NASIONAL

Fenomena Sekuritisasi yang Terus Terjadi

JAKARTA — Pengusulan nama-nama calon penjabat kepala daerah yang berlatar belakang perwira TNI aktif masih terus terjadi. Padahal, jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XX/2022, prajurit TNI aktif hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.

Anggota Ombudsman RI (ORI), Robert Na Endi Jaweng, dihubungi Minggu (13/8/2023), mengatakan, jika sebelumnya ORI mendapatkan laporan dari 34 kantor perwakilan ORI di daerah tentang sejumlah nama perwira TNI dan Polri aktif untuk dicalonkan sebagai penjabat kepala daerah di 10 provinsi, kali ini juga ada usulan dari DPRD kabupaten. DPRD Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, mengusulkan Letnan Kolonel (Arm) Arif Yudho Purwanto sebagai salah satu dari tiga calon yang diajukan ke Kemendagri. Ia diajukan bersama dua nama lainnya, yaitu Sekretaris Daerah Bojonegoro Nurul Azizah dan Sekretaris DPRD Bojonegoro Edi Susanto.

Dalam surat resmi yang ditandatangani oleh Ketua DPRD Bojonegoro itu, jabatan terakhir Letkol Arm Arif Yudho Purwanto adalah Irdyaintel Itutum Itdam V Brawijaya. ”Laporan itu masuk ke ORI pada Sabtu, 12 Agustus 2023 kemarin. Menyusul laporan dari 34 kantor perwakilan ORI di daerah sebelumnya,” kata Robert, dilansir Kompas.

Sebelumnya, dalam konferensi pers di Kantor ORI, Jakarta, Kamis (10/8/2023), Robert juga menyayangkan masih adanya nama-nama perwira TNI dan Polri aktif yang diusulkan menjadi penjabat di 10 provinsi strategis yang masa jabatan gubernur dan wakil gubernurnya akan habis pada 5 September nanti. Meskipun ia enggan merinci DPRD provinsi mana saja yang mengusulkan itu, Robert sempat menyebut Provinsi Sulawesi Selatan. Di sana, ada dua nama baik perwira TNI maupun Polri aktif yang diusulkan menjadi penjabat kepala daerah.

Sesuai dengan rekomendasi laporan hasil pemeriksaan (LHP) ORI yang dikeluarkan pada Juli 2022, Kemendagri diminta mengangkat nama-nama calon penjabat kepala daerah dari kalangan sipil. Jika memang calon berasal dari prajurit TNI atau anggota Polri aktif, sesuai dengan putusan MK, mereka harus pensiun dini atau mundur dari kedinasan aktif.

”Kami sayangkan nama-nama calon dari tentara militer ataupun Polri itu masih ada. Ini kontradiktif dengan tindakan korektif Ombudsman sebelumnya yang melarang pengajuan nama-nama calon berlatar belakang aparat,” ungkapnya.

Sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XX/2022, MK menyoroti pengisian penjabat kepala daerah dari unsur TNI dan Polri. MK merujuk Pasal 47 UU No 34/2004 tentang TNI yang pada pokoknya mengatur prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Undang-undang itu juga mengatur bahwa prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, search and rescue (SAR) nasional, Badan Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.

Aturan harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian juga berlaku bagi anggota Polri yang hendak menduduki jabatan di luar kepolisian. Hal ini tertera dalam Pasal 28 Ayat 3 UU No 2/2002 tentang Polri. Ketentuan dalam UU TNI dan UU Polri itu sejalan dengan apa yang diatur dalam UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Undang-undang tersebut membuka peluang pengisian jabatan pimpinan tinggi dari unsur prajurit TNI dan anggota Polri setelah mundur dari dinas aktif.

Sekuritisasi

Peneliti Politik Keamanan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Muhammad Haripin berpandangan, masih adanya nama-nama calon penjabat kepala daerah yang berasal dari TNI atau Polri aktif berbahaya bagi supremasi sipil dan demokrasi di Indonesia. Sebab, walaupun aparat tersebut memiliki pangkat, kapasitas, atau pengalaman organisasi yang memenuhi persyaratan, mereka bukanlah sosok yang berpengalaman di pemerintahan sipil.

Jika mereka dipaksakan, baik mengakali atau menerabas aturan tetap dipaksakan sebagai penjabat, akan terjadi defisit kemampuan dalam hal pemerintahan daerah. Baik untuk pelayanan publik maupun transparansi penggunaan APBD, dan sebagainya. ”TNI atau Polri seharusnya profesional dan pengalaman mereka dalam hal pertahanan dan keamanan negara. Ini 180 derajat berbeda dengan kepemimpinan sipil. Birokrasi sipil lebih luas karena mengurusi hajat hidup orang banyak mulai dari pendidikan, kesehatan, sampai air bersih,” katanya.

Haripin juga menilai bahwa usulan nama-nama calon penjabat dari unsur instrumen pertahanan dan keamanan negara juga kontradiktif. Sebab, mengacu pada data Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), jumlah jabatan pimpinan tinggi (JPT) dan JPT pratama lebih dari jumlah kebutuhan penjabat kepala daerah. JPT madya, misalnya, mencapai 600 orang. Adapun jumlah JPT pratama jauh lebih besar, yaitu 4.000-an orang. Jika pada tahun ini ada 170 kepala daerah yang akan diganti oleh penjabat, seharusnya bisa dipilih dari ASN JPT madya dan pratama yang ada itu.

Ia juga menilai bahwa fenomena itu juga membuktikan bahwa konstelasi politik di tingkat lokal masih sangat terfragmentasi. DPRD bisa saja mencari alat untuk memperjuangkan kepentingan mereka mencari sumber daya untuk terpilih menjadi anggota DPRD atau DPR pusat. Dengan sumber daya terbatas, mereka ingin bertarung dengan cara-cara kotor dan bermain-main dengan aturan. Termasuk ia menduga politikus mencari sumber daya politik lewat bekerja sama dengan aktor-aktor keamanan yang memiliki sumber daya baik logistik maupun politik.

”Kalau filternya sampai jebol dari DPRD. Ini justru membuat bertanya-tanya publik mengapa DPRD memilih melanggar aturan UU TNI, UU Polri, ataupun putusan MK?” tanyanya. (KOM)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.