Lensa

Dua Anak Cemerlang dari Nayakore

“Ibu kalo sa menulis, jadi penulis terkenal kah? Orang-orang akan kenal saya kah? Kenal saya punya kampung? Diundang masuk televisi kah?”

 

SORE itu, kemuraman bagai menggantung di langit-langit kota, berita duka datang begitu saja melalui pesan pada ponsel saya, pada akhir 2020 lalu.

“Apsalom pernah mengeluh tentang sakit di lehernya yang bisa bikin dia lemas, sejak tahun lalu dia sudah mengeluh sakit” jelas Ruth, sahabat saya seorang guru, yang menceritakan bahwa salah satu penulis dari buku yang diterbitkan penerbit secara digital itu telah tiada. Saya pun ikut merasa terpukul.

“Apsalom sudah tidak ada, dia sudah berpulang duluan”

Menjenguk kembali ingatan di tahun 2019, ketika Ruth bercerita pada saya, betapa cemerlangnya dua siswanya yang bernama Alpius dan Apsalom, di sekolah tempat ia mengajar, Negeri Besar, Kokoda, Sorong Selatan.

“Anak- anak ini suka dengan hal-hal baru dan punya rasa ingin tahu yang tinggi, sangat bersemangat. Mereka suka membaca buku ensklopedia, dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat kami, para guru, kewalahan menjawabnya” begitu penjelasan Ruth pada saya, membanggakan kedua anak muridnya itu.

Rasa bangga, tentu saja, tetapi sekaligus mengharukan. Hati ini terasa bergetar ketika mengingat kisah ini kembali. Bayangan saya, hari datang silih berganti dan banyak hal tak berubah bagi Alpius dan Apsalom, dua bocah Kokoda dari Nebes ini, walau buku yang mereka tulis, bekerjasama dengan Ruth sebagai ilustrator, diterbitkan oleh Bhuana Ilmu Populer (Kelompok Gramedia), pada 2019 lalu.

Alpius Tinopi (10th) menulis buku dengan judul “Nayakore tempat yang Indah” dan Apsalom Tabakore (10th) menulis “Musim Kemarau di Nayakore”. Mereka berdua ingin mengenalkan kampungnya pada kita semua, melalui imajinasi dan kreativitas yang diolah dan didampingi oleh gurunya. Keduanya adalah siswa kelas 4 SD Inpres 22 Nebes. Negeri Besar atau yang biasa disingkat menjadi Nebes, yang berada di distrik Kokoda, Kabupaten Sorong Selatan. Mereka sendiri tinggal di Kampung Nayakore, sebuah kampung baru hasil pemekaran di Negeri Besar.

“Nayakore Tempat yang Indah” menceritakan Nayakore dari sisi keindahannya, atau yang lebih tepat adalah ada apa saja di Nayakore. Alpius membuka cerita dengan menghadirkan pepohonan apa saja yang ada di sana. Dari pepohonan, ia pun menceritakan rumah di sana biasanya terbuat dari gaba, atap daun sagu dan lantai batang sagu.

Juga ada sungai mengalir di tengah kampung dan biasanya anak-anak sepulang sekolah mereka mencari ikan di sungai. Dan hanya dengan memancing di ikan di jembatan dekat kampung, ia bisa mendapat 50 puluh ekor ikan. Bayangkan, 50 ekor ikan!

Distrik Kokoda berbatasan langsung dengan Teluk Bintuni dan Laut Seram. Jangan juga dibayangkan ada angkutan umum untuk sampai ke distrik ini. Dari Teminabuan, kita perlu janjian dengan masyarakat yang pergi pulang ke Nebes untuk menumpang di perahu mereka. Tentu kita wajib membayar biaya yang diperlukan. Dari Teminabuan ke Nebes memerlukan waktu delapan jam perjalanan laut, dan satu jam perjalanan sungai naik longboat, jenis perahu yang biasa digunakan di sana.

Negeri Besar sendiri merupakan sebuah daerah di atas air, yang mungkin mengingatkanmu akan Agats. Rumah- rumah kayu dibangun di atas para-para kayu dengan jembatan-jembatan penghubung. Air rawa menjadi pemandangan sehari-hari.

Pada tahun 2017, Ruth F. Ginting, seorang guru muda yang berasal dari Sumatera Utara, tepatnya dari Kecamatan Galang, Deli Serdang. Melalui program seleksi Guru Garis Depan, ia terpilih menjadi guru di Sorong Selatan, di Negeri Besar.

Ruth merasa anak -anak yang merupakan siswanya ini adalah anak-anak hebat. Dari tidak bisa membaca hingga bisa dan akhirnya menulis cerita sederhana. Ia sendiri, merasa dirinya hanya sebagai fasilitator saja, yang menjadi penghubung anak-anak dengan kekuatan mereka. Dirinya ingat, waktu kuliah dulu, ada salah satu dosennya menanamkan pada mahasiswanya untuk selalu ingat bahwa tugas utama guru, salah satunya adalah menemukan bakat-bakat terpendam pada tiap anak didiknya. Ia ingat betul hal itu.

Ruth sendiri, begitu ditempatkan di Nebes, ia pun menginisiasi sebuah ruang baca yang bernama TBM Nebes. Bukan kebetulan Alpius dan Afsalom sering bermain dan membaca buku di TBM Nebes. Keduanya dikenal memiliki rasa ingin tahu yang begitu besar.

Itu sebabnya, Ruth datang dengan ide menulis jurnal, sebuah ide yang muncul untuk menyiasati persoalan. Sebab Ruth sering menemukan tulisan anak -anak yang terkadang kurang huruf, atau masih belum tepat dalam menulis huruf-hurufnya. Itu sebabnya ia menawarkan ide menulis jurnal yang isinya cerita dari murid-murid, sehingga bisa memantau kecakapan murid-muridnya dan memberi masukan serta koreksi pada penulisan kata yang kurang tepat. Rata-rata murid-murid menulis setengah halaman buku tulis, tetapi ada yang mampu bercerita secara runtut, ada yang bebas saja menulis apa yang mereka ingin ceritakan.

Setiap malam, ia pun membiasakan untuk membaca tulisan-tulisan pada jurnal yang ditulis oleh belasan orang murid-muridnya. Dari sini, ada pola penulisan yang menyentak kesadarannya, ternyata ada dua anak yang cukup kompeten dalam menulis, mampu membangun sebuah cerita dalam tulisannya. Dua orang ini adalah Alpius dan Apsalom.

“Tulisan keduanya bisa membangun sebuah cerita. Jika murid lainnya hanya menulis kumpulan kalimat, semisal satu kalimat di baris pertama, dan menulis kaimat di baris kedua tetapi tidak saling berhubungan. Ini berbeda dengan Alpius dan Apsalom, mereka bisa menulis cerita dengan kalimat pertama koheren dengan kalimat seterusnya” jelas Ruth.

Singkat kata, Ruth menemukan Alpius dan Afsalom begitu menonjol dalam imajinasi bercerita dibanding teman lainnya. Karena Ruth sendiri bisa mengilustrasi maka ada dua cerita yang dari kedua muridnya ini yang ia ilustrasikan, dan diikutkan lomba.

Sayangnya walau kolaborasi mereka bertiga tidak menang dalam lomba tersebut, Ruth mendapat jalan lain. Ia berjodoh dengan penerbit yang berkenan menerbitkan karya mereka secara digital.

Keberhasilan kecil ini tentu upaya dari tiga orang yang saling percaya, ada Ruth yang percaya kepada bakat kedua muridnya, dan sebaliknya, anak-anak yang mau terus bercerita, mengembangkan imajinasinya didampingi seorang guru yang peduli.

Pada kisah yang ditulis Apsalom, ia menulis secara sederhana, begitu susahnya mencari air bersih bagi mereka, masyarakat di Nayakore. Walau penuh dengan kesulitan air bersih, ia juga menuliskan “di kampung ini kita hidup bersama-sama. Kita tidak membeda-bedakan orang.”

Di usia yang begitu muda, Apsalom mungkin baru saja memimpikan kalau ia menulis, dan bukunya terbit, orang – orang akan mau tertarik pada buah pikirnya, membaca karyanya. Ini mengingatkan saya kembali pada ujaran polos kedua anak ini ..“Ibu kalo sa menulis, jadi penulis terkenal kah ? Orang-orang akan kenal saya kah ? Kenal saya punya kampung ? Diundang masuk tivi kah?” – tetapi, Apsalom harus meninggalkan kita terlebih dulu.

Mudah -mudahan kepergiannya menjadi penguat agar Alfius terus berkarya, dari sana, dari Negeri Besar, di Kokoda, dan kita semua, ikut dan turut menghormati dan merayakan keberhasilan anak-anak kita ini, dalam menulis. Walau terus saja muncul pertanyaan pada diri saya, apakah sobat pembaca sudah membaca karya mereka berdua ? (*)

 

Dayu Rifanto, Pendiri inisiatif @Bukuntukpapua, Tinggal di Sorong

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.