Wacana

Jalan Lancung Hakim Agung

HAKIM harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, dan profesional. Kalimat ini tertuang jelas dalam Pasal 5 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Sayangnya, seluruh syarat itu tidak dimiliki oleh hakim agung bernama Sudrajad Dimyati. Sudrajad menjadi satu di antara sepuluh orang yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu. Penyebabnya mudah ditebak. Gerombolan pelaku kejahatan itu diduga menjadikan perkara hukum sebagai bancakan korupsi.

Sulit disangkal, kondisi lembaga kekuasaan kehakiman Indonesia benar-benar memprihatinkan. Data KPK terang benderang menunjukkan bahwa sejak lembaga antirasuah itu berdiri, tak kurang dari 21 hakim tersandung praktik korupsi. Itu baru dari segi kuantitas sumber daya manusia. Belum lagi kualitas putusannya yang kerap berpihak pada koruptor. Misalnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat rata-rata hukuman bagi pelaku korupsi sepanjang 2021 hanya 3 tahun 5 bulan penjara. Bukan cuma itu, fenomena pertimbangan hukum yang ganjil disertai maraknya obral pengurangan hukuman pada tingkat kasasi ataupun peninjauan kembali juga sering terjadi belakangan ini.

Mahkamah Agung pun terlihat kurang mendukung pemberantasan korupsi. Misalnya membatalkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, yang sebenarnya memperketat pemberian remisi serta pembebasan bersyarat narapidana korupsi. Akibatnya, para koruptor baru-baru ini berbondong-bondong bebas, seperti mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari dan mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah. Maka, sulit bagi kita untuk percaya kepada narasi-narasi klasik komitmen antikorupsi yang didengungkan pimpinan Mahkamah Agung.

Untuk mencari rekam jejak Sudrajad sebenarnya bukan hal yang sulit. Namanya selalu dikaitkan dengan skandal “lobi toilet calon hakim agung” pada 2013. Pada tahun itu Sudrajad diketahui sedang mengikuti proses uji kelayakan calon hakim agung di DPR. Namun, di sela kegiatan tersebut, ia tepergok bertemu dengan Bahruddin Nashori, anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, di toilet. Peristiwa itu ditengarai dilakukan untuk memuluskan langkah Sudrajad menjadi hakim. Namun ia akhirnya gagal terpilih karena hanya mendapatkan satu suara dalam voting di DPR. Hanya, pada 2014, sikap legislatif berubah dan Sudrajad kemudian terpilih menjadi hakim agung.

Peristiwa sembilan tahun lalu itu semestinya menjadi pelajaran serius bagi pemangku kepentingan, baik Komisi Yudisial maupun DPR. Catatan yang berkaitan dengan isu integritas harus selalu diletakkan sebagai prioritas penilaian. Jika tidak, peristiwa memalukan seperti yang melibatkan Sudrajad akan terus berulang. Akibatnya, hakim yang terpilih bukan untuk memberikan keadilan, melainkan memanfaatkan wadah para pencari keadilan itu untuk meraup keuntungan.

Modus korupsi yang digunakan Sudrajad sebenarnya sudah sangat sering digunakan oleh pelaku lain. Sayangnya, bukannya mengantisipasi dan membentengi lembaganya, para hakim agung malah bahu-membahu membantu komplotan kejahatannya.

ICW memetakan setidaknya dua strategi yang kerap digunakan pelaku kekuasaan kehakiman lancung untuk melakukan praktik korupsi. Pertama, saat awal mendaftarkan perkara, mereka menawarkan komposisi majelis hakim yang bisa diajak menegosiasikan putusan. Dalam hal ini, penawar jasa biasanya datang dari pegawai pengadilan yang menghubungkan pihak beperkara dengan majelis hakim. Kedua, menjelang akhir persidangan, hakim memberi iming-iming putusan yang akan menguntungkan pihak beperkara. Trik inilah yang digunakan Sudrajad saat menerima uang suap sebesar Rp 800 juta agar putusan kasasi pihak penyuap bisa diatur sedemikian rupa.

Sudrajad mengaku berada di rumah dan tidak tahu-menahu saat KPK meringkus orang-orang yang terlibat serah-terima uang suap dalam operasi tangkap tangan pada 21 September lalu. Hal ini perlu dibantah. Pertama, penerima suap tidak harus menerima secara langsung pemberian hadiah atau janji dari pihak pemberi. Hal ini tertuang dalam pertimbangan putusan Mahkamah Agung Nomor 77 K/Kr./1973 yang mensyaratkan adanya pihak lain yang nantinya menyerahkan hadiah atau janji tersebut kepada pihak penerima suap. Jadi, bisa dikatakan argumentasi pelaku itu hanya ditujukan untuk menciptakan distorsi informasi kepada masyarakat.

Kedua, telah ada pengakuan dari tersangka lain, yakni advokat Yosep Parera, mengenai penyerahan sejumlah uang di Mahkamah Agung. Dengan dasar ini, sangkaan KPK semakin kuat untuk menjerat dan mengirim Sudrajad ke penjara.

Ketiga, saat menggelar operasi tangkap tangan, KPK diberi kewenangan untuk melakukan penyadapan sejak fase penyelidikan. Untuk itu, bukti yang digunakan oleh KPK ini bisa dianggap sempurna dan sejauh ini belum pernah meleset di persidangan. Maka, proses persidangan Sudrajad ini menjadi sangat dinanti oleh masyarakat karena akan membuka tabir kejahatan sekaligus menganulir dalih-dalih hakim korup tersebut.

Penting untuk mengingatkan KPK bahwa penyerahan diri Sudrajad dan surat perintah penyidikan mengenai penerimaan suap ini bukan merupakan akhir dari proses penegakan hukum. Ada sejumlah pekerjaan rumah yang harus segera dituntaskan dalam waktu dekat. Satu di antaranya soal adanya dugaan keterlibatan Sudrajad beserta kelompoknya dalam putusan-putusan perkara lain. Sinyal ini telah disampaikan oleh pemimpin KPK, Alexander Marwata. Maka dari itu, keterangan saksi-saksi selama proses penyidikan dan rekaman sadapan penting dikembangkan untuk melihat potensi keterlibatan hakim-hakim agung lain. Transaksi keuangan Sudrajad juga harus didalami atau setidaknya untuk mencocokkan dengan kewajaran penerimaan seorang hakim agung. Jika ditemukan ada keganjilan, KPK tak boleh ragu untuk menyematkan delik gratifikasi atau pencucian uang kepada Sudrajad.

Dalam fase penuntutan, isu yang amat dikhawatirkan masyarakat dari kepemimpinan KPK era Firli adalah lemahnya tuntutan jaksa kepada terdakwa. Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, misalnya, hanya dituntut 5 tahun penjara atau 1 tahun di atas pidana minimal dalam Pasal 12 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Delik yang akan digunakan oleh KPK untuk menuntut Sudrajad juga menggunakan pasal ini. Pasal ini sebetulnya membuka kesempatan bagi jaksa untuk menuntut hukuman tinggi hingga pidana penjara seumur hidup. Untuk itu, KPK haruslah menuntut Sudrajad dengan pidana penjara maksimal, yakni antara seumur hidup dan 20 tahun penjara. Alasan pemberatnya sudah terpenuhi dengan status pelaku sebagai hakim agung.

Sosok hakim korup seperti Sudrajad ini memang harus cepat-cepat disingkirkan dari gelanggang penegakan hukum. Bukannya menjadi tonggak keadilan, ia malah membuktikan kepada masyarakat bahwa mafia peradilan masih eksis dan terus beranak pinak. Di luar itu, harapan masyarakat akan munculnya sosok hakim sederhana dan berpihak kepada pemberantasan korupsi di Mahkamah Agung, seperti mendiang Artidjo Alkostar, sepertinya memang harus dikubur dalam-dalam setelah kasus Sudrajad ini. (*)

 

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.