Wacana

Merdeka Sejati

BUNG KARNO berkata, ”berjuanglah habis-habisan mendatangkan nasib yang sejati-jatinya merdeka.” Bagi Bung Karno, kemerdekaan dari penjajahan yang kita peringati setiap tanggal 17 Agustus ini belum merupakan hasil akhir dari perjuangan. Justru baru awal yang memungkinkan dilakukannya perjuangan mewujudkan kemerdekaan yang sejati.

Kemerdekaan dari kolonialisme dan imperialisme, di era tata dunia yang baru ini, akan sia-sia jika tidak diisi dengan langkah-langkah menuju kemerdekaan sejati. Kemerdekaan sejati merupakan kondisi di mana di dalamnya tidak hanya berisi kebebasan dari penjajahan bangsa lain, kemerdekaan dari kolonialisme gaya baru, seperti jeratan utang negara, tetapi juga berisi kebebasan berpikir, kebebasan dari langkah kriminalisasi dan represi penguasa, dan kebebasan membuat inovasi-inovasi dalam meraih kemenangan di tengah persaingan global.

Di sinilah pentingnya visi Presiden Jokowi menjelang akhir kekuasaannya untuk menyambungkan infrastruktur besar yang telah berhasil dibangun, dan ini menjadi salah satu legacy kekuasaan Jokowi, dengan penciptaan keadilan sosial. Di sisa kekuasaannya, Jokowi perlu menggeser titik berat kepemimpinannya ke arah penciptaan keadilan sosial bagi seluruh rakya Indonesia.

Metamorfosis

Dalam upaya mengisi kemerdekaan ini harus diawali dengan kesadaran dan pemahaman akan realitas bangsa. Pada dasarnya bangsa ini menghadapi dua kenyataan dasar yang terdiri dari realitas yang tetap dan yang berubah.

Setidaknya terdapat tiga hal terpenting dari realitas yang tetap pada bangsa ini. Pertama, kenyataan bahwa bangsa ini beragam. Kedua, kenyataan bahwa alam dan budaya bangsa ini begitu cantik. Keindahan alam Bali, pantai Mandalika, Danau Toba, dataran tinggi Dieng, dan berbagai tempat indah bak surga lainnya serta menarik dan cantiknya budaya Aceh, Batak, Bali, Papua, Dayak, Jawa, Sunda, Minang, dan lainnya dengan tarian dan upacara adat yang mengundang decak kagum merupakan contoh kecil betapa indah dan cantiknya alam dan budaya bangsa Indonesia.

Ketiga, kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi Nusantara. Perkembangan mutakhir dunia, misalnya, semakin pentingnya kendaraan listrik, tak lepas dari peran Indonesia dalam penyediaan bahan dasar baterai kendaraan listrik tersebut.

Di sisi lain, bangsa ini selalu diwarnai perubahan. Pertama, tata nilai yang secara dinamis mengalami perkembangan mengikuti kesepakatan tak tertulis di tengah masyarakat. Kedua, perkembangan teknologi yang semakin cepat. Teknologi berubah secara disruptif. Perubahannya berlangsung dalam bentuk percepatan. Seperti truk besar tanpa rem yang siap melindas apa pun di depannya, teknologi mesti dikuasai agar bangsa ini tidak terlindas dan mampu ”berselancar” di atasnya.

Semua yang tetap dan berubah ini memunculkan tantangan yang berbeda dari zaman sebelumnya. Berbagai tantangan era sekarang ini membutuhkan model, cara, pola, dan nilai-nilai baru dalam menghadapi dan menyelesaikannya. Di sini, negara harus mampu bermetamorfosis menjadi lebih produktif, memiliki daya saing dan fleksibilitas yang tinggi dalam menghadapi perubahan-perubahan yang cepat atau disruptif.

Ancaman neokolonialisme China terhadap negara-negara yang gagal membayar utang menggunung, misalnya, perlu diwaspadai. Kasus Sri Lanka dan negara-negara di Afrika perlu menjadi bahan pelajaran. Pemerintah tidak boleh mengesampingkan bahaya ini hanya karena memperoleh keuntungan materi dari relasi dengan China tersebut.

Dekonstruksi setiap hari

Menghadapi tantangan dan bahaya di era disruptif ini, bangsa kita harus menghilangkan berbagai hal yang tidak menunjang percepatan kemajuan. Dari sisi penguasa, berbagai langkah yang kontra-produktif terhadap percepatan kemajuan bangsa harus dihilangkan. Penguasa tidak lagi melakukan tindakan represif, kriminalisasi, dan kooptasi, apalagi berusaha menerbitkan produk legislasi yang merugikan bangsa dan rakyat Indonesia.

Tindakan represi biasanya merupakan cara pemerintah untuk membungkam kritisisme di tengah masyarakat. Dengan tindakan represif, ancaman pengkriminalan, rakyat akan takut dan diam ketika ada langkah penguasa yang merugikan rakyat dan hanya menguntungkan kelompok dekat.

Tindakan represif, kriminalisasi, dan kooptasi merusak kemajuan, menghilangkan keberanian. Hilangnya tindakan represif, kriminalisasi, dan kooptasi adalah prasyarat mutlak bagi munculnya masyarakat yang produktif, inovatif, dan kompetitif.

Alih-alih melakukan tindakan-tindakan represif, penguasa seharusnya berperilaku melayani rakyat. Penguasa bertanggung jawab dalam memastikan bahwa rakyat berhasil memperbaiki hidupnya. Misalnya, kemauan untuk memastikan subsidi pupuk dinikmati petani, mengawal daerah tujuan wisata dalam menata diri dan lingkungannya sehingga semakin menarik bagi wisatawan, dan membantu petani, peternak, dan usahawan dalam menganalisis keinginan pasar.

Di sinilah diperlukan langkah dekonstruksi setiap hari. Benarkah kita telah melakukan yang terbaik untuk rakyat dan bangsa. Jika belum mencapai yang terbaik, perbaiki sehingga menjadi yang terbaik. Semua ini demi terciptanya merdeka yang sejati.

Kerja dan pikir

Imperialisme akan ada di segala zaman. Tidak selalu dalam bentuk imperialisme fisik, tetapi pengaruh dan kemenangan dalam persaingan pasar. Perilaku China terkait utang negara lain terhadapnya dapat juga dikategorikan sebagai imperialisme jika dilihat bahwa langkah itu adalah cara untuk menguasai negara lain.

Kemenangan di era persaingan pasar ini hanya akan diraih oleh masyarakat atau negara yang individu-individu di dalamnya merupakan individu penuh semangat kerja dan pikir. Untuk itu, diperlukan langkah menghilangkan kemalasan dan kebodohan. Sementara di sisi pemerintah, menghilangkan langkah bernuansa represi, kriminalisasi, dan kooptasi. Kalau hanya dalam kata, terkait pemerintah dan kekuasaan di dalamnya, seluruh rakyat harus bebas dalam melakukan kritik.

Di sisi lain, pengelolaan negara tanpa represi, kriminalisasi, dan kooptasi akan memunculkan kebebasan dalam berpikir dan bekerja tersebut. Inilah salah-satu kunci kemenangan bangsa dalam persaingan dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Akhirnya, langkah-langkah pemerintahan Presiden Jokowi menjelang akhir kekuasaannya pada akhirnya harus dapat mencegah meranggasnya bunga-bunga di kebun republik. Tamansari perlu diupayakan agar kembali diwarnai berbagai warna-warni bunga nan indah sehingga perkataan Bung Karno bahwa tidak ada negeri di dunia ini yang secantik, semolek, sekaya Indonesia tetap bisa kita nikmati dan wariskan kepada generasi mendatang.

Peringatan kemerdekaan dapat menjadi momentum mempertahankan dan meningkatkan kecantikan, kemolekan, dan kekayaan bangsa. (*)

 

Toto Sugiarto, Pengajar Pancasila pada Universitas Paramadina dan PTIQ

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.