Berita Utama

KPU Akan Batasi Usia Pendaftar Anggota Ad Hoc

JAKARTA – Rekrutmen anggota badan ad hoc untuk Pemilu 2024 akan dibuka pada pertengahan November mendatang. Komisi Pemilihan Umum (KPU) berencana membatasi usia pendaftar antara 50 atau 55 tahun. “Masih didiskusikan untuk ditentukan batas antara dua pilihan tersebut,” kata komisioner KPU, Betty Epsilon Idroos, kemarin.

Badan ad hoc pemilu terdiri atas Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Panitia Pendaftaran Pemilih (Pantarlih). Untuk Pemilu 2024, perekrutan anggota PPK akan didahulukan.

Pada Pemilu 2019, sedikitnya 894 anggota badan ad hoc meninggal, diduga karena kelelahan. Agar tragedi ini tidak terulang, KPU menambahkan syarat usia bagi anggota badan ad hoc. “Kami juga melarang orang yang mempunyai penyakit komorbid untuk mendaftar,” kata Betty.

Penyakit komorbid yang menjadi perhatian KPU antara lain adalah hipertensi, diabetes melitus, jantung, gangguan pernapasan, ginjal kronis, gangguan saraf, gangguan endokrin, dan lever. KPU bakal berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk membantu pemeriksaan kesehatan bagi calon petugas ad hoc yang mendaftar. “Tapi permohonan kepada pemerintah sifatnya usulan,” kata Betty. “Belum ada ketetapan yang diputuskan.”

Berdasarkan hasil penelitian Universitas Gadjah Mada dan Ikatan Dokter Indonesia, anggota badan ad hoc yang meninggal pada Pemilu 2019 disebabkan oleh beban kerja yang terlalu berat. Paling tidak, itu terlihat dari rentang waktu yang dibutuhkan dalam merampungkan tugas.

Misalnya saja untuk mempersiapkan tempat pemungutan suara, petugas membutuhkan waktu 7 jam 30 menit hingga 11 jam. Sedangkan untuk mempersiapkan dan mendistribusikan undangan, berkisar 8 hingga 48 jam. Adapun untuk pelaksanaan pemungutan suara, sekitar 20-22 jam.

Sejumlah kendala di lapangan dinilai turut menambah beban kerja anggota badan ad hoc. Misalnya tentang manajemen logistik pemilu yang tidak sesuai dengan skenario awal, sehingga mengganggu proses pemungutan suara. Begitu juga dengan persoalan administrasi yang rumit.

KPU telah berusaha meminimalkan hambatan tersebut dengan sejumlah kebijakan. Di antaranya adalah memberikan kenaikan honor petugas ad hoc sebagai bentuk apresiasi. Pada pemilu mendatang, kata Betty, honor petugas ad hoc dinaikkan hampir dua kali lipat dari pemilu sebelumnya.

Honor ketua PPK, yang pada Pemilu 2019 hanya sebesar Rp 1.850.000, akan dinaikkan menjadi Rp 2,5 juta. Begitu juga dengan ketua PPS, dari Rp 900 ribu menjadi Rp 1,5 juta. Adapun ketua KPPS, dari Rp 550 ribu menjadi Rp 1,2 juta. Selain itu, KPU telah menetapkan santunan kecelakaan kerja yang nilainya mencapai Rp 36 juta untuk meninggal, Rp 30,8 juta untuk cacat permanen, luka berat Rp 16,5 juta, luka sedang Rp 8,25 juta, dan luka ringan Rp 10 juta. “Bagi yang dirawat di rumah sakit, juga ditanggung sesuai dengan sakit yang dialami,” ujar Betty.

Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Herwyn Malonda mengatakan, dalam tahapan pemilu, beban kerja yang paling berat terjadi pada saat penyiapan logistik hingga pemungutan suara. Bawaslu telah mengusulkan penambahan petugas pengawas di TPS, dari satu menjadi dua orang. “Kami sudah usulkan agar dalam Perpu (peraturan pengganti undang-undang) Pemilu yang mau dibuat, ditambahkan regulasi tersebut.”

Menurut Herwyn, dengan tambahan tenaga, beban kerja pengawas di TPS menjadi berkurang. “Jadi, ada dua sif untuk pengawasan. Dengan begitu, beban kerja terbagi,” katanya. Bawaslu sepakat dengan KPU untuk membatasi usia anggota badan ad hoc.

Bawaslu telah merekrut pengawas tingkat kecamatan sejak bulan lalu. Sedangkan bulan depan telah memasuki tahap seleksi pengawas untuk tingkat kelurahan dan TPS. Untuk memastikan kesehatan pengawas, telah diusulkan pemeriksaan kesehatan sebanyak dua kali. Pemeriksaan pertama dilakukan saat proses seleksi dan yang kedua sebelum mereka bekerja. “Vitamin dan obat juga nanti kami siapkan,” ujarnya.

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini, mengapresiasi komitmen negara untuk meningkatkan honorarium penyelenggara ad hoc dan pembatasan usia untuk menekan risiko yang tidak diinginkan pada pemilu mendatang. “Tapi itu saja tidak cukup. Sebab, persoalan utama pada hari pemungutan dan penghitungan suara itu adalah beban kerja yang tinggi akibat kompleksitas teknis,” ujarnya.

Beban kerja dan kompleksitas teknis itu, menurut Titi, bakal mempengaruhi kecermatan dan juga ketahanan fisik petugas. Karenanya, KPU juga perlu mengurai kerumitan dan kompleksitas kerja di TPS menjadi lebih sederhana. Beberapa hal yang bisa dilakukan adalah melakukan digitalisasi pencatatan hasil penghitungan suara di TPS yang akan diberikan sebagai salinan kepada saksi.

Sebab, pengalaman 2019, kata dia, penyalinan hasil penghitungan yang membuat petugas kelelahan, karena banyak dokumen yang harus diisi secara manual. Selain itu, model pelatihan atau bimbingan teknis semestinya dilakukan berbasis simulasi dan tidak mepet waktu dengan hari H pemilu. “Petugas juga perlu dibekali dengan buku pintar dan alat belajar audio visual,” ucapnya. “Ini harus dibagikan jauh-jauh hari sebelum hari pemungutan suara.”

Menurut dia, calon petugas perlu mendapatkan contoh berbagai formulir yang akan mereka kelola saat hari pemungutan dan penghitungan suara. Hal itu menjadi materi yang akan diujicobakan saat mereka mengikuti seleksi sebagai petugas pemilu. KPU juga perlu mempertimbangkan kembali merekrut petugas pemilu yang sama dengan Pemilu 2019 sepanjang masih memenuhi syarat.

Selain itu, KPU mesti memastikan setiap penyelenggara ad hoc sudah terdaftar dalam layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. “Yang harus dipastikan, bagaimana agar pelayanannya tidak bermasalah saat harus digunakan untuk kepentingan petugas,” katanya. “Namun, bagi yang belum punya (BPJS), maka KPU wajib mengupayakan mereka bekerja dengan perlindungan jaminan kesehatan.” (TEM)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.