Berita Utama

Startup Bukan Pilihan Utama

JAKARTA – Fenomena kurang diminatinya startup sebagai pilihan bekerja para lulusan anyar terjadi seiring dengan maraknya PHK di industri tersebut. Menyitir hasil pemantauan dan analisis perbincangan di Twitter yang dilakukan lembaga riset NoLimit, sebanyak 63 persen warganet lebih tertarik bekerja di BUMN ketimbang startup sejak isu PHK meningkat. Tema PHK pun menjadi topik utama warganet saat berbincang soal startup.

NoLimit memantau perbincangan untuk kata kunci Startup, Start-Up, BUMN, PNS, Layoff, dan PHK sejak 1 Januari hingga 30 November 2022. Ada 825.720 perbincangan di Twitter mengenai kata kunci tersebut.

Menyitir laporan bertajuk “NoLimit IndSight: Perkembangan Isu Startup di Media Sosial” yang dilansir Tempo, Senin (23/1/2023), isu tertinggi yang dibicarakan di media sosial soal startup adalah penyelenggaraan BUMN Startup Day dengan 4.180 percakapan. Kegiatan itu dilaksanakan Kementerian BUMN.  Isu kedua yang paling ramai dibicarkan adalah gelombang PHK startup dan perusahaan teknologi.

Soal preferensi bekerja di startup, lembaga itu menemukan bahwa 58 persen perbincangan di media sosial menyebutkan warganet ingin bekerja di perusahaan rintisan lantaran gaji yang tinggi, lingkungan kerja baik, dan jam kerja fleksibel. Sementara itu, 42 persen perbincangan menyatakan mereka tidak ingin bekerja di startup karena rawan PHK, capek, stres, dan beban kerja yang tinggi.

Ketika dibandingkan dengan bekerja di BUMN atau menjadi pegawai negeri, NoLimit mendapati 63 persen perbincangan masyarakat di media sosial menyatakan keinginan bekerja di BUMN ketimbang menjadi PNS ataupun startup. Alasan utamanya adalah BUMN menjanjikan tunjangan dan gaji yang tinggi.

Sepanjang 2022, terdapat sejumlah perusahaan teknologi di dalam negeri yang melakukan PHK, antara lain Shopee Indonesia, GoTo, Ruangguru, Sircio, Xendit, Sayurbox, Lummo, TaniHub, Zenius, JD.ID, LinkAja, TokoCrypto, dan SiCepat. Tak hanya melakukan PHK, beberapa perusahaan, seperti Fabelio, Iflix, Stoqo, dan Airyrooms, juga bangkrut.

Direktur Komunitas Startup Bandung, Grahadea Kusuf, tak memungkiri percakapan di dunia maya itu memang terjadi di dunia nyata. Iklim industri startup yang sedang buruk atau disebut startup winter membuat banyak perusahaan rintisan mengurangi pengeluaran, salah satunya dengan melakukan PHK. Situasi ini diakui membuat banyak pekerja di industri teknologi rintisan merasa tidak aman.

Padahal, pada saat yang sama, para pelaku industri startup dituntut memenuhi target pertumbuhan yang besar dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian, beban kerja yang dirasakan pekerja startup menjadi berat dan jauh dari kata santai. Beban dan risiko inilah yang kemudian membuat banyak karyawan bisnis rintisan menyerah dan beralih industri. “Sudah tidak nyantai, rawan PHK pula. Tapi memang itu startup, kita harus ulet, cepat, dan terukur,” ujar CEO Kuassa ini.

Meski demikian, ia masih yakin fenomena beralihnya pekerja startup ke BUMN tidak akan membuat industri bisnis rintisan kekurangan sumber daya manusia. Musababnya, perpindahan tenaga kerja merupakan siklus yang biasa terjadi. Seiring dengan pulihnya iklim startup, Grahadea yakin perusahaan-perusahaan rintisan masih bisa mendapatkan tenaga kerja yang mumpuni.

Enggan Mendirikan Startup

Kini, masalah sumber daya manusia justru terjadi pada berkurangnya pendiri-pendiri perusahaan rintisan anyar. Hal ini terlihat dari kompetisi startup yang dihelat Komunitas Startup Bandung. Grahadea mengatakan peserta kompetisi kini menyusut dari sebelumnya sekitar 500 bisnis rintisan menjadi hanya 90-100 bisnis rintisan. “Jumlah founder startup sekarang lebih sedikit karena orang takut membuat bisnis,” tutur dia.

Chairman Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amvesindo), Eddi Danusaputro, menyebutkan isu PHK tidak hanya isu bisnis rintisan dan tidak cuma terjadi di Indonesia. Perusahaan-perusahaan teknologi global kelas wahid, seperti Amazon, Google, Meta, Microsoft, Twitter, hingga Goldman Sachs sekalipun, ia mengimbuhkan, melakukan PHK terhadap pekerjanya. “Ini fenomena global,” ujar dia.

Eddi mengatakan turunnya industri startup saat ini merupakan proses yang lazim terjadi pada semua aset. Fenomena tersebut justru dianggap menjadi proses pematangan ekosistem bisnis digital di Tanah Air. Hal ini juga terjadi pada sisi tenaga kerja. “Akan ada naik-turun, itu biasa. Tapi dalam jangka panjang startup pasti diminati,” ujar dia.

Direktur Center of Economics and Law Studies, Bhima Yudhistira, mengungkapkan, era bekerja di perusahaan rintisan tengah memudar lantaran lulusan perguruan tinggi lebih memilih keamanan kerja dengan jam kerja yang jelas, tekanan kerja yang ringan, serta karier yang pasti. Karena itu, PNS dan BUMN menjadi lapangan kerja idaman.

“Meski gaji dan bonus pekerja startup profesional cukup besar, tidak menjamin daya tarik bagi para pencari kerja,” ujar dia. Hal itu pun tidak bisa dilepaskan dari PHK besar-besaran yang dilakukan sejumlah startup dan banyaknya startup yang tidak memperhitungkan rencana keberlanjutan.

Apabila anak muda tak lagi berminat masuk startup, kata Bhima, industri ini ke depannya akan kekurangan pasokan tenaga kerja. Sebelum masa pandemi, ia memperkirakan sektor digital kekurangan 9 juta tenaga kerja terampil dan semi-terampil. Angka ini diperkirakan membesar lagi pada tahun ini.

Adapun Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi, yakin sektor digital akan menjadi peluang bagi pembukaan lapangan kerja yang lebih besar. Musababnya, lapangan kerja yang disediakan BUMN tidak sebanyak angkatan kerja yang ada. “Selain itu, tidak semua BUMN sehat.” (TEM)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.