Wacana

Mewaspadai Propaganda Komputasional

Beberapa waktu yang lalu, sebuah foto yang menunjukkan bakal calon presiden Prabowo Subianto mengantuk saat sedang rapat bersama Presiden Joko Widodo dan pejabat lainnya bersliweran di jagat maya, awalnya di Twitter. Saya termasuk yang hampir percaya dengan foto tersebut, tetapi akhirnya juru bicara Prabowo Subianto, Dahnil Simanjuntak, mengklarifikasi unggahan foto tersebut dengan versi videonya disertai deskripsi lengkap.

Foto yang beredar tersebut hanyalah satu cuplikan yang direkayasa dengan keterangan negatif yang ditambahkan. Masalahnya adalah pesan bohong (disinformasi) tersebut menyebar ke platform media sosial lain, muncul di berita media daring (online), hingga tersebar di pesan Whatsapp tak lewat dari 24 jam.

Awalnya dibuat oleh pemengaruh (influencer) partai politik, lalu dibagikan secara masif oleh akun-akun palsu yang anonim sehingga menarik perhatian algoritma Twitter untuk membuatnya populer. Kandidat lain juga menjadi korban serangan politik serupa. Elite partai masing-masing pendukung ketiga bakal capres mengeluh kandidat mereka telah menjadi target dari serangan masif kampanye hitam (Kompas, 28/5/2023).

Kekhawatiran muncul karena propaganda komputasional seperti ini bisa memengaruhi pilihan politik pemilih, terlebih 60 persen pemilih kita di Pemilu 2024 adalah generasi muda yang secara rutin hidup tidak jauh dari media sosial. Merujuk data We Are Social (2013), pengguna media sosial aktif di Indonesia dengan usia 16-64 tahun saja mencapai 60,4 persen, hampir semua menggunakan telepon pintar (99,4 persen), dengan rata-rata akses media sosial 3 jam 18 menit per hari dan akses internet 7 jam 42 menit per hari.

Lima aplikasi paling banyak digunakan adalah Whatsapp (92,1 persen), Instagram (86,5 persen), Facebook (83,8 persen), Tiktok (70,8 persen), Telegram (64,3 persen), dan Twitter (60,2 persen). Tidak bisa dipungkiri pula bahwa kampanye pemilu, khususnya yang sifatnya negatif (negative campaigning) dan kampanye hitam (dirty campaigning), selama ini lebih dominan terjadi di ranah online, khususnya media sosial, bahkan jauh sejak Pilpres 2014, tetapi kian brutal pada Pilpres 2019.

Keseragaman informasi

Sekecil apa pun, pemilih membutuhkan informasi untuk memutuskan pilihan politik. Informasi yang tersaji di hadapan mereka sangat dipengaruhi oleh kebiasaan sehari-hari dalam mengakses informasi, baik dari teman, pemuka agama, pendidik, pejabat, media, maupun media sosial.

Sayangnya, makin ke sini, tebaran informasi seputar pemilu yang tersedia lewat jalur-jalur informasi tersebut makin seragam karena sistem informasi yang sudah hibrida, saling tergantung dan menguntungkan. Bahayanya, sering kali informasi tersebut berupa isu-isu negatif yang trending yang sebenarnya direkayasa melalui amplifikasi di media sosial secara terkoordinasi.

Maka, pemilih ”dipaksa” tunduk kepada keseragaman informasi yang telah direkayasa untuk mengarahkan pilihan politik pemilih. Para propagandis tahu persis bahwa masyarakat cenderung memilih pasangan calon mengikuti garis identitas mereka, seperti terlihat pada Pemilu 2019, dan ini merupakan sebuah tren global. Dalam Democracy for Realist, Christopher H Achen dan Larry M Martels (2016) menunjukkan bahwa para pemilih, bahkan mereka yang berpengetahuan luas dan terlibat secara politik sekalipun, kebanyakan memilih partai dan kandidat atas dasar identitas sosial dan loyalitas partisan, bukan masalah isu politik.

Pada masa pemilu, penyebaran kampanye hitam seperti ini dilakukan secara terencana. Penelitian saya menemukan bahwa aktor kampanye menggunakan propaganda komputasional dalam menyerang kedua kandidat yang bersaing di Pilpres 2019. Proses penyebaran pesan-pesan provokatif dan fitnah dilakukan secara terkoordinasi dengan melibatkan akun robot dan akun palsu di media sosial untuk mendominasi wacana di ruang-ruang publik daring. Strategi propaganda komputasional ini sulit dideteksi oleh platfom dengan cepat dan tidak tersentuh sama sekali oleh lembaga pengawas pemilu di Indonesia karena lemahnya wewenang akibat peraturan yang ada.

Propaganda komputasional menjadi sangat berpengaruh bukan hanya karena cepat dan masif, melainkan juga karena memberi kesempatan bahwa pesan tersebut sampai ke kita lewat orang-orang yang kita kenal, percaya, dan sayangi sehingga sangat mudah mengabaikan pengecekan kebenaran informasinya. Propaganda adalah komunikasi yang dengan sengaja merekayasa makna simbol, memicu emosi dan prasangka, serta mengelabui pemikiran rasional untuk mencapai tujuan tertentu dari penciptanya (Bolsover dan Howard, 2017).

Inti dari propaganda komputasional ini adalah mobilisasi platform media sosial, agen otonom, dan mahadata yang bertujuan memanipulasi opini publik (Woolley dan Philip N Howard, 2016) sehingga pendapat dan perilaku target penerima pesan berubah sesuai keinginan propagandis (Woolley and Howard, 2019). Propaganda komputasional pada masa pemilu ingin mendominasi perbincangan dan mengendalikan sudut pandang yang berkembang dalam wacana kampanye sejalan dengan intensi propagandis.

Seiring waktu, propaganda komputasional mengalami proses transformasi ketika pengguna media sosial secara tidak sadar ikut menjadi pelaku propaganda komputasional ini. Selanjutnya, media arus utama ikut berperan menyebarkan pesan-pesan bermasalah dari propaganda komputasional atas dalih kebutuhan berita dalam sitem media hibrida. Oleh karena itu, tidak masalah apakah Anda pengguna media sosial atau bukan sebab konvergensi media yang saling bagi berita menciptakan informasi beresonansi lintas media dengan sangat cepat dan luas.

Penelitian saya menemukan bahwa kampanye hitam pada Pemilu 2019 dan Pilkada 2020 menunjukkan ciri-ciri propaganda komputasional yang sama. Mekanisme yang diterapkan adalah memulai suatu pesan di akun media sosial (Twitter) lalu dibagikan dan dikomentari pasukan pendengung (buzzers) dan pemengaruh (influencers) secara serentak sehingga menjadi trending, selanjutnya diliput oleh media (online dan konvensional) hingga mendominasi percakapan politik pada level interpersonal.

Alih-alih menyerang kebijakan dan karakteristik kepemimpinan lawan, propaganda komputasional lebih melakukan pembunuhan karakter (character assassination) dengan pelabelan, fitnah, mengejek, penyebaran rasa takut, dan mempermalukan (Martijn Icks, dkk, 2020), khususnya terkait isu identitas kandidat. Di saat informasi politik yang tersaji jelang pemilu hanyalah seputar trending topics di media sosial dan media tradisional, kita telah dipaksa untuk menerima realitas politik yang sempit. Represi simbolik ini mendorong kita sebagai pemilih hanya sebagai penonton yang hanyut.

Propaganda komputasional menyebarkan disinformasi dalam berbagai bentuknya. Akibat langsung dari terpaan propaganda komputasional ini adalah misinformed secara individu ataupun kolektif sehingga terjadi disorientasi politik dan mudah dikendalikan secara persuasif.

Tanpa disadari, propaganda komputasional bisa mengendalikan alur berpikir pemilih dalam proses pengambilan keputusan politik. Oleh sebab itu, diperlukan mitigasi dampak propaganda komputasional secara inovatif. Meskipun selama ini media, lembaga swadaya masyarakat, pemerintah, dan lembaga pendidikan gencar melakukan cek fakta (debunking) atas penyebaran disinformasi, kita tidak tahu persis seberapa efektif upaya kolektif ini.

Studi terbaru menemukan bahwa untuk mitigasi dampak mis/disinformasi pada masyarakat, cara yang paling kuat adalah dengan meminta politisi dari penyebar misinformasi tersebut untuk membetulkan atau menyanggah disinformasi yang ada (Berinsky, 2023). Mitigasi propaganda komputasional lain adalah jurnalisme kepemiluan berbasis data dan investigasi. Jurnalisme yang tidak hanya memberi konteks atas peristiwa di tengah arus informasi yang keruh, tetapi juga mengungkap makna di balik narasi yang membelah secara kritis dan independen. Kritisisme ini bisa dimulai dengan mengakomodasi keberagaman sudut pandang dari berbagai narasumber atau perspektif berita kepemiluan, termasuk yang muncul dari bawah. (*)

 

Salvatore Simarmata, Dosen Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.