NASIONAL

Pemerintah dan DPR Disebut Keras Kepala Soal Pemekaran Papua

JAKARTA – Kelompok Koalisi untuk Kemanusian Papua menyayangkan sikap keras kepala pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan DPR yang tetap ngotot untuk melaksanakan pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) di Papua.

Kelompok sipil dari berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) itu menegaskan, rencana pembentukan tiga provinsi baru di Bumi Cenderawasih berkali-kali mendapatkan penolakan dari orang-orang asli Papua (OAP).

Penolakan para OAP dan sikap pemerintah tersebut, dikhawatirkan semakin memicu gelombang kerusuhan di Papua, maupun di Papua Barat. Tak jarang dari gelombang kerusuhan atas penolakan pembentukan provinsi baru tersebut, memakan korban jiwa. Dalam beberapa waktu terakhir, muncul demonstrasi-demonstrasi tolak pemekaran di Papua yang sangat besar dan berakhir dengan adanya korban jiwa.

“Pemekaran di Papua saat ini, hanya mendorong situasi yang semakin tidak kondusif di Papua dalam pemajuan hak-hak asasi orang-orang di Papua,” kata Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, dalam siaran pers yang diterima Papua Barat News, Senin (11/4/2022).

Selain Amnesty Indonesia, para LSM anggota Koalisi untuk Kemanusian Papua, adalah Biro Papua PGI, Imparsial, Elsam Jakarta, KontraS, Aliansi Demokrasi untuk Papua, dan KPKC GKI-TP, KPKC GKIP, bersama SKPKC Keuskupan Jayapura. Serta Public Virtue Research Institute, PBHI, juga melibatkan para peneliti-peneliti, dan akademisi.

Kelompok sipil tersebut menyatakan sikapnya bersama akhir pekan lalu, setelah Badan Legislatif (Baleg) DPR menyetujui pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diusulkan pemerintah, tentang pembentukan tiga provinsi baru di Papua, dan Papua Barat. Dalam RUU tersebut dikatakan, nantinya akan ada tiga provinsi tambahan di Bumi Cenderawasih, yakni, Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan Tengah.

Selama ini, Bumi Cenderawasih, hanya terbagi ke dalam dua provinsi, yakni Papua dengan pusat pemerintahan di Jayapura, dan Papua Barat dengan ibu kota di Manokwari. Namun dalam persetujuan RUU tersebut, diduga, tak ada keterlibatan OAP, maupun organ-organ dan kelembagaan dari Papua yang turut disertakan dalam pembahasan.

Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai satu-satunya lembaga representasi OAP, bahkan tak disertakan untuk membahas RUU tersebut. MRP sendiri, dalam kebijakannya menolak pembentukan DOB di Papua dan Papua Barat itu. Penolakan itu, terealisasi atas pengajuan gugatan MRP ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU Otonomi Khusus (Otsus) Jilid II yang disahkan pemerintah tahun lalu.

Direktur Eksekutif Public Virtue Miya Irawati mengatakan, pemerintah, maupun DPR, seharusnya menunda pelaksanaan UU Otsus Papua Jilid II. Pemerintah dan DPR juga diminta menyetop semua pembahasan legislasi terkait pembentukan provinsi baru tersebut, selama proses gugatan MRP di MK atas UU Otsus Papua belum tuntas.

Menurut dia, baik pemerintah dan DPR, semestinya menjamin keterlibatan MRP dalam setiap pembahasan tentang Papua, maupun Papua Barat. Penihilan peran MRP, menunjukkan inkonsistensi pemerintah, dan DPR dalam amanah menjalankan UU Otsus itu sendiri.

Karena menurutnya, MRP, adalah satu-satunya lembaga yang diakui UU sebagai representasi OAP. “Kami mendesak pemerintah, dan DPR membatalkan pembentukan dan pembahasan provinsi baru di Papua, atau setidaknya menunda rencana tersebut, sampai ada putusan MK terkait gugatan MRP,” ujar Miya.

Peneliti Utama dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Profesor Cahyo Pamungkas menambahkan, cara-cara pemerintah dan DPR dalam menentukan masa depan wilayah Papua, dan Papua Barat, selama ini adalah sepihak. Hal tersebut, menjadi salah satu faktor utama masifnya penolakan OAP yang keras turun aksi menggagalkan setiap rencana pemekaran wilayah.

Dalam catatan dia, sejak 1999, rencana memekarkan wilayah Papua dan Papua Barat menjadi lima atau tujuh provinsi kerap ditentang karena kebijakan tersebut bukan representasi OAP. “Pemekaran top-down yang dibuat oleh pemerintah pusat ini, sepihak. Seperti mengulangi model tata kelola kekuasaan cara kolonial,” kata Cahyo yang juga anggota dari Jaringan Damai Papua (JDP).

Peneliti dari Imparsial, Hussein Ahmad juga mengkhawatirkan sikap keras kepala pemerintahan dan DPR ini. Menurut dia, dengan adanya pembentukan provinsi baru di Papua dan Papua Barat, otomatis juga akan dibarengi dengan pembagian wilayah militer baru, berdasarkan provinsi yang akan dibentuk.

“Jika ada tiga provinsi baru, maka akan diikuti dengan pendirian tiga kodam baru, dan satuan-satuannya. Yang itu tentu akan menambah pasukan militer yang hadir di Papua,” ujar Hussein.

Penambahan struktur dan personel militer tersebut, akan semakin memperpanjang konflik dan kekerasan di Bumi Cenderawasih. “Pembentukan satuan teritorial baru, dan peningkatan jumlah personil militer berpotensi akan mendapatkan reaksi keras, yang akan meningkatkan konflik dan kekerasan di Papua,” kata Hussein.

Sejak bulan lalu, penolakan pembentukan wilayah baru di Papua maupun di Papua Barat memang sudah masif terjadi di Bumi Cenderawasih. Aksi unjuk rasa, dan protes itu terjadi di kota-kota besar di Papua, dan Papua Barat.

Beberapa aksi protes tersebut, berujung pada kerusuhan yang menelan korban jiwa akibat pembubaran paksa oleh Polri, maupun TNI. Sampai saat ini, aksi-aksi unjuk rasa penolakan pemekaran tersebut, juga masih terjadi. Termasuk aksi-aksi protes masyarakat Papua di Jakarta, dan di kota-kota di Jawa.(REP/ANT/PB1)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.