Wacana

Cacat Prosedur Revisi UU ITE

Pengesahan perubahan kedua Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dalam rapat paripurna DPR sama sekali tidak menjawab permasalahan yang timbul akibat pasal karet dalam regulasi tersebut. Sebaliknya, perubahan dan munculnya norma baru dalam undang-undang tersebut malah makin mengancam hak masyarakat untuk berekspresi di ruang digital. Tidak hanya dari substansi normanya, proses perubahan kedua UU ITE juga cacat karena menyalahi ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.

Perubahan UU ITE tidak memenuhi prasyarat proses legislasi sebagaimana diperintahkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XX/2022 tentang partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation). Mahkamah menegaskan bahwa masyarakat memiliki hak untuk didengarkan pendapatnya, dipertimbangkan pendapatnya, hingga hak mendapat penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.

Partisipasi masyarakat tersebut, terutama, diperuntukkan bagi kelompok masyarakat yang terkena dampak langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan undang-undang yang sedang dibahas. Terlibatnya masyarakat dalam proses legislasi merupakan contoh nyata implementasi demokrasi partisipatif pada tahap perumusan sebuah peraturan perundang-undangan.

Demokrasi partisipatif (participatory democracy) mengelaborasi formasi sosial dan politik di masyarakat lebih luas dari kajian-kajian politik arus utama yang lebih menitikberatkan pembahasan dalam demokrasi elektoral dan liberal, yang hanya mengkaji aspek-aspek prosedural demokrasi serta pembedaan wilayah ruang publik dan privat. Artinya, tingkat partisipasi masyarakat dalam berdemokrasi tidak hanya dihitung dari angka kehadiran di bilik suara pada penyelenggaraan pemilihan umum, tapi juga lebih menitikberatkan keterlibatan dalam perihal yang lebih substantif, seperti ikut menyumbangkan pikirannya dalam sebuah rancangan undang-undang.

Wacana demokrasi partisipatif berusaha memetakan dan menganalisis dari pelbagai wilayah relasi kuasa, ketika pengelolaan serta pengambilan keputusan yang dibuat melalui komunitas yang luas dan plural yang dapat diidentifikasikan melalui hak klaim dari warga negara. Implementasi demokrasi partisipatif dalam pembentukan peraturan perundang-undangan ini diharapkan dapat melahirkan hukum positif yang sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat. Namun partisipasi publik yang bermakna tidak ditemukan dalam proses pembahasan perubahan kedua UU ITE.

Sejak rapat kerja bersama DPR dan pemerintah pada awal 2023, hanya satu kali Komisi Komunikasi dan Informatika DPR mengundang beberapa kelompok masyarakat sipil untuk memberi masukan terhadap naskah perubahan kedua UU ITE dalam rapat dengar pendapat umum. Pertemuan tersebut tidak lebih dari pelepas tanya ketika DPR dituding tidak mendengarkan pendapat masyarakat. Padahal hak masyarakat dalam proses legislasi tidak terbatas pada itu saja. Pembentuk undang-undang harus mempertimbangkan pendapat dan masukan tersebut, termasuk memberi jawaban serta penjelasan ketika masukan tersebut nantinya ditolak untuk dimasukkan dalam naskah rancangan undang-undang.

Berdasarkan proses yang telah berjalan, pembahasan perubahan kedua UU ITE adalah proses legislasi yang cacat karena tidak mengakomodasi kebutuhan masyarakat. Sekali lagi, proses legislasi hanya menjadi ruang eksklusif bagi pemerintah dan DPR dalam usaha melegalkan kepentingan mereka dalam sebuah produk hukum. Padahal masyarakat akan menjadi pihak yang paling dirugikan ketika norma dalam UU ITE malah menjadi alat yang digunakan oleh negara untuk menjerat kritik yang disiarkan di ruang digital.

Melihat dampak yang nantinya ditimbulkan oleh pasal-pasal karet baru dalam undang-undang itu, seharusnya orang-orang yang patut didengarkan pendapatnya adalah para korban yang pernah dijerat menggunakan produk hukum problematik tersebut. Merujuk pada laporan SAFEnet, sebanyak 393 orang telah dituntut menggunakan UU ITE sepanjang 2013-2021. Korban kriminalisasi ini mayoritas berasal dari kalangan aktivis dan jurnalis yang dituduh menyebarkan disinformasi ataupun pencemaran nama. Penggunaan pasal-pasal multitafsir dalam UU ITE tidak hanya mengekang hak untuk memberikan dan menerima informasi, tapi juga membunuh nalar kritis masyarakat.

Suara para korban yang pernah dituntut hingga mendekam di penjara akibat kriminalisasi harus menjadi landasan dasar untuk mencabut pasal-pasal multitafsir dalam UU ITE. Pengaturan hukum terkait dengan tindak pidana terhadap informatika dan elektronik cukup hanya diatur melalui KUHP. Meski tidak sempurna, pengaturan yang terbatas pada satu produk hukum akan menutup celah penggunaan pasal karet untuk menjerat suara kritis masyarakat.

Perubahan terhadap UU ITE seharusnya difokuskan pada dua hal. Pertama, menghapus pasal-pasal karet yang dijadikan alat untuk mengkriminalkan anggota masyarakat yang kritis, seperti Pasal 27 ayat 3 UU ITE mengenai pencemaran nama. Kedua, tidak lagi mengatur norma pemidanaan, apalagi ketika pengaturannya telah ada dalam KUHP. Undang-undang tersebut harus dikembalikan lagi kepada khitah awal pembentukannya, yaitu melindungi masyarakat dalam menyebarkan informasi, menerima informasi, dan bertransaksi di ruang digital. (*)

 

Hemi Lavour Febrinandez, Peneliti di Themis Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.