Wacana

Fenomena ‘Dispensasi Menikah’ pada Remaja

BEBERAPA bulan lalu, kita dikagetkan dengan berita tentang ratusan remaja yang masih di tingkat sekolah menengah, yang meminta dispensasi untuk menikah. Kabupaten Ponorogo, Kediri, Tasikmalaya, bahkan di Kota Bogor sudah terjadi.

Pada 2021, sebanyak 45 remaja usia sekolah melakukan dispensasi menikah dan naik pada 2022 sebanyak 55 remaja. Pada Januari 2023 dari awal sampai 16 Januari terdapat empat remaja usia sekolah, yang meminta dispensasi menikah dengan alasan hamil terlebih dulu.

Berdasarkan data KPPA Januari 2023, dispensasi nikah anak paling banyak terdapat di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Menurut data, mereka jika dipersentasekan di atas 90 persen mayoritas alasan dispensasi menikah adalah karena memang sudah hamil duluan.

Ini seperti fenomena gunung es yang tidak tampak tinggi dan besar di atas permukaan, tetapi sebenarnya di bawah permukaan lebih besar dan tinggi dari yang tampak di atas. Artinya, dari angka-angka tersebut jika dieksplorasi lagi akan lebih banyak didapatkan.

Fenomena yang sudah lama terjadi, tetapi tidak muncul di permukaan. Sebagai contoh, pada 2018, sudah ada laporan profil anak Indonesia yang menunjukkan sekitar 39,17 persen atau dua dari lima anak perempuan usia 10-17 menikah sebelum usia 15 tahun.

Sekitar 37,91 persen kawin di usia 16 tahun dan 22,92 persen kawin di usia 17 tahun. Angka tersebut memosisikan Indonesia pada peringkat ke tujuh tertinggi di dunia serta menempati peringkat kedua di ASEAN.

Jika flashback ke belakang, akan ditemukan lagi angka-angka ini dengan angka lebih rendah dari tahun sebelumnya, dan naik signifikan pada tahun berikutnya. Ini dimungkinkan karena berkembangnya penelitian, baik oleh badan pemerintah maupun nonpemerintah.

Berkembangnya konsep perencanaan berbasis bukti, menuntut produksi data dan informasi yang valid dan realibel. Menurut Thomas Dye, 2013, pengambilan keputusan berupa kebijakan harus mampu menyelesaikan permasalahan masyarakat yang sebenarnya. Data dan informasi dasar penentuan prioritas dari berbagai macam pilihan intervensi.

Fenomena sosial ini memberikan dampak bervariasi. Berdasarkan perspektif ilmu kesehatan masyarakat, kesehatan ibu dan anak dipengaruhi, salah satunya remaja yang menikah dini.

Gangguan kesehatan fisik dan mental ditemukan pada remaja usia sekolah yang menikah dini. Secara fisik, remaja dalam usia yang muda belum cukup kuat, tulang pinggulnya masih terlalu kecil sehingga memiliki risiko tinggi gangguan saat proses persalinan.

Nikah dini secara fisiologis berdampak buruk untuk remaja, yaitu kehamilan dengan anemia, KEK (Kurang Energi Kronis), serta melahirkan yang berisiko perdarahan. Ketidaksiapan fisik remaja juga berdampak pada anak yang dilahirkan, yaitu bayi lahir dengan berat yang rendah.

Berat badan lahir rendah ini akan berisiko bayi atau balita mengalami gizi buruk, stunting, dan remaja yang tidak sehat, tentunya ini juga akan berpengaruh pada kecerdasan si anak dari segi pertumbuhan dan perkembangan, baik fisik maupun mental.

Selain itu, penyakit keganasan seperti kanker. Pada perempuan yang menikah di bawah usia 20 tahun berisiko terkena kanker leher rahim. Pada usia tersebut, sel-sel leher rahim belum tumbuh dengan matang.

Apabila terpapar Human Papiloma Virus (HPV), pertumbuhan sel akan menyimpang menjadi kanker. Kanker leher rahim menempati urutan pertama dari jenis kanker yang menyerang perempuan Indonesia, angka kasus pada 2018, sebanyak 23 persen di antara kanker lainnya.

Masalah kematian dan morbiditas ibu juga dikontribusikan oleh kelompok remaja dan lebih dari seperlima penduduk Indonesia yang berjumlah 206 juta adalah remaja berusia 10-18 tahun.

Berdasarkan teori perkembangan psikososial Erik H Erikson, remaja usia sekolah 13-17 tahun adalah usia yang masih mencari identitas. Jika tidak tepat pencarian identitas tersebut, mereka akan mengalami kebingungan peran.

Menurut Adriano Rusfi, psikolog dan pakar pendidikan akil baligh, remaja itu matang secara fisik atau sudah baligh, tetapi belum matang secara akal/mental (akil). Alat reproduksi mereka sudah teraktivasi dan siap dibuahi, tetapi secara akal mereka belum mampu mengendalikan nafsu.

Pada masa ini, remaja perlu didampingi orang tua ataupun guru agar segera dewasa dan menjadi pemuda. Pemuda adalah individu yang secara akal/mental dan fisik sudah matang, seperti mandiri, bertanggung jawab, siap memikul beban, dan bagian dari solusi, bukan masalah.

Sebagai contoh, tokoh pemuda Indonesia yang berkontribusi terhadap kemerdekaan bangsa seperti Muhammad Yamin, pada usia 25 tahun sebagai tokoh sumpah pemuda.

Bung Tomo, tokoh pemuda yang berkontribusi pada pergerakan 10 November di Surabaya dan Jenderal Soedirman pada usia 29 tahun diangkat menjadi panglima perang Indonesia, dengan strateginya yang sangat terkenal cerdas serta mampu menaklukkan penjajah.

Maka dapat disimpulkan, remaja belum siap secara fisik dan mental untuk menikah. Masih butuh didampingi agar matang dan dewasa. Bukan hanya umur dalam angka dan fisiknya yang makin bertambah besar, melainkan akal, pikiran, dan jiwanya berkembang menjadi matang.

Peran orang tua di rumah menjadi sangat penting karena pendamping utama dan pendidik bagi anak-anaknya. Guru sebagai orang tua di sekolah dan pengajar, memiliki peran mendampingi remaja untuk bisa segera menjadi dewasa.

Stimulasi-stimulasi untuk remaja bisa berpikir dan memecahkan suatu masalah dapat diberikan sebagai metode untuk merangsang kedewasaan mereka dalam berpikir, bertanggung jawab, mandiri, dan solutif.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan juga berkontribusi pada perkembangan remaja menjadi dewasa melalui sistem pengajaran. Demikian pula, komponen-komponen, seperti kepala sekolah, guru, staf administrasi sekolah, komite sekolah, guru bimbingan konseling, siswa, kurikulum, metode pengajaran, sarana/prasarana pengajaran, budaya sekolah, dan pengajaran.

Remaja yang mampu membedakan dan memilih mana baik serta buruk dapat menjalani kehidupan sosialnya secara produktif dan positif. Para remaja masa depan adalah tanggung jawab kita bersama maka perlu ada kontribusi seluruh stakeholders, untuk menciptakan lingkungan yang dapat mendewasakan mereka dan menjadi pemuda.

Suksesnya bangsa ini ditentukan oleh pemuda, seperti kata presiden pertama Indonesia, Bung Karno, “Berikan kami 10 pemuda maka akan kami guncangkan dunia!” dan kemerdekaan bangsa ini karena pemuda. (*)

 

Riastuti Kusuma Wardani, Dosen Prodi Kesehatan Masyarakat Fikes UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.