Wacana

Menyoal Peluang DOB Papua di Pemilu 2024

RAPAT Dengar Pendapat Komisi II, pemerintah, dan penyelenggara Pemilu (31/8/2022) menyepakati untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) sebagai tindak lanjut pembentukan tiga daerah otonom baru hasil pemekaran Provinsi Papua, yaitu Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan serta antisipasi dibentuknya Provinsi Papua Barat Daya. Langkah ini diambil sebagai upaya untuk mengikutsertakan tiga DOB tersebut dalam Pemilu 2024.

Pertanyaan lebih lanjut ialah apa yang dimaksud dengan keikutsertaan dalam Pemilu 2024 mengingat ketiga DOB tersebut ditetapkan di tengah tahapan pemilu yang telah berjalan. Apa saja kondisi yang harus terpenuhi oleh DOB untuk dapat ikut Pemilu 2024? Dan, dapatkah ketiga DOB tersebut ikut Pemilu 2024?

Untuk menjawab pertanyaan pertama, perlu mengetahui definisi dari pemilu. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden, dan wakil presiden, dan untuk memilih anggota DPRD, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dari pengertian tersebut dapat dilihat bahwa dalam pemilu ada proses transfer kekuasaan dan kedaulatan dari rakyat (yang diwakili) menjadi suatu lembaga kekuasaan (yang mewakili). Dalam konteks DOB, DOB dapat dikatakan ikut serta dalam pemilu apabila ada transfer kekuasaan dari masyarakat di DOB menjadi suatu lembaga kekuasaan, yaitu (1) presiden dan wakil presiden, (2) anggota DPR dari daerah pemilihan DOB, (3) anggota DPD dari provinsi DOB, (4) anggota DPRD tingkat provinsi (atau di DOB di Papua disebut DPR Provinsi).

Untuk memungkinkan terjadinya proses transfer kekuasaan tersebut, setidaknya dibutuhkan aktor-aktor yang terlibat, yang semua harus tersedia dalam suatu jangka waktu tertentu. Aktor pertama yang dibutuhkan ialah penyelenggara pemilu. Dalam ketentuan undang-undang terkait penetapan DOB (yaitu UU Nomor 14/2022, UU Nomor 15/200, dan UU Nomor 16/2022) disebutkan bahwa perangkat daerah dan pengisian perangkat daerah dapat dilakukan ketika telah ada penjabat gubernur yang dilantik.

Pelantikan penjabat gubernur dilakukan paling lambat enam bulan sejak UU terkait di DOB diundangkan. UU DOB disahkan pada Juni 2022, enam bulan setelah itu jatuh pada bulan Desember 2022. Artinya, paling lambat perangkat daerah dan lain-lain dapat dibentuk pada jangka waktu tersebut.

Namun, sementara menunggu terbentuknya penyelenggara pemilu yang permanen di DOB, Komisi II DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu menyepakati bahwa tugas dan wewenang penyelenggata pemilu di DOB dilaksanakan oleh KPU dan Bawaslu.

Aktor kedua ialah pemilih. Secara prinsip tidak terlalu banyak persoalan terkait pemilih karena yang menjadi DOB ialah wilayah provinsi. DOB terbentuk dengan memindahkan wilayah administrasi kabupaten/kota tanpa diikuti adanya pemekaran kabupaten/kota. Pemilih dari DOB otomatis diambil dari penduduk di wilayah kabupaten/kota yang menjadi bagian dari DOB.

Namun, yang perlu menjadi perhatian ialah perpindahan pencatatan administrasi data penduduk dari provinsi induk ke provinsi di DOB. Jangan sampai proses pencatatan administrasi menjadi hambatan bagi penduduk di DOB untuk menjadi pemilih.

Selain itu, secara prinsip dalam UU Pemilu juga disebutkan bahwa penduduk yang dapat menjadi pemilih ialah penduduk yang memiliki KTP elektronik sehingga perlu ada perbaikan dan percepatan proses perekaman KTP elektronik. Semakin baik data penduduk dan semakin berkualitas pemilih, proses transfer kekuasaan dari rakyat ke lembaga perwakilan menjadi semakin legitimate.

Aktor terakhir dalam proses transfer kekuasaan ialah peserta pemilu. Berdasarkan UU Nomor 7/2017, peserta pemilu ialah perseorangan dan partai politik. Perseorangan untuk pemilihan anggota DPD dan partai politik untuk pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan anggota DPR, dan pemilihan anggota DPRD.

Dalam konteks DOB, khususnya untuk peserta pemilu perseorangan anggota DPD, syarat yang harus terpenuhi ialah adanya regulasi yang memungkinkan adanya dapil anggota DPD di tiga DOB dan tersedianya data kependudukan dari pemerintah yang sudah terpisahkan antara penduduk di provinsi induk dan penduduk di provinsi baru.

Pemisahan data penduduk tersebut diperlukan sebagai dasar bagi penyelenggara pemilu menentukan syarat minimal dukungan penduduk yang harus dipenuhi bagi orang-orang yang akan mendaftar sebagai bakal calon anggota DPD.

Ganjalan

Sementara untuk peserta pemilu parpol, regulasi yang ada saat ini baru memungkinkan untuk diselenggarakannya pemilu presiden dan wakil presiden serta pemilu anggota DPRD kabupaten/kota. Sementara untuk pemilu DPR dan DPRD provinsi, pelaksanaannya masih terganjal beberapa ketentuan, salah satunya ketentuan dapil yang menjadi lampiran dari UU Nomor 7/2017.

Apabila dalam perpu yang akan diterbitkan mengakomodasi perubahan dapil DPR dan dapil DPRD provinsi, perubahan tersebut perlu diikuti dengan perubahan setidaknya salah satu dari dua ketentuan yang ada di UU Nomor 7/2017. Pertama ialah ketentuan Pasal 186 yang menyebutkan bahwa jumlah kursi anggota DPR ditetapkan sebanyak 575.

Hal tersebut karena alokasi kursi DPR untuk dapil Papua saat ini berjumlah 10 kursi, dan pascapemekaran terbentuk empat provinsi (1 provinsi induk dan 3 DOB). Adapun jumlah kursi dapil DPR paling sedikit tiga kursi.

Dengan kontruksi regulasi tersebut, setidaknya harus ada 12 kursi untuk empat provinsi yang ada. Konsekuensi paling logis dari adanya selisih dua kursi tersebut ialah menambah total jumlah kursi DPR dari 575 menjadi 577 kursi karena agak sulit apabila pilihannya mengambil kursi dengan mengurangi alokasi kursi dari dapil provinsi lain.

Atau apabila memang akhirnya diputuskan bahwa tidak ada penambahan jumlah kursi anggota DPR dan tidak ada kursi dari dapil provinsi lain yang dikurangi, langkah yang dapat diambil ialah mengubah ketentuan Pasal 187 Ayat (2) UU Nomor 7/2017 yang menyebutkan jumlah kursi setiap dapil anggota DPR paling sedikit tiga kursi dan paling banyak 10 kursi.

Ketentuan lain yang perlu didesain ialah terkait kepengurusan parpol tingkat provinsi. Pasal 243 Ayat (3) UU No 7/2017 menyebutkan bahwa daftar bakal calon anggota DPRD provinsi ditetapkan oleh pengurus partai politik peserta pemilu tingkat provinsi, sedangkan proses verifikasi partai politik yang sedang berlangsung saat ini tidak mengikutsertakan ketiga DOB dalam kepengurusan yang diverifikasi.

Tidak masuknya ketiga DOB tersebut dalam proses verifikasi parpol akan memunculkan beberapa konsekuensi lanjutan. Salah satunya ialah tidak adanya kepengurusan parpol tingkat provinsi, atau setidaknya, tidak ada kepengurusan parpol tingkat provinsi yang terverifikasi oleh penyelenggara pemilu. Adapun untuk dapat ikut pemilu anggota DPRD provinsi, selain harus sudah tersedia dapil, juga perlu ada parpol tingkat provinsi yang nanti akan mengajukan calon anggota DPRD di wilayah tersebut.

Proses verifikasi parpol masih berjalan, semoga masih ada desain aturan yang memungkinkan adanya parpol tingkat provinsi di DOB yang terverifikasi yang mempunyai legitimasi untuk mengajukan bakal calon anggota DPRD provinsi pada proses pencalonan nanti. (*)

 

Muhammad Faatihul Haaq, Pemerhati Pemilu; Alumnus Ilmu Politik Universitas Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.