, untuk tidak sepihak merancang keberlanjutan Otsus ditengah seruan penolakan oleh warga pribumi.

“Negara tak boleh sepihak mengagendakan Otsus Papua dalam Prolegnas 2021, karena orang asli papua selaku objek Otsus, tidak lagi menginginkan adanya kelanjutan Otsus di atas tanah Papua,” kata Ketua Dewan Adat Sorsel George Ronald Konjol.

Kami harap MRPB transparan mengawal hasil RDP pada 6 Oktober 2020 lalu. Sebab, RDP itu merupakan murni aspirasi dari Orang Asli Papua (OAP) di wilayah Papua Barat, yaitu menolak Otsus dan meminta referendum.

“Kami tetap mengawal hasil RDP MRPB, untuk itu MRPB harus transparan ke publik dalam menyampaikan setiap perkembangan (tahapan) yang telah dilakukan. Ini demi mengawal aspirasi murni OAP di Papua Barat,” kata Konjol. (PB13)

**Berita ini Telah Terbit di Harian Papua Barat News Edisi Rabu 13 Januari 2021

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.