Berita Utama

Pelonggaran Berulang Ekspor Freeport

KARAWANG — PT Freeport Indonesia bakal kembali menikmati relaksasi atau pelonggaran izin ekspor konsentrat. Presiden Joko Widodo sudah memberi kepastian perpanjangan izin penjualan konsentrat tembaga ke luar negeri buat anak usaha MIND ID itu. “Ya, terus dong. Ya, diperpanjang (izinnya). Hanya kita ini masih berhitung mengenai dikenakan berapa,” katanya di Karawang, Jawa Barat, Rabu (8/5/2024).

Izin ekspor Freeport Indonesia seharusnya berakhir pada 31 Mei mendatang. Pemerintah hanya memberi restu sementara sejak 11 Juni 2023 lantaran perusahaan tersebut belum menyelesaikan pembangunan smelter tembaga. Berdasarkan Undang-Undang Mineral dan Batubara, pemilik izin tambang mineral wajib mengolah mineral mentah di dalam negeri. Per 10 Juni 2023, semua mineral mentah dilarang dijual ke luar negeri.

Namun Freeport bersama tiga perusahaan lain mendapat pengecualian. Mereka adalah PT Amman Mineral Nusa Tenggara sebagai eksportir konsentrat tembaga, PT Sebuku Iron Lateritic Ores yang mengekspor besi, serta PT Kapuas Prima Coal sebagai penjual timbal dan seng. Alasannya, empat perusahaan tersebut sudah menyelesaikan pembangunan smelter lebih dari 50 persen.

Komitmen pembangunan smelter inilah yang juga menjadi alasan Kepala Negara kembali memberi pelonggaran izin ekspor. “Kami menghargai Freeport ataupun Amman karena telah membangun smelter dan sudah selesai hampir 100 persen,” ujar Jokowi.

Kemajuan pembangunan smelter kedua Freeport di Gresik, Jawa Timur, diklaim sudah mencapai 92 persen per Maret lalu. Perusahaan menargetkan pekerjaan konstruksi rampung pada Juni 2024. Adapun pengoperasian perdana bakal dilakukan pada Agustus mendatang dengan setengah kapasitas smelter yang mampu memurnikan 1,7 juta ton konsentrat tembaga ini. Sedangkan pengoperasian penuh pabrik baru bisa terlaksana pada Desember 2024.

Masih Membahas Besaran Bea Keluar

Menurut Presiden, pemerintah masih dalam tahap persiapan sebelum memberi perpanjangan izin. Salah satunya adalah menentukan harga patokan ekspor mineral yang harus ditanggung perusahaan. Selain itu, pemerintah masih harus membahas besaran pungutan ekspor. Selama masa pelonggaran sekitar setahun terakhir, Freeport harus membayar bea keluar sebesar 7,5 persen dari nilai ekspor.

Merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71 Tahun 2023, besaran bea keluar ditetapkan sesuai dengan kemajuan fisik pembangunan smelter. Jika kurang dari 70 persen, perusahaan harus membayar bea keluar sebesar 7,5 persen. Sedangkan jika kemajuan fisik lebih dari 90 persen, besarannya hanya 5 persen.

Pelonggaran izin tahun lalu juga disertai dengan sejumlah sanksi. Pertama, perusahaan wajib menempatkan jaminan kesungguhan pembangunan smelter senilai 5 persen dari total penjualan pada periode 16 Oktober 2019 hingga 11 Januari 2022 di rekening bersama. Kalau sampai 10 Juni 2024 pembangunan smelter tak mencapai 90 persen dari target, dana tersebut beralih ke kas negara. Pemerintah juga memungut denda administratif atas keterlambatan operasi smelter sebesar 20 persen dari total nilai ekspor.

Mengenai bea keluar, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani menyatakan belum ada keputusan ihwal tarif yang bakal dikenakan setelah Mei mendatang. “Soal tarif setelah Mei, masih belum ada pembahasan spesifik mengenai hal tersebut,” ujarnya, kemarin.

Pemerintah mengantongi penerimaan bea keluar dari tembaga sekitar Rp 2,6 triliun selama periode Januari-Maret 2024. Nilai tersebut tumbuh 530 persen secara tahunan. Sedangkan secara total, pemasukan bea keluar Indonesia pada periode tersebut sebesar Rp 4,2 triliun.

Merujuk pada ringkasan laporan keuangan Freeport-McMoran pada kuartal I 2024, terlihat setoran bea keluar tembaga Indonesia mayoritas berasal dari anak usaha perusahaan tersebut. Freeport tercatat menyetor bea keluar senilai US$ 156 juta. Dengan asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat senilai 15.711 pada kuartal I 2024, nilai tersebut setara dengan Rp 2,4 triliun.

Pekerja menunjukan denah kawasan pembangunan proyek smelter Freeport di Kawasan Ekonomi Khusus Java Integrated and Industrial Port Estate (KEK JIIPE), Gresik, Jawa Timur, 9 November 2023. ANTARA/Rizal Hanafi

Menurut juru bicara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Nirwala Dwi Heryanto, pemerintah mendapat penerimaan bea keluar sebesar Rp 11,18 triliun selama masa pelonggaran izin ekspor konsentrat dari Juni 2023 hingga April 2024. Pada 2023, bea keluar dari pelonggaran berkontribusi sebesar 48,5 persen dari total penerimaan bea keluar. Sedangkan kontribusinya sejak awal tahun hingga April lalu mencapai 79,5 persen. “Jika relaksasi ekspor dilanjutkan, tentunya akan ada tambahan penerimaan bea keluar,” katanya, kemarin.

Melihat kontribusi yang cukup signifikan itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan Bisman Bakhtiar mengaku bisa memaklumi perpanjangan izin ekspor konsentrat kali ini. Ditambah, kata dia, pembangunan smelter yang memang belum rampung. Sebab, jika ekspor ditahan, kegiatan di tambang bakal terhenti. Kapasitas smelter tembaga yang sudah berdiri pun jauh di bawah produksi konsentrat Freeport. “Kalau stop produksi, dampaknya luar biasa besar terhadap ekonomi dan sosial, termasuk keamanan,” ujarnya.

Di sisi lain, Bisman menyayangkan keputusan pemerintah memperpanjang izin ekspor konsentrat. Alasannya, pemerintah sudah berkali-kali memberi kelonggaran meski Undang-Undang Minerba jelas mengatur kewajiban pembangunan smelter hingga larangan ekspor. “Pemerintah tidak bisa tegas dan Freeport juga tidak serius membangun smelter.”

Kalau perpanjangan ini berlaku, Bisman berharap pemerintah menetapkan denda yang lebih besar kepada perusahaan karena terlambat membangun smelter. Dia bahkan mengusulkan denda ini ditarik secara progresif sesuai dengan perkembangan pembangunan smelter. Pungutan ini merupakan kompensasi atas hilangnya potensi penerimaan negara yang bisa diraup jika pabrik pemurnian tersebut beroperasi, sekaligus menjadi semacam jaminan agar perusahaan segera menyelesaikan kewajibannya.

Minim Nilai Tambah

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai pengenaan penalti juga bisa menyelamatkan citra pemerintah di publik. Sebab, walau di satu sisi perusahaan memang lalai melaksanakan kewajiban mereka, di sisi lain pemerintah tidak tegas menjalankan aturan. Pengalaman pelonggaran berulang kali seharusnya menjadi pelajaran buat pemerintah. “Bahwa dalam membuat kebijakan perlu lebih komprehensif lagi,” tuturnya.

Komaidi mencatat pengusaha sejak awal tidak pernah memprioritaskan pembangunan smelter tembaga. Pasalnya, nilai tambah dari pengolahan konsentrat tembaga hanya 5 persen. Padahal pembangunan smelter membutuhkan investasi besar. Apalagi industri turunan untuk menyerap hasil olahan tersebut juga belum berkembang di dalam negeri. Tanpa paksaan pemerintah, pengusaha dipastikan tidak akan membangun pabrik tersebut.

Penetapan tenggat pembangunan smelter dan larangan ekspor oleh pemerintah, menurut Komaidi, perlu disertai dengan perhitungan risiko sehingga ada langkah antisipasi yang disiapkan. “Kalau sekarang, seolah-olah tidak ada opsi selain membuka keran ekspor.” Sama seperti Bisman, Komaidi memperkirakan dampak penutupan ekspor bakal mengganggu produksi yang berujung pengurangan tenaga kerja. (tem)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.