Wacana

Pejuang AI dan Konser Black Pink

DI akhir pekan lalu, Jakarta diguncang konser Black Pink, grup musik yang sangat terkenal dari Korea Selatan. Ratusan ribu anak muda dan penggemar ini menonton, baik secara langsung maupun dari rekaman video sambal berteriak histeris, wujud kekaguman kepada grup ini.

Banyak di antara mereka menggunakam kostum dan aksesori berwarna pink yang harganya tentu saja sangat mahal. Beberapa stasiun TV kita menyebutkan, Gelora Bung Karno (GBK) telah berubah menjadi pink dan hebohnya musik terdengar sampai ke luar arena.

Lalu apa yang dapat kita pelajari dari fenomena seperti ini? Pertama, kita tentu perlu bersyukur bisa menyelenggarakan konser kelas dunia ini dengan baik, meriah, dan aman. Tidak ada insiden yang bisa mencoreng nama kita. Ini prestasi yang patut dihargai. Namun, di balik kemeriahan acara, timbul kekhawatiran generasi muda bisa terbius oleh konser-konser seperti ini lagi pada masa mendatang. Mereka akan menjadi semakin konsumtif dan terbiasa hidup berhura-hura.

Padahal, negara kita sedang fokus mempersiapkan SDM unggul untuk menghadapi era digital dan revolusi artificial intelligence (AI). Revolusi AI kian tampak dengan diluncurkanya mesin jenius bernama ChatGPT oleh OpenAI baru-baru ini. Keberadaan mesin ini makin membuat komputer dan mesin-mesin cerdas berbasis AI, blockchain dan teknologi digital maju lainnya akan semakin membanjiri dunia. AI dapat menjawab setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan baik.

Selain itu, dapat melakukan pekerjaan yang selama ini hanya bisa dilakukan manusia. Sebagai contoh, ChatGPT bisa untuk membuat program komputer, mendiagnosis penyakit, membuat lagu, mengarang puisi, menjawab soal ujian, sebagai penasihat hukum, mengidentifikasi kejahatan, dan berbagai pekerjaan lainnya.

Mesin-mesin cerdas berbasis AI lainnya seperti autonomous vehicle akan menyebabkan pekerjaan sopir, nakhoda, dan pilot sangat berkurang atau bahkan bisa tergantikan. Industri manufaktur akan melakukan otomatisasi dan digitalisasi di semua lini produksinya.

Ini menyebabkan penggunaan tenaga kerja langsung sangat berkurang. Seorang penulis buku otomatisasi industri pada sekitar 1995 pernah meramalkan, di dekade mendatang industri manufaktur hanya akan memiliki satu orang manusia untuk mengawasi puluhan mesin cerdas. Serta, seekor anjing untuk memastikan manusia tersebut tidak melalaikan tugasnya.

Sungguh ilustrasi yang sangat mengusik kita. Pertanyaannya sekarang, kalau semua hal sudah bisa dikerjakan mesin-mesin cerdas, lalu pekerjaan apa lagi yang masih tersisa bagi manusia? Kalau pengangguran besar-besaran terjadi, ini bisa menjadi awal bencana yang sangat besar yang ujungnya kepunahan umat manusia. Sungguh ironis, manusia yang begitu cerdas bisa tersingkir dan bahkan punah oleh mesin-mesin ciptaannya sendiri. Ini bisa seperti kata pepatah, membesarkan anak harimau, setelah besar tuannya dimakan sendiri oleh harimau yang sudah besar tersebut. Kita tentu tidak ingin hal ini terjadi.

Kabar baiknya, walaupun banyak pekerjaan yang akan hilang dan banyak bisnis yang akan berhenti beroperasi, ternyata pekerjaan dan bisnis baru yang akan timbul jauh lebih banyak. Ini berarti kita umat manusia ini akan baik-baik saja. Namun, ada syarat penting yang harus kita lakukan agar bisa selamat pada masa depan, yaitu kita pada umumnya dan generasi muda pada khususnya tidak boleh berhenti belajar dan tidak boleh malas berpikir.

Mengapa? Pertama, pekerjaan baru yang akan muncul adalah pekerjaan yang belum ada sebelumnya. Contohnya, saat ini diperlukan banyak SDM yang punya pengetahuan dan kecakapan yang baik di bidang keamanan siber. Pekerjaan lainnya, pemrogram machine learning, pengembang blockchain, ahli natural language processing, pelatih robot, pilot drone cerdas, pemrogram uang digital, pembangun metaverse, perancang brain and computer interface (BCI).

Untuk mengisi pekerjaan ini, tentu diperlukan proses pembelajaran yang sangat baik oleh generasi muda kita. Demikian juga dengan profesi lain. Contoh, seorang dokter pada masa depan dapat melakukan tindakan dari jarak jauh menggunakan teknologi telerobotika. Kalau perlu operasi usus buntu yang rumit, misalnya, kita bisa tetap di Indonesia sedangkan dokter yang melakukan pembedahan bisa berada di Amerika Serikat atau Eropa. Teknologi yang sedang dikembangkan ini dinamakan Internet of Skill (IoS) dan akan menggunakan jaringan internet 5G. Jadi dokter masa depan, bukan dokter biasa, melainkan yang sangat menguasai teknologi digital maju. Seorang insinyur juga demikian. Proses perancangan produk yang rumit bisa menggunakan metaverse, virtual reality/augmented reality, dan digital twin. Semua bisa dilakukan jika insinyur masa depan menguasai AI, blockchain, dan teknologi digital maju lainnya.

Alasan kedua, kita tidak boleh bergantung pada teknologi dari negara maju. Kita harus bisa menciptakan mesin-mesin yang bukan saja sama pintarnya, bahkan kalau bisa lebih pintar daripada mesin-mesin yang dibuat negara-negara prinsipal. Artinya, negara kita harus mampu mandiri teknologi. Ini bisa terwujud jika generasi muda kita rajin belajar, produktif, dan inovatif. Musuh dari semua ini adalah pola hidup konsumtif, berfoya-foya, dan bersenang-senang tidak keruan.

Kita tidak menolak hiburan, rekreasi, dan bersenang-senang dengan wajar karena seni bagian tak terpisahkan dari ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks). Agama juga menganggap seni yang pantas adalah keindahan dan keindahan akan menambah keimanan. Namun, kita harus berhati-hati terhadap agenda besar negara-negara lain. Untuk memenangkan persaingan global, mereka bisa saja secara sengaja melemahkan generasi muda kita dengan menjadikannya sebagai konsumen hiburan atau produk teknologi mereka saja.

Tentu semua pihak harus terlibat dalam melindungi generasi muda kita. Pemerintah harus menyaring produk atau acara apa saja yang boleh, dan mana yang harus dilarang demi menjaga mentalitas dan nasionalisme generasi muda dan para pejuang AI kita. Para pendidik dan ulama harus terus membina dan melakukan edukasi terhadap masyarakat, agar punya nasionalisme tinggi dan tidak tergila-gila kepada produk asing yang merusak. Orang tua harus memberikan contoh yang baik dengan pola hidup sederhana.

Penulis masih ingat nasihat seorang ulama kepada anaknya, “Saya tidak akan memberimu uang dan kesenangan dunia yang berlebihan sekarang karena itu akan membuat kamu sengsara kelak. Tapi saya akan bekali kamu dengan agama, mentalitas, nasionalisme, dan ilmu yang bermanfaat karena kelak itulah yang akan membuatmu menjadi pemenang dan bukan pecundang pada masa yang akan datang.” Sungguh nasihat yang sangat bijak untuk para pejuang AI kita. (*)

 

YANDRA ARKEMAN, Profesor dan Peneliti di BRAIN IPB University

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.