Wacana

Menanti Kebijakan yang Kondusif, dan Adil bagi Dosen

SAAT ini kalangan dosen sedang menanti terbitnya peraturan mendikbudristek dan peraturan menpan dan RB tentang jabatan fungsional dosen.

Peraturan baru ini merupakan tindak lanjut dari terbitnya Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan dan RB) Nomor 1/2023 tentang Jabatan Fungsional. Peraturan ini telah memancing diskursus yang meluas dan memancing terbukanya kotak pandora tentang realitas kondisi kehidupan dosen. Sampai-sampai muncul opini bahwa dosen tidak ubahnya buruh.

Hal ini disebabkan kalangan dosen merasa diperlakukan sama dengan pekerja korporasi pada umumnya, tanpa pemahaman memadai mengenai profesi dan tugas utamanya. Akibatnya sampai muncul pertanyaan lebih lanjut: masih menarikkah berprofesi sebagai dosen?

Beda cara pandang

Perdebatan tidak berkesudahan terjadi karena cara pandang yang berbeda. Pemerintah membuat kebijakan berdasarkan cara pandang adanya kesamaan di antara semua jabatan fungsional. Sementara itu, kalangan dosen berpandangan profesi mereka berbeda. Pertama, dosen adalah pengembang ilmu yang memiliki otonomi keilmuan dan kebebasan mimbar akademik.

Kedua, dosen adalah pendidik profesional, dalam melaksanakan tugasnya di bidang pendidikan dan pengajaran. Setelah selesai melaksanakan tugas mengajar pada jam kerja normal, mereka masih harus mempersiapkan materi pengajaran, menulis modul, menulis buku bahan ajar, menyiapkan kuis, tugas, soal ujian tengah dan akhir semester, serta mengoreksi hasilnya.

Di sisi lain, persoalan utamanya adalah perlakuan yang sama bagi dosen dengan birokrat jabatan fungsional dalam birokrasi pemerintahan pada umumnya. Opini yang berkembang dari para dosen sebagai pemaknaan atas kebijakan tersebut adalah represif dengan tujuan penundukan.

Para kolega muda di Fisipol Universitas Gadjah Mada bahkan sudah membentuk serikat pekerja guna bersiap dan memperkuat posisi tawar, baik terhadap birokrasi kampus maupun kementerian.

Transformasi tata kelola

Arah kebijakan pemerintah, dalam hal ini adalah arah transformasi tata kelola dosen dari pengelolaan dosen yang serba terpusat menjadi pola pengelolaan dosen yang didelegasikan ke perguruan tinggi. Polanya seperti mengikuti kebijakan desentralisasi pemerintahan.

Di masa depan, pemerintah pusat menjadi regulator, lebih fokus pada norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK), sedangkan teknis pengelolaan didelegasikan kepada perguruan tinggi.

Fungsi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) dan Lembaga Layanan Dikti secara teknis banyak berkurang sejalan dengan banyaknya urusan pengelolaan dosen yang didelegasikan. Memakai helicopter view yang lebih tinggi, Kemenpan dan RB bervisi ke depan akan terwujud dosen yang lebih agile, fleksibel, dan sesuai tuntutan dikti itu sendiri.

Sebagai bagian dari upaya transformasi birokrasi ke arah birokrasi yang profesional dan berkelas dunia, disadari bahwa jabatan fungsional dosen yang lincah dan profesional tak mungkin dikelola dengan pola organisasi yang kaku (rigid).

Dalam berbagai kesempatan, Deputi SDM Aparatur Kemenpan dan RB mengatakan, saat ini pihaknya sedang berusaha membangun lingkungan ekosistem yang makin fair dan adil. Asumsinya berangkat dari persamaan organisasi para profesional. Jika terus dicari perbedaannya, semua organisasi unik.

Sementara, dari sisi lembaga pembina jabatan fungsional dosen, dalam berbagai kesempatan Direktur Sumber Daya Ditjen Dikti mengemukakan, di masa depan Kemendikbudristek hanya akan fokus dalam fungsinya sebagai regulator pengelolaan dosen. Mereka hanya akan fokus menangani NSPK dan instrumen pemantauan. Adapun teknis operasionalnya didelegasikan kepada perguruan tinggi masing-masing.

Ke depan, komposisi tri dharma akan dibuat lebih fleksibel, masing-masing akan diatur minimal 10 persen sesuai passion tiap-tiap dosen.

Namun, kinerja individu ini harus berkontribusi nyata terhadap kinerja perguruan tinggi bersangkutan. Kinerja individu harus mencerminkan dan merupakan bagian integral dari kinerja organisasi. Sebaliknya, kinerja organisasi akan tecermin dari kinerja individunya.

Diakui bahwa ruang gerak reformasi sistem pengelolaan karier dosen pegawai negeri sipil (PNS) lebih sempit karena harus memperhatikan berbagai ketentuan yang sudah diatur di banyak peraturan perundangan, seperti UU Nomor 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (termasuk PP Manajemen Kepegawaian), UU Sisdiknas, UU Pendidikan Tinggi, serta UU Guru dan Dosen.

Sementara dosen non-PNS bisa lebih longgar karena UU yang mengatur lebih sedikit. Ke depan, pengaturan pengelolaan karier dosen akan dibuat lebih fleksibel sehingga memungkinkan transfer lintas jabatan. Kemendikbudristek juga akan memilah dosen dengan kategori dosen akademik, dosen profesi, dan dosen vokasi dalam pengaturan dan pengelolaannya, karena substansi tugas utamanya memang berbeda.

Dosen perlu perlakuan spesifik dan kondusif

Arah kebijakan yang demikian layak diapresiasi. Yang perlu diperhatikan nantinya adalah agar detail pengaturan dalam permendikbudristek ataupun permenpan dan RB yang baru lebih mencerminkan pemahaman yang memadai atas karakteristik dunia tugas dosen.

Dosen ASN memang bagian tak terpisahkan dari birokrasi pemerintahan. Namun, karakteristik tugasnya sangat spesifik. Posisi dosen sebagai tenaga pendidik profesional dan pengembang ilmu beserta seluruh konsekuensinya butuh perlakuan yang spesifik dan kondusif.

Bahkan, kalau hasil risetnya menemukan suatu novelty yang secara nilai berbeda atau bahkan bisa bertentangan dengan yang sedang menjadi arah kebijakan pemerintah, harus ada ruang perlindungan akademik.

Tentu hal ini tidak kompatibel dengan perlakuan dosen sebagai bagian dari mesin birokrasi pemerintahan. (*)

 

Antun Mardiyanta, Guru Besar FISIP Universitas Airlangga

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.