Wacana

Marhaenisme di Tengah Desoekarnoisasi

PADA puncak Peringatan Bulan Bung Karno di Gelora Bung Karno, 24 Juni 2023, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri mengangkat marhaenisme dikaitkan dengan persoalan desoekarnoisasi.

Marhaen sering kali dipelesetkan sebagai komunis. Padahal, tegas Megawati, Marhaen adalah sosok petani yang bertemu Soekarno saat berkuliah di Bandung. Dari dialog dengan Pak Marhaen, Soekarno menemukan kenyataan bahwa meskipun si petani bekerja keras serta memiliki sepetak tanah, tanaman padi, dan peralatan pertanian seadanya, kehidupannya tetap sederhana.

Setelah berpikir dan berkontemplasi, Bung Karno menggagas marhaenisme untuk membebaskan rakyat dari sistem yang menindas dan memelaratkannya.

Ideologi perjuangan

Pada masa Orde Baru memang berkembang anggapan Marhaen adalah tokoh fiktif ciptaan Soekarno dan merupakan singkatan pelesetan dari Marx, Hegel, dan Engels.

Namun, fakta menunjukkan makam Marhaen masih ada hingga kini di daerah Cigareleng, selatan Bandung. Harian Kompas, 3 Juli 2008, juga menerbitkan kisah hidup Marhaen yang diutarakan cucunya.

Istilah marhaenisme dan marhaen pertama kali diutarakan tertulis pada pleidoi Soekarno berjudul Indonesie klaagt aan di Pengadilan Kolonial di Bandung tahun 1930.

Soekarno menyebut marhaen, ”Semua golongan kromo (kecil), baik petani kecil, buruh kecil, pedagang kecil, nelayan kecil, dan sebagainya. Mereka dimelaratkan oleh imperialisme, kolonialisme, dan kapitalisme yang telah mematikan perdagangan, pelayaran, dan petukangan di nusantara bagi kepentingan penjajah.”

Artinya, Soekarno mengembangkan pengertian tentang marhaen tak sebatas menunjuk pada golongan petani miskin dengan alat produksi terbatas. Berbeda dengan pengertian Karl Marx tentang kelas sosial proletar yang tidak memiliki alat produksi, marhaen bagi Soekarno adalah semua kalangan yang dimarjinalkan secara ekonomi, baik memiliki alat produksi maupun tidak.

Marhaenisme menolak free fight liberalism yang mengeksploitasi dan menindas kaum marhaen. Akan tetapi, berbeda dengan perjuangan kelas ala komunisme, marhaenisme sebagai ideologi pembebasan menggunakan cara perjuangan gotong royong antarsegenap komponen bangsa tanpa membedakan latar belakang identitas sosialnya.

Dari sudut pandang kategori marxisme maupun aliran Weber, tidak semua kelas atas dan menengah mendukung eksploitasi dan penindasan.

Soekarno sendiri menghendaki marhaenis, yakni mereka yang memperjuangkan kaum marhaen untuk mengangkat derajatnya, dari kalangan intelektual yang memiliki akar di masyarakat, kelas menengah mandiri, hingga para pengusaha non-pemburu rente.

Gagasannya merujuk pada cita-cita tumbuhnya masyarakat ekonomi dan politik yang berorientasi kerakyatan, dalam arti si miskin dan si kaya berjuang bersama untuk keadilan dan kesejahteraan.

Pada 1 Juni 1945 Soekarno berkata, ”Gotong royong adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari kekeluargaan. Gotong royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama!”

Masih berlanjut

Desoekarnoisasi sesungguhnya masih terus berlanjut hingga saat ini. Upaya desoekarnoisasi sejak zaman Orde Baru tak berlangsung dalam kevakuman, tetapi berada dalam konteks struktural menyangkut proses akumulasi modal dan pembentukan-pembentukan sosial yang berlangsung secara luas.

Mengacu pada karya Foucault, Discipline and Punish (1977), proses akumulasi modal menghendaki tipe-tipe subyek tertentu, serta pranata sosial, politik, dan ekonomi tertentu. Jalinan relasi politik dan modal yang terbentuk memisahkan mayoritas rakyat dari tanah dan air yang kaya.

Desoekarnoisasi mempermulus jalan penguasaan sumber-sumber ekonomi oleh segelintir kalangan dalam negeri dan pihak asing. Revitalisasi dan reaktualisasi ajaran Soekarno melalui gotong royong antarkelas sosial diperlukan untuk mendorong perubahan struktural menghadapi operasi ideologi eksploitatif ini.

Gotong royong dapat dilihat dari tiga tingkat. Pertama, level kedermawanan (charity). Pada level ini berbagai kalangan banyak melibatkan diri dalam berbagai bentuk bakti sosial membantu korban bencana alam, menyantuni orang-orang tidak mampu, dan sebagainya.

Kedua, level pengontrolan kebijakan pemerintahan dalam konteks penyesuaian struktural. Sejumlah kekuatan sosial dan politik cukup kritis untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap jalannya pemerintahan, seperti kenaikan harga BBM dan harga sembako.

Meski level kedermawanan berguna dalam situasi darurat atau insidental serta level kedua menjaga taraf hidup rakyat kecil, cara perjuangan tertinggi gotong royong terletak pada level ketiga, yakni usaha perombakan struktural bagi pembebasan kaum marhaen.

Memang dirasakan sangat penting adanya instrumen sosial berupa pemerataan akses pendidikan dan kesehatan yang berkualitas hingga pelaksanaan sistem jaminan sosial yang tepat sasaran. Namun, lebih dari sekadar prinsip welfare state, penguasaan sumber-sumber ekonomi yang timpang seharusnya dibongkar dengan mengikis kepentingan oligark untuk membangun pemerintahan bersih (good governance).

Basis agraris dan kelautan dikembalikan seluasnya kepada rakyat, melalui pengoreksian ketimpangan struktur penguasaan tanah, restrukturisasi akses kredit, hingga penataan perdagangan dan industri yang berkeadilan.

Marhaenisme adalah ideologi integratif dan transformatif. Marhaenisme adalah ideologi integratif dan transformatif. Karena itu, gotong royong sebagai cara perjuangan marhaenisme jangan hanya berhenti pada upaya memperkuat integrasi bangsa, juga mengelaborasi kerangka perjuangan bersama untuk melakukan transformasi sosial berkeadilan. (*)

 

Retor AW Kaligis, Dosen Fikom Universitas Pancasila

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.