Wacana

Dinasti Politik Menjelang Persaingan 2024

RIUH perjalanan safari politik para elite belakangan ini merupakan usaha keras dalam mendefinisikan posisi masing-masing menyambut tahun politik 2023 dan Pemilihan Umum 2024. Usaha itu dilakukan terutama karena begitu sempit dan terbatasnya sirkulasi nama-nama calon presiden, yang juga berarti begitu ketat dan alotnya negosiasi di antara para raksasa politik tersebut.

Di tengah proses merancang titik temu kompromi politik itu, publik mendapati bagaimana kekuatan dinasti politik mulai mengambil tempat. Sebagian nama calon pemimpin yang selama ini beredar serta terus mengalami amplifikasi oleh pelbagai lembaga survei merupakan pantulan dari dinasti yang pernah dan sedang berkuasa.

Fenomena ini tidak mengejutkan dan tidak khas, terutama jika kita mengambil referensi pengaruh dinasti Clinton dan Bush di Amerika Serikat, Gandhi di India, ataupun klan Trudeau di Kanada. Semuanya mengandaikan bahwa politik adalah aktivitas dari suatu tubuh kolektif bernama keluarga.

Dalam konteks Indonesia, catatan panjang politik dinasti telah berjejak dari tingkat nasional (misalnya, keluarga Cendana, Cikeas, ataupun trah Sukarno) hingga daerah. Pada September 2021, misalnya, majalah Tempo mengurai mudarat politik dinasti yang berkuasa di Probolinggo, Jawa Timur, selama 18 tahun. Kasus lain yang benderang adalah anak dan menantu Presiden Jokowi yang berkompetisi serta menang dalam pemilihan kepala daerah. Daftar ini tentu saja dapat diperpanjang dengan mudah beserta contoh-contoh praktik berkuasa berbasis kinship (keluarga) di daerah lain.

Kembalinya makelar politik dinasti dalam negosiasi-negosiasi politik belakangan ini mengunci ruang pemilu dari alternatif dengan dua persoalan besar. Pertama, anutan psikologi politik yang menyandarkan diri pada romantisisme berdasarkan keluarga tidak hanya akan mengeksploitasi ingatan publik ke masa lalu, tapi juga melemahkan imajinasi atas masa depan. Jargon dan gaya kepemimpinan dijiplak semirip-miripnya untuk terus mengobarkan kesan bahwa pribadi yang bersangkutan memiliki kemampuan yang dititiskan oleh para kamitua dinasti. Perasaan mencintai pemimpin dibangun dengan cara terus mengenang sesepuhnya, meromantiskan memori kolektif publik atas suatu kondisi dahulu kala yang pernah ada. Kampanye politik keluarga Gandhi di India selalu membangkitkan memori publik lewat sosok karismatik Mahatma Gandhi. Di Korea Utara, kelompok politik menciptakan fanatisme lewat serangkaian ritus mengenang mendiang Kim Il-sung. Semua contoh ini adalah wujud romantisisme yang memindahkan atribut masa lampau ke masa kini semata-mata demi menjaga utuhnya memori.

Kedua, ciutnya orisinalitas. Apa yang hari ini menjadi soal bukan semata-mata krisis kepemimpinan, tapi juga miskinnya alternatif atau kreativitas politik. Bangunan dinasti yang senantiasa bertolak dari kekhasan patron dan ciri yang menjadi properti pribadi sering beriringan dengan kematian inovasi dalam memimpin. Penerus trah tak punya banyak pilihan selain memelihara ciri (dari yang mengambil bentuk secara fisik hingga program) yang diturunkan kepadanya. Namun, bersamaan dengan hal itu, ia juga berhadapan dengan risiko menyempitnya alternatif. Persis di titik ini dikukuhkan suatu “unggah-ungguh” politik dan kesopansantunan yang ajek kepada “yang dituakan”.

Periset politik dinasti (misalnya, Dal Bo et al. 2009; Amundsen 2016; Chandra 2016) menawarkan investigasi menyeluruh atas ekosistem politik dan benefit komunal untuk anggota dinasti. Sistem kepartaian harus diperiksa untuk melacak bagaimana daya produktivitas partai dalam meregenerasi kandidat untuk masa depan, alih-alih terus bertumpu pada kekuatan dominan pemilik partai atau keluarga yang berkuasa. Selain itu, sistem pemilu yang menutup peluang kandidat independen adalah hal lain yang dapat diteliti sebagai akibat dari menguatnya politik dinasti. Regulasi pemilu yang cenderung berpihak pada partai-partai mapan dan menutup pintu pada kekuatan politik baru adalah variabel lain yang bisa digarisbawahi.

Di luar ekosistem politik, keuntungan komunal yang diterima oleh anggota dinasti harus dilihat dengan teliti. Adakah tumbuh kembang kapital ekonomi (misalnya kekayaan dan kepemilikan aset) terjadi secara dramatis serta signifikan dalam kurun waktu mereka menduduki posisi-posisi berkuasa? Diperlukan inventarisasi yang rutin dan mendalam guna melacak sumber-sumber kekayaan yang mengitari politik dinasti. Motivasi memperluas manfaat finansial adalah hal lain yang dicatat oleh para peneliti politik dinasti di banyak negara.

Masalah lainnya, dinasti politik telanjur menggenapkan pengaruhnya dengan memanfaatkan topeng budaya, klaim agama, atau sentimen lain yang dapat dipakai untuk memperkuat legitimasi. Itu sebabnya, secara ajaib sering ditemui fanatisme publik yang sangat kuat atas satu keluarga dinasti tertentu. Masih mudah dijumpai angan-angan yang disampaikan tentang kerinduan atas masa lampau, situasi-situasi romantis yang dibentuk secara sengaja.

Akibat mental feodal itulah persepsi politik masyarakat dikendalikan oleh ketidakpercayaan terhadap golongan-golongan di luar pagar dinasti. Orang muda, kandidat non-partai, atau calon independen sering menjadi korban langsung strategi ini. Dengan menghilangkan kualifikasi rekam jejak sebagai bagian yang penting dalam penilaian calon pemimpin, kelompok non-dinasti ini acap dianggap belum cukup ranum untuk terjun mengurus hajat publik. Prasyarat untuk “berpengalaman” menjadi norma sekaligus mantra yang mengucilkan elemen-elemen alternatif dari persaingan politik. (*)

 

Rendy Pahrun Wadipalapa, Kandidat Doktor Ilmu Politik di University of Leeds, Inggris.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.