Wacana

Reformasi Birokrasi dan Revisi Undang-Undang ASN

SALAH satu indikator untuk mengukur kualitas reformasi birokrasi adalah indeks efektivitas pemerintahan, yang mencerminkan kualitas pelayanan publik, kualitas aparatur sipil negara (ASN) dan independensinya, serta kualitas perumusan kebijakan hingga kredibilitas komitmen pemerintah. Bank Dunia mencatat efektivitas pemerintahan Indonesia berada di peringkat ke-62 dengan skor 0,38 pada 2021 dalam skala -2,5 yang terendah hingga 2,5 yang tertinggi. Tetangga kita di ASEAN, Singapura, adalah negara dengan birokrasi terbaik di dunia. Adapun Fiji, salah satu negara yang pernah belajar dari Indonesia, memiliki peringkat lebih baik dari kita dengan posisi di urutan ke-52.

Setelah 25 tahun reformasi berlangsung, target indeks efektivitas birokrasi masih jauh dari kata sukses. Misalnya, target pemerintah untuk mendapatkan skor 0,5 pada 2014 gagal dicapai. Dalam dua periode pemerintahan Joko Widodo, indeks ini seakan-akan tenggelam dan pemerintah lebih memilih instrumen buatan sendiri untuk mengukur kesuksesannya.

Alih-alih memperkuat reformasi birokrasi, eksekutif dan legislatif malah sibuk membahas revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. Ini termasuk eksistensi Komisi ASN dan “operasi penyelamatan” tenaga honorer non-ASN, yang semula hanya untuk honorer kategori dua (K2) yang berjumlah 300 ribuan tapi kini meledak hingga 2 jutaan orang. Beragam kebijakan eksotis pun belum secara tuntas dan kontekstual menjawab tuntutan menuju birokrasi yang efektif. Orientasi agenda reformasi birokrasi tampaknya semakin jauh dari harapan.

Peran Komisi ASN mirip video assistant referee (VAR) dalam sepak bola, yang teliti mengkaji terjadinya pelanggaran. Pembubaran komisi ini akan menjadi preseden buruk dalam pendewasaan birokrasi. Namun Komisi seharusnya juga jangan hanya diberi kesibukan dalam urusan netralitas ASN dan seleksi jabatan pimpinan tinggi (JPT). Masalah meritokrasi manajemen ASN sangat kompleks, termasuk kajian Bank Dunia (2018) yang mencatat bahwa karier bagi ASN perempuan dan beragam kelompok minoritas semakin buruk pasca-demokratisasi pada 1999.

Penerapan tes dengan bantuan komputer (CAT) sejak 2013 berhasil merekrut ASN dengan transparan. CAT masuk dalam 10 besar inovasi manajemen sektor publik oleh Bank Dunia pada 2018. Namun reformasi birokrasi yang kontekstual perlu dijalankan. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah.

Pertama, modernisasi sistem rekrutmen ASN. Pemerintah perlu memperbarui substansi dan model tes; penelusuran jejak portofolio, khususnya pengalaman dan kompetensi calon; membuka rekrutmen secara berkelanjutan, khususnya pada kelompok tenaga ahli (pro-hire); serta pencarian bakat ke perguruan tinggi dan optimalisasi lulusan peraih beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), yang nilai beasiswanya selama 2012-2021 saja telah mencapai Rp 14,9 triliun.

Kebijakan rekrutmen ASN secara afirmatif perlu diperluas, tidak hanya bagi formasi putra-putri Papua atau orang asli Papua, penyandang disabilitas, diaspora, mahasiswa berprestasi (cum laude), dan tenaga honorer K2, tapi juga formasi untuk daerah tertinggal, terpencil, terluar, dan pedalaman. Formasi afirmatif kebangsaan juga perlu dibuka, misalnya bagi etnis keturunan Cina, India, dll, yang masih sangat jarang bekerja di sektor publik. Hal ini perlu dilakukan untuk membumikan fungsi ASN sebagai perekat dan pemersatu bangsa.

Kedua, manajemen talenta dan kaderisasi birokrasi. Terbatasnya ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni di suatu instansi, khususnya pemerintah daerah, dapat diisi dari daftar talenta nasional (talent pool). Misalnya, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah di daerah perbatasan, seperti Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, dapat dipimpin oleh ASN terbaik dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang telah teruji kompetensi dan kinerjanya di bidang perencanaan serta penganggaran pembangunan. Selain mendorong kemajuan daerah, kehadirannya diharapkan melahirkan birokrat terbaik pada masa depan.

Ketiga, restorasi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). PPPK sejatinya adalah ASN yang sangat dibutuhkan untuk prioritas pembangunan nasional dalam waktu tertentu. Seperti agenda gizi anak (stunting) yang merupakan bagian reformasi birokrasi tematik dan berdampak, yang ditargetkan sebesar 14 persen pada 2024 atau di bawah 680 ribu per tahun. Dibutuhkan SDM peneliti, nutrisionis, dan dokter ahli dalam tiga tahun untuk misi ini. Rekrutmen PPPK difokuskan kepada kaum profesional atau diaspora yang nyata memiliki sertifikat kompetensi dan pengalaman di bidang stunting. PPPK bukan didesain untuk menyelamatkan tenaga honorer. Ke depan, setiap ASN harus memiliki jabatan fungsional dan bersertifikat keahlian, kompetensi, serta profesi.

Keempat, kesejahteraan yang adil dan layak. Disparitas kesejahteraan ASN semakin lebar, baik antar-instansi, daerah, maupun jabatan. Hal ini memicu persoalan redistribusi ASN, khususnya di daerah 3TP. Sudah menjelang satu dekade sejak terbitnya Undang-Undang ASN, aturan turunan kebijakan, seperti reformasi gaji, tunjangan, fasilitas ASN, jaminan pensiun dan hari tua, termasuk manajemen ASN di daerah tertinggal, terpencil, terluar, dan pedalaman (3TP), serta ASN afirmatif yang bekerja pada kategori risiko tinggi, pun belum terbit.

Undang-Undang ASN sejatinya telah mengamanatkan bahwa kebijakan dan pengelolaan ASN dilakukan dengan memperhatikan kekhasan daerah tertentu, seperti daerah otonom, daerah tertinggal, dan daerah terpencil. Mirisnya, hingga saat ini manajemen ASN masih pukul rata dan belum ada inisiatif dari pemerintah pusat untuk menerbitkan regulasi turunan dalam mendukung implementasi kebijakan asimetrik dan afirmatif di daerah 3TP.

Sejatinya aturan tersebut diharapkan mampu menjawab kebutuhan ASN yang dapat direkrut dari jalur pro-hire, talenta terbaik dari kampus, dan kebutuhan akan dokter spesialis yang dikeluhkan oleh Presiden Joko Widodo ketika kunjungannya baru-baru ini ke Rumah Sakit Umum Daerah Komodo di Nusa Tenggara Timur, yang telah menelan biaya Rp 200 miliar. Mirisnya, Undang-Undang Kesehatan yang baru terbit tidak disinkronkan dengan sisi reformasi manajemen ASN di sektor kesehatan.

Praktik-praktik cerdas yang implementatif dilakukan Singapura melalui pemimpinnya, Lee Kuan Yew. Minimal 30 dari 100 orang terbaik lulusan kampus di Singapura tiap tahun dipersiapkan menjadi birokrat, baik di sektor yang menangani administrasi, infrastruktur, akuntansi, hukum, maupun kesehatan. Sistem penggajian yang lebih kompetitif dengan sektor swasta menjadi kunci mendapatkan orang bertalenta tinggi. Bila tidak, pemerintah hanya mendapatkan “sisa-sisa” (leftovers).

Terakhir, penataan kelembagaan pemerintah dalam manajemen ASN. Selain Komisi ASN, ada empat institusi lain, yaitu Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Badan Kepegawaian Negara, dan Lembaga Administrasi Negara, yang sejatinya dapat “merger” menjadi satu, yakni Kementerian Aparatur Negara dan Transformasi Birokrasi. Komisi ASN perlu dipertahankan dan fokus bertindak sebagai juri dalam setiap distorsi serta inkonsistensi yang terjadi pada kebijakan manajemen ASN.

Transformasi birokrasi yang kontekstual adalah kunci untuk birokrasi yang berdampak menuju Indonesia Emas 2045. Hal ini perlu menjadi perhatian khusus bagi anggota legislatif dan eksekutif yang sedang menggodok revisi Undang-Undang ASN di Senayan. (*)

 

Bonataon MT Vincent Simandjorang, Peneliti di Pusat Riset Kebijakan Publik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.