Berita Utama

Banjir Berulang di Kota Sorong

SORONG – Ramla selalu waswas ketika hujan mulai lebat dan lama seperti yang terjadi beberapa hari terakhir. Hujan deras yang berlangsung setengah jam saja sudah bisa menggenangi kampungnya, Kampung Bugis RT 02 RW 02, Kelurahan Matalamagi, Distrik Sorong Utara, Kota Sorong. Tak hanya banjir, kadang Kampung Bugis juga digenangi lumpur tebal.

Tinggi genangan bervariasi. Ada yang sampai sepinggang orang dewasa. Di titik lain di kampung Bugis itu, genangan bisa sampai sedada. “Warga kami di RT 1-3 selalu terendam banjir jika hujan lebat. Masyarakat tidak tenang hidup di rumahnya sendiri akibat banjir ini,” ujar Ramla, Ketua RT 02 RW 02, Kelurahan Matalamagi.

Ramla mengaku kecewa. Mulanya Ramla berharap bakal ada perubahan penanganan potensi banjir setelah Sorong diterjang banjir hebat pada Juli 2020. Dalam banjir yang bertahan selama sepekan itu, 16-25 Juli 2020, lima warga Sorong tewas.

Afandi Hataul dan Jafar Kalbarin meninggal terkena longsoran yang dipicu oleh banjir di Kelurahan Klademak, Kota Sorong. Isak Ananisa Wakum meninggal karena tersengat listrik saat banjir di kelurahan yang sama. Maisuna meninggal karena kedinginan akibat terjebak banjir di Jalan Kasturi, Kelurahan Remu Utara. Korban terakhir, Alex Ginuni, meninggal terseret banjir dan ditemukan di belakang Pasar Remu. Banjir Sorong pada Juli 2020 juga merusak 754 rumah.

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Sorong, Herlin Sasabone, mulanya mengatakan banjir di Sorong dipicu curah hujan ekstrem yang mencapai 168 milimeter. Namun dugaan pemicu banjir berkembang. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Papua Barat, Charlie Heatubun, mengatakan ada keterkaitan antara banjir dan pembukaan area hutan lindung di Kota Sorong, baik untuk pemenuhan material pembangunan infrastruktur maupun perumahan.

Dugaan penyebab banjir itu kemudian berlanjut ke operasi penegakan hukum. Pada 25 September 2020, tim gabungan pimpinan Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup Wilayah Maluku dan Papua merazia usaha galian batuan—dulu disebut sebagai galian golongan c, seperti pasir, kerikil, batu kali, dan tanah urug—di kawasan hutan lindung Remu, Kota Sorong. “Banjir di Kota Sorong selama ini penyebab utamanya adalah galian C ilegal,” ujar Wali Kota Sorong, Lamberthus Jitmau, ketika itu.

Dari razia itu, sejumlah orang diseret ke pengadilan. Mereka adalah Yustinus Kalasuat,  Edison Lumban Gaol, Johanis Kenot, dan Rosita Kaykatui.

Sempat berhenti sebentar setelah dirazia, praktik galian C di kawasan hutan lindung Remu itu bergeliat lagi. Berdasarkan penelusuran di lapangan, nama-nama barusan kembali menggali tanah urugan dengan cara paling tradisional, mencecar punggung-punggung bukit dengan air agar bisa longsor dengan sendirinya. Kondisi ini, menurut Ramla, malah memicu potensi banjir yang lebih besar. Tinggal menunggu curah hujan yang sama seperti pada Juli 2020 lalu, atau lebih.

Galian C sumber masalah

Tambang galiian C di Kilometer 10, dekat Kampung Bugis, Distrik Sorong Utara, Kota Sorong, Papua Barat. (Suara Karya/Yacob Nauly)

Kegiatan galian C di Kota Sorong telah berlangsung lama. Pasir dan batu sebagai material atau bahan bangunan selama bertahun-tahun di Sorong hanya didapatkan dari satu sumber, yaitu pegunungan yang berada di kawasan hutan lindung Remu.

Kepala Bidang Sarana-Prasarana Dinas Perindustrian Kota Sorong, Duma Patandungan, mengakui material bangunan untuk Kota Sorong memang berasal dari kawasan Malanu dan Kampung Bugis, yang masuk kawasan lindung Remu. “Dua kawasan itu berkontribusi besar terhadap pertumbuhan pembangunan rumah warga dan gedung bertingkat di Sorong dan sekitarnya,” kata Duma pada 26 September 2021.

Potensi bencana alam gara-gara eksploitasi berlebihan, hingga mengupas perbukitan, itu sudah sempat diperingatkan oleh sejumlah peneliti. Mula-mula oleh Hendrik Pristianto dan Achmad Rusdi, pengajar pada Program Studi Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Sorong. Melalui penelitian berjudul Evaluasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Wilayah Pesisir di Kota Sorong, yang diajukan dalam Seminar Nasional III Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai di Yogyakarta pada September 2017, Hendrik dan Rusdi menyebutkan, tingkat kekeruhan air di delapan sungai di Sorong mengkhawatirkan. Yang paling mengenaskan adalah Sungai Klagison, yang pada siang hari mencapai 1.000 NTU (nephelometric turbidity unit) lebih. Nomor dua, Sungai Klagison Hilir, yang pada siang hari sebesar 751,67 NTU. Kemudian Sungai Kilometer 10 sebesar 210 NTU.

Menurut Hendrik dan Rusdi, pemicu keruhnya dua Sungai Klagison di pagi dan siang hari adalah sedang berlangsungnya pencucian tanah di hulu sungai, yang menjadi daerah tangkapan air. Tanah-tanah yang dihasilkan dari pembelahan dan pengerukan bukit di hulu, kemudian dicuci untuk diambil pasirnya, yang biasanya buat pasir pasang maupun pasir cor. “Adapun limbah pencucian pasir yang berupa sedimen terlarut masuk ke dalam aliran di hulu Sungai Klagison tersebut,” demikian tulisan Hendrik.

Larutan sedimen itu memicu pendangkalan sungai. Lantaran sungai-sungai tersebut melewati wilayah permukiman, apa yang terjadi kemudian bisa ditebak. Kemampuan sungai menampung air berkurang. Air hujan yang turun dari langit tidak dapat ditangkap seluruhnya oleh sungai. Kondisi ini diperparah oleh daerah tangkapan air di hulu yang juga sudah dibabat buat pasir. “Sehingga kemudian menyebabkan banjir,” tulis Hendrik.

Dampak penambangan pasir di DAS Klagison makin terang berkat penelitian Asriadi, mahasiswa pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar pada 2018. Berdasarkan penelitiannya yang bertajuk Dampak Akibat Aktivitas Penambangan Pasir di Kota Sorong, yang kemudian menjadi tesis pascasarjana dengan judul mirip, Analisis Dampak Akibat Aktivitas Penambangan Pasir di Kota Sorong, laju luas lahan galian c di Kilometer 10 dekat Kampung Bugis sungguh mengkhawatirkan. Pada 2012, luas lahan galian c di tempat itu baru 6,73 hektare. Pada 2017, angkanya melompat menjadi 17,15 hektare. “Peningkatan yang paling signifikan terjadi pada 2015,” tulis Asriadi. “Perubahannya naik sampai 25,60 persen atau sebesar 4,39 hektare.”

Tak hanya lahan galian, luas permukiman juga naik. Luas kawasan permukiman Kampung Bugis yang mulanya hanya 24 hektare pada 2012 naik menjadi 28 hektare pada 2017. Kenaikan-kenaikan itu merembet ke banyak hal, di antaranya membuat Kampung Bugis jadi salah satu daerah di Sorong yang selalu mengalami frekuensi banjir sangat tinggi, mencapai 15-20 kali dalam setahun. Perluasan lahan galian itu berbanding lurus dengan genangan banjir yang melebar, dari 0,89 hektare pada 2012 menjadi 7,56 hektare pada 2017.

Para penggali gunung itu adalah masyarakat yang bekerja sendirian, berkelompok, hingga pertambangan galian atas nama perusahaan. Mereka sebetulnya sadar bahwa galian mereka merusak lingkungan Kota Sorong. “Kawasan sekitar jadi banjir, lahan pertanian dan pekarangan warga rusak, bahkan rumah masyarakat juga kerap tertutup lumpur galian,” kata Limas, warga suku Moi, salah satu suku terbesar di Sorong, yang tinggal di Kilometer 10, Kampung Bugis, Sorong.

Tapi kebutuhan perut mengalahkan akal sehat. Lokasi penambangan ini telah berubah menjadi kampung sendiri. Masyarakat yang tinggal di sekitar penambangan berjualan makanan siap saji maupun bahan mentah. Warga juga membuka kios-kios di sekitar galian tersebut. Mereka tak merasa bersalah menambang gunung, karena itu sudah jadi pekerjaan secara turun-temurun dan menjadi penghidupan warga. “Ini sudah berjalan lama sejak saya belum lahir. Umur saya saat ini 42 tahun. Warga terbantu galian c itu sudah puluhan tahun lamanya,” ujar Limas.

Sempat ditangkapi pada September 2020, para penambang ilegal ini kembali beroperasi. Kami mendatangi lokasi penambangan mereka beberapa kali pada akhir 2021. Mereka tampak aman-aman saja menambang. Dari banyak penambang ilegal, kami menemui Edison Lumban Tobing, penambang yang sempat ditangkap pada September 2020.

Status hutan lindung Remu

Operasi Gabungan Gakkum LHK di area penambangan ilegal kawasan hutan lindung Kota Sorong, 2020. (Antara/Ernes Kakisina)

Tidak seperti gembar-gembor operasi gabungan September 2020 yang menangkap banyak penambang di Sorong, putusan pengadilan atas kasus mereka tidak banyak tersorot. Sebagian besar di antara mereka rupanya divonis bebas.

Salah satunya Rosita Kaykatui, 58 tahun, yang membelah bukit dan mengolahnya jadi pasir di Jalan Harun Kalagison KPR Misi, Kelurahan Malanu, Distrik Sorong Utara, Kota Sorong, yang diputus bebas pada 25 Oktober 2021. Dalam persidangan, Rosita sebetulnya terbukti menambang kawasan hutan lindung Remu, Kota Sorong, sebagaimana Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK. 783/Menhut- II/2014 tanggal 22 September 2014 tentang Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan Provinsi Papua Barat.

Penuntut umum mendakwa Rosita menambang di dalam kawasan hutan tanpa izin menteri, sebagaimana diatur dan diancam pidana pada ketentuan Pasal 89 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan juncto Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Jaksa menuntut Rosita dipidana penjara 3 tahun dan denda Rp 1,5 miliar. Wilayah penambangan Rosita termasuk legal, memiliki IUP hingga membayar pajak, namun beroperasi di kawasan hutan lindung Remu.

Majelis hakim yang diketuai Fransiscus Yohanis Babthista, pada 25 Oktober 2021, memutuskan memang Rosita terbukti bersalah sesuai dengan dakwaan jaksa penuntut. Namun, menurut hakim, perbuatan tersebut bukanlah tindak pidana. Karena itu, majelis hakim membebaskan Rosita.

Terdakwa lain, Johanes Kenot, 70 tahun, yang menambang di Jalan Klaselo, Kolam Buaya Kilometer 10 Masuk, Kota Sorong, dan masuk di kawasan hutan lindung Remu, juga divonis bebas. Begitu pula dengan Yustinus Kalasuat, yang menambang di Jalan Lintas Sungai Membramo Kilometer 10, Kompleks Kalagison, Kelurahan Malanu, Distrik Sorong Utara, Kota Sorong; dan Edison Lumban Gaol, 57 tahun, yang menambang di Kampung Bugis KM 10 Masuk, keduanya divonis lepas.

Pada Desember 2021, Edison Lumban Gaol sudah menambang lagi bukit-bukit yang sebagian sudah mengelupas itu di Kilometer 10, Sorong. Edison mengenakan setelan kuli biasa, dengan kelir kuning jingga. Tidak jelas apakah itu warna asli bajunya atau karena telah terkontaminasi warna tanah galian. “Saya sudah diputus bebas oleh Pengadilan Negeri Sorong. Mau apa lagi?” kata Edison.

Sebelum masuk ke lokasi tersebut, kami sebetulnya sudah diperingatkan oleh warga sekitar. “Bapak kalau mau masuk ke sana hati-hati, taruhannya nyawa,” kata seorang warga di kompleks pesantren, pada Desember 2021.

Kami menyaru jadi calon pembeli pasir dan batu galian. Edison, pria kelahiran Huta Paung, sebuah desa di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, tersebut menunjukkan kawasan yang ia kuasai. “Ini lahan saya sewa. Ada sertifikat hak miliknya dari yang punya,” kata Edison.

Di tambang itu, sebagian orang mencecar punggung-punggung bukit dengan air dari slang. Agar rontok dan tanahnya bisa langsung diangkut. Edison mulai curiga ketika kami mengambil banyak foto. “Ambil gambar-gambar maksudnya apa?” Merasa terpojok, kami akhirnya mengaku sebagai wartawan.

Sialnya, pengakuan ini nyaris berujung nahas. Edison hendak merampas ponsel yang berisi gambar-gambar tambangnya.

Setelah bernegosiasi, Edison mau melepas kami. “Yang penting jangan sebut nama saya nanti di tulisan,” kata Edison, mengajukan syarat. “Kalau kau sebut, saya cari kau.”

Kami pikir ancamannya sudah lewat. Ketika kami hendak keluar dari lokasi tambang itu, batu-batu berhamburan dari balik bukit dan pohon tempat Edison dan anak buahnya sedang menggali. Kami keluar merunduk, berlari dan mencari perlindungan di goa-goa bekas galian, sambil mengingat-ingat rute pelarian yang sudah kami pelajari sejak tiga bulan sebelumnya.

Sesuai dengan dokumen putusan perkaranya di PN Sorong, Edison mulai menggarap lahan itu sejak 2011, setelah menyewa tanah tersebut dari Yulinda Musso, warga setempat, dengan mahar Rp 5 juta per bulan. Bukit-bukit itu kemudian ia potong dan dibelah-belah, lalu dicuci hingga menjadi pasir bahan bangunan.

Untung pasir pasang, Edison menjualnya Rp 400 ribu per rit. Dan Rp 500 ribu untuk pasir plester. Edison tak tahu dan tak mau tahu bahwa bukit yang ia belah itu masuk kawasan hutan lindung Remu.

Pada 25 Oktober 2021, PN Sorong memvonis bebas Edison. Hakim memutuskan lahan yang digarap Edison bukanlah hutan lindung, kendati sudah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan sejak 1986 dan diperbarui pada 2014.

Alasan majelis hakim, orang tua Yulinda Musso sudah menggarap tanah itu sejak 1984 buat berkebun. Empat tahun kemudian, orang tua Yulinda memperoleh Surat Pelepasan Tanah Adat dengan luas tanah 10 hektare. Yulinda Musso selanjutnya meningkatkan status tanah itu menjadi hak milik, nomor 2527, dengan luas 3 hektare.

“Sejak tanah digarap oleh orang tua saksi (orang tua Yulinda) sampai dengan terbit sertifikat tanah, belum pernah ada orang atau pihak-pihak kantor mana pun yang menyebut lokasi tanah adalah kawasan hutan,” demikian bunyi putusan hakim.

Lokasi itu sendiri sudah digali masyarakat sejak 1990. Penggalian bertahun-tahun tersebut membuat kawasan hutan lindung Remu—yang ditetapkan belakangan—sudah tak berbentuk. Lokasi tersebut, menurut hakim, rupanya telah diusulkan menjadi tanah obyek reforma agraria (TORA).

Pertimbangan hakim lainnya dalam membebaskan Edison, karena terdakwa menggali untuk menambah pendapatan serta membantu pembangunan di Kota Sorong. Menurut hakim, alasan itu sesuai dengan Pasal 2 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria tujuan status tanah obyek reforma agraria (TORA), yang dibuat untuk menangani sengketa dan konflik agraria, menciptakan sumber kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi kemiskinan, dan memperbaiki akses masyarakat kepada sumber ekonomi.

“Sesuai dengan rasa keadilan masyarakat dengan melihat fakta yang senyatanya, terdakwa tidaklah dapat dijatuhi pidana atas perbuatan tersebut karena perbuatan tersebut merupakan sengketa administrasi negara,” kata hakim dalam putusannya.

Kepala Bidang Sarana-Prasarana Dinas Perindustrian Kota Sorong, Duma Patandungan, mengakui persoalan pelik status hutan lindung di Papua. Hutan, menurut Duma, “dimiliki” oleh suku-suku lokal setempat. Pada praktiknya, pemilik ulayat kemudian menyewakan lahannya kepada pengusaha untuk ditambang tanahnya.

Putusan bebas atas Edison, Rosita, Johanis Kenot, dan Yustinus membuat mereka merasa benar menambang hutan lindung dengan membelah bukit lagi, dan mengirim limbah tanahnya ke sungai-sungai terdekat, yang bakal memicu pendangkalan makin hebat. Ditanya soal beroperasinya kembali tambang-tambang pemicu banjir di Sorong ini pada awal Januari 2022, Wali Kota Sorong Lamberthus Jitmau mengaku tidak tahu. “Saya belum cek apakah benar atau tidak beroperasi kembali,” kata Jitmau. “Sebab, wartawan biasanya tidak berani masuk sampai sana.”

Kami lalu menunjukkan foto-foto dari tambang milik Edison. “Kalau begitu, saya cek ke anak buah,” ujar Jitmau. Sampai kini, bukit-bukit di KM 10 Kota Sorong masih tetap ditambang. (TMP/ANT/SK/PBN)

 

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.