Wacana

Objektivitas Jurnalisme pada Tahun Politik

KERJA jurnalisme adalah praktik nyata yang signifikan dalam berdemokrasi di suatu negara. Pers disebut sebagai pilar demokrasi karena lewat pers suara rakyat sebagai landasan utama dalam berdemokrasi, diekspresikan dan diartikulasikan secara bebas dalam praktik bernegara sebuah bangsa.

Itulah sebabnya praktik jurnalisme menjadi urgen pada masa pemilu karena menjadi variabel terpenting dalam menentukan kualitas demokrasi dalam pemilu. Independensi dan netralitas kinerja kelembagaan jurnalisme, harus terjamin. Karena itu, pembiayaannya tak mesti bergantung pada APBN. Ketidaktergantungannya pada APBN yang sistem pengelolaannya terletak pada sistem pengelolaan pemerintahan pada rezim pemenang kontestasi politik pemilu, menjadi garansi independensi.

Jarak pemisah harus ada untuk menjamin tak terpengaruh rezim kekuasaan. Praktik jurnalisme wajib independen sehingga kinerja karya jurnalistik bisa netral tak berpihak karena terkontaminasi kepentingan kekuasaan. Terlebih karena peraturan perundang-undangan memang mengamanatkan independensi dan netralitas praktik jurnalisme.

Persoalannya, kebebasan pers dalam mengejawantahkan praktik demokrasi dalam bernegara tak selamanya sejalan dan sesuai yang diamanatkan konstitusi atau peraturan perundang-undangan, dalam pemenuhan hak masyarakat untuk mengetahui atas peristiwa atau kejadian dalam masyarakat atau pemerintahan dalam bernegara. Demikian pula, untuk mengekspresikan kepentingannya dalam bernegara, khususnya dalam perspektif hak dan tanggung jawab dalam bernegara.

Hajat terbesar bangsa saat ini dalam konteks bernegara (berdemokrasi) adalah menghadapi Pemilu 2024. Saat ini ramai diberitakan beragam media. Liputan tersebut tak lepas dari kepentingan subjektif dan objektif dari masing masing media.

Kepentingan itu pun kerap dirasionalisasi berdasarkan kepentingan objektif lembaga pers bersangkutan, terutama terkait kepentingan kesinambungan nasib perusahaan pers tersebut. Maka itu, praktik jurnalisme mensyaratkan dua hal, yaitu idealisme dan profesionalisme.

Tanpa kedua hal tersebut, praktik jurnalisme yang memenuhi kaidah mendasar dalam memenuhi hak publik untuk tahu sulit terlaksana, sehingga jalan berdemokrasi yang bertumpu pada pilar pers akan menemui kendala.

Pilar demokrasi yang bertumpu pada pers adalah benteng terakhir dalam berdemokrasi. Pemilu yang merupakan monumen demokrasi laksana menara gading pada lembaga pers jika dalam praktiknya tidak mengamalkan idealisme dan profesionalisme jurnalisme.

Praktik antara idealisme dan profesionalisme jurnalisme harus bisa dimaknai laksana dua sisi keping mata uang, yang antara satu dan lainnya saling menguatkan dalam kebermaknaan secara fungsional.

Di samping itu, secara etik dan norma kinerja jurnalis, lembaga pers, harus bisa menyalakan batas api dalam berkinerja dengan menegaskan code of conduct dalam dua ranah yang harus bisa dibedakan meski tak terpisahkan, yaitu code of the press dan code of company.

Keduanya memang tak terpisahkan dalam merawat eksistensi dan peran sebuah lembaga pers, dalam mempraktikkan idealisme dan profesionalisme sebuah jurnalisme. Namun, di antara keduanya harus ada batas api yang senantiasa terawat nyalanya, yakni antara kerja redaksional dan perusahaan harus saling menjaga tanpa harus saling intervensi atau terkontaminasi antara divisi masing-masing.

Buah dari praktik jurnalisme yang mendasari diri pada idealisme dengan senantiasa menjunjung tinggi prinsip profesionalisme akan melahirkan karya jurnalistik yang objektif dan kritis. Ini kebutuhan mendasar bagi publik dalam menjalani pemilu yang demokratis.

Demokratisasi pemilu mempersyaratkan liputan pers yang senantiasa menyajikan informasi objektif dan kritis. Sajian ini membantu publik untuk menilai calon presiden dan wakil presiden serta calon legislatif dan senator di DPD secara baik dan benar.

Informasi yang objektif dalam pemilu menjadi prasyarat hasil pemilu yang demokratis. Di situlah relevansi fungsional pers sebagai pilar demokrasi. Sebagai pilar demokrasi, pers ditopang lima komponen terpenting dalam menegaskan perannya.

Pertama, jurnalis sebagai ujung tombak dalam menyajikan informasi objektif, hanya mungkin dihasilkan dengan kinerja profesional yang ditopang idealisme. Kedua, pemilik modal sebagai nyawa untuk menghidupi operasionalisasi kesinambungan kerja jurnalis di media pers.

Dari aspek ini, pers tidak bisa dipisahkan dari kepentingan bisnis. Dari sisi ini pula praktik jurnalisme di media massa dipandang sebagai industri yang sudah tentu berorientasi keuntungan. Namun, itu bukan berarti demi meraup untung lantas menghalalkan segala cara.

Ketiga, iklan adalah napas bagi industri pers. Tanpa iklan, pers akan kolaps. Sebuah iklan berkorelasi fungsional dengan pembaca, pendengar, atau pemirsa sebuah media.

Karena itu, agar iklan tetap terpasok pada sebuah media maka media bersangkutan harus bisa memiliki segmen peminat (pembaca, pendengar, dan pemirsa), yang jelas dan meningkat.

Untuk itu, industri media harus terkelola secara profesional dan senantiasa memenuhi kebutuhan dan kepentingan segmentasinya.

Keempat, regulasi yang adil dan proporsional yang menjamin kebebasan pers secara normatif dan implementatif adalah syarat terpenting sebagai conditio sine qua non untuk “atmosfer” yang sehat bagi pertumbuhan pers.

Kelima, masyarakat tempat bertumbuhnya pers dalam praktik jurnalisme adalah laksana rakyat bagi seorang ratu. Itulah sebabnya tokoh legenda jurnalisme Adinegoro menyebut pers sebagai ratu dunia. (*)

Aswar Hasan, Komisioner KPI Pusat periode 2019/2022, Dosen Ilmu Komunikasi Unhas Makassar

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.