Berita Utama

Opsi Meredam Konflik di Papua

JAKARTA – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) periode 2022-2027 menempatkan persoalan Papua sebagai salah satu prioritas kerja. Tujuannya adalah mendorong situasi yang kondusif bagi kemajuan dan perlindungan HAM di Papua. “Melanjutkan upaya yang telah dilakukan pada periode lalu,” kata Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, saat dihubungi Minggu (18/12/2022).

Atnike menuturkan pendekatan yang akan dilakukan Komnas HAM untuk meredam konflik di Papua adalah mendorong pendekatan dialog dan kemanusiaan. Meski begitu, kata dia, pendekatan dialog dan kemanusiaan bukan seperti obat yang diminum langsung sembuh. Upaya itu membutuhkan proses dan kerja sama dari sejumlah kalangan, seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah, institusi TNI dan Polri, serta organisasi masyarakat di Papua. “Semuanya harus bekerja sama, termasuk masyarakat Papua,” ujarnya.

Pada masa awal kerja Komnas HAM periode ini, ujar Atnike, lembaganya tengah mengumpulkan informasi yang komprehensif perihal situasi HAM di Papua. Ia mengatakan sedang mempelajari berbagai kebijakan yang dilakukan pemerintah pusat, pemerintah lokal, serta TNI dan Polri.

Komnas HAM juga tengah mempelajari serta mendengarkan masukan dari tokoh-tokoh agama dan masyarakat, baik di Papua maupun di Jakarta. Menurut dia, semua itu membutuhkan waktu, yang tujuannya agar Komnas HAM dapat mengembangkan strategi yang efektif sesuai dengan tugas dan kewenangannya. “Setelah itu, kami akan menjelaskan pandangan dan langkah Komnas HAM perihal situasi di Papua, termasuk mengenai jeda kemanusiaan,” kata dia.

Jeda Kemanusiaan Menekan Konflik

Jeda kemanusiaan Papua merupakan upaya penyelesaian konflik dan kekerasan di wilayah tersebut. Dokumen itu diteken di Jenewa, Swiss, pada 11 November 2022. Berkas itu, salah satunya, menyebutkan ihwal penanganan pengungsi di enam wilayah konflik di Papua dari Desember 2022 hingga Februari 2023.

Ketua Komnas HAM saat itu, Ahmad Taufan Damanik, dan Ketua Majelis Rakyat Papua Timotius Murib turut menandatangani berkas tersebut. Perwakilan Komnas HAM dan kelompok di Papua bersepakat bahwa kekerasan bersenjata di sana harus diakhiri.

Upaya itu perlu dilakukan lantaran kasus kekerasan bersenjata di Papua semakin panjang. Jumlah kasus kekerasan dan penembakan di Papua tengah meningkat dalam sepekan terakhir. Rangkaian peristiwa itu diduga melibatkan TNI-Polri dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM). Adapun penduduk sipil menjadi korbannya.

Kamis (15/12/2022), sedikitnya sembilan penduduk sipil dilaporkan tertembak dalam kerusuhan di Distrik Minyamur, Kabupaten Mappi, Provinsi Papua Selatan. Kerusuhan itu diduga bermula ketika seorang pelajar bernama Sabinus Sedap, 18 tahun, dihadang oleh seseorang yang membawa parang di Distrik Minyamur. Dalam keadaan mabuk, pria tersebut diduga lantas memalak Sabinus. Hingga laporan ini diturunkan, Sabinus, yang terluka di bagian kepala dan paha, dikabarkan selamat setelah dirawat di rumah sakit setempat.

Warga di sekitar lokasi kejadian lantas menangkap pelaku dan diserahkan ke Kepolisian Resor Mappi. Namun, tak lama kemudian, serombongan orang datang memaksa agar pelaku pembacokan dibebaskan. Aparat gabungan TNI-Polri bersenjata laras panjang lantas membalas dengan penembakan, yang mengenai sejumlah warga sipil. Mereka adalah Moses Nagas Ero, 35 tahun; Basilius B. Boy (27); Prederikus Boy (15); Yohanes Sedap (25); Wilem Jeji Samogoi (14); Kasper Jebo (20); Erikson Pasim (21); dan Otnniel Samogoi (27).

Kemudian, pada Selasa (13/12/2022), seorang karyawan Bank Papua, Darius Julius Yumame, tewas tertembak di kompleks Pasar Sinak, Kabupaten Puncak, Papua Tengah. Saat itu, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Papua, Komisaris Besar Ahmad Musthofa Kamal, menjelaskan bahwa kepolisian masih mengejar para pelaku yang diduga kelompok OPM pimpinan Gholiat Tabuni dan Lekagak Teenggelen.

Sebelumnya, pada 5 Desember lalu, OPM juga diduga menembak mati tukang ojek di Kampung Mangabip, Distrik Okaom, Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua Pegunungan. Pembunuhan itu diduga karena kelompok OPM mencurigai korban sebagai intelijen yang sedang menyamar.

Advokat dan pegiat HAM, Asfinawati, mengatakan, hingga saat ini, sudah ada 60 ribu warga sipil yang menjadi pengungsi di Papua akibat konflik bersenjata. Menurut pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera itu, hal tersebut salah satunya lantaran tidak adanya penetapan daerah operasi militer di Papua. “Jadi, tidak ada ukuran-ukuran sehingga seakan-akan di sana hukum yang berlaku adalah hukum biasa. Padahal, kalau hukum biasa yang terjadi, seharusnya polisi, bukan TNI yang di depan,” kata Asfinawati pada Minggu (18/12/2022).

Bekas Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu melihat pemerintahan saat ini tidak punya kehendak menyelesaikan masalah di Papua. Menurut dia, sudah tidak relevan penanganan konflik di Papua ditempuh dengan jalur tentara bersenjata. Jalur dialog, kata dia, lebih penting dilakukan pada saat ini. (TEM)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.