Kasak-kusuk Pengisian Penjabat Kepala Daerah
JAKARTA – Masa jabatan 101 kepala daerah, baik gubernur, bupati, maupun wali kota, akan berakhir pada tahun ini. Kementerian Dalam Negeri mulai menyiapkan pengangkatan penjabat kepala daerah di 101 daerah tersebut.
Jauh sebelum persiapan pemerintah itu, partai-partai lebih dulu membicarakan rencana pengisian penjabat kepala daerah ini. Misalnya, pengurus pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang menggelar rapat pada Oktober tahun lalu. Salah satu materi pembicaraan mereka adalah persiapan pengisian penjabat kepala daerah tersebut.
Seorang politikus PDIP menceritakan rapat tersebut. Ia mengatakan rapat itu dipimpin Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto dengan peserta, antara lain, pengurus pusat, anggota Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat dari PDIP, serta perwakilan pengurus wilayah partainya.
Dalam pertemuan itu, Hasto meminta pengurus wilayah mengusulkan nama pejabat yang dianggap layak menjadi penjabat kepala daerah. Mereka diminta mengajukan nama-nama itu paling lambat April ini. “Pada saat itu belum ada yang mengusulkan karena baru informasi awal,” katanya.
Saat dimintai konfirmasi, anggota Komisi Pemerintahan DPR dari PDIP, Arif Wibowo, mengakui adanya pertemuan tersebut. Namun ia berdalih dalam rapat itu DPP PDIP sesungguhnya mengingatkan kader partai kepala banteng di daerah agar turut mengawasi pejabat yang diusulkan untuk menempati posisi penjabat kepala daerah.
“Sekjen mengingatkan justru semua harus mengontrol penjabat yang diusulkan. Karena itu datang dari kalangan birokrasi dengan kepangkatan tertentu,” kata Arif, Kamis, 14 April 2022.
Arif mengatakan, dalam pertemuan tersebut, Hasto mengingatkan seluruh anggota Komisi Pemerintahan DPR dari partainya untuk memastikan penjabat kepala daerah yang terpilih berada di tengah. Sebab, partainya khawatir penjabat kepala daerah yang terpilih tidak netral. Apalagi, menurut dia, masih ada potensi kepentingan politik untuk memanfaatkan penjabat yang akan dipilih. “Tapi potensi itu kecil.”
Dia menjelaskan, peluang memanfaatkan penjabat kepala daerah memang kecil karena adanya pengawasan berlapis dari berbagai pihak. Misalnya dalam penggunaan anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk kepentingan memenangkan pemilu kelompok tertentu. Hal itu bisa dicegah dengan pengawasan DPRD. “Karena penggunaan anggaran dibahas bersama DPRD. Semua mengontrol,” ujarnya.
Di sisi lain, kata dia, jika ada penjabat yang pro ke salah satu partai ataupun pasangan calon presiden tertentu dalam Pemilu 2024, Badan Pengawas Pemilihan Umum pasti akan mengingatkannya. Semua partai politik yang ikut kontestasi juga mengawasinya.
Di samping itu, netralitas penjabat yang terpilih dapat dilihat dari kebijakan yang diambil. Sebab, penjabat hanya bisa melaksanakan kebijakan yang tertuang dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah. “Jadi, berlebihan kalau masih mempermasalahkan netralitas penjabat kepala daerah karena barikadenya banyak sekali untuk memastikan bahwa mereka netral,” ujarnya. “ASN akan mendapatkan sanksi kalau berpihak.”
Tahun ini, sebanyak 101 kepala daerah akan habis masa jabatannya, yang terdiri atas tujuh provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota. Mereka akan digantikan oleh penjabat kepala daerah yang dipilih Presiden lewat Menteri Dalam Negeri untuk posisi gubernur. Lalu pengangkatan penjabat bupati dan wali kota dilakukan oleh gubernur. Penjabat gubernur akan diisi oleh pejabat struktural eselon satu dengan jabatan pimpinan tinggi madya. Sedangkan penjabat bupati dan wali kota akan diisi pejabat eselon dua dengan jabatan pimpinan tinggi pratama.
Masa jabatan penjabat kepala daerah adalah satu tahun dan dapat diangkat kembali hingga pemilihan kepala daerah serentak selesai. Pemungutan suara pilkada serentak 2024 akan digelar pada 27 November 2024. Semua daerah di Indonesia akan mengikuti pilkada serentak ini.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) melihat tidak ada jaminan penjabat yang akan terpilih akan bersikap netral, terutama dalam menyambut Pemilu 2024. Sebab, mereka mempunyai diskresi untuk membuat kebijakan.
“Makanya kami mengusulkan sedikitnya tiga cara untuk mencegah ketidaknetralan itu,” kata anggota Komisi II DPR dari PKS, Mardani Ali Sera, kemarin.
Pertama, kata dia, semua penjabat kepala daerah yang ditunjuk mesti mendeklarasikan bahwa mereka berkomitmen menjaga integritas dan netralitasnya. Mereka wajib berfokus pada tugasnya sebagai penjabat dan tidak bermain politik. Kedua, perlu ada pengawasan dari aparatur terdekatnya ataupun media massa. Ketiga, Komisi Aparatur Sipil Negara bisa membuat gugus tugas khusus sebagai pengawas mereka. “Karena semua penjabat diambil dari ASN,” katanya.
Adapun Partai Demokrat melihat salah satu tantangan Pemilu 2024 adalah banyaknya penjabat kepala daerah. Anggota Komisi Pemerintahan DPR dari Demokrat, Anwar Hafidz, berpendapat, jika salah merekrut penjabat kepala daerah, hal itu bisa berdampak pada ketidaknetralan mereka untuk memenangkan calon tertentu dalam pemilu mendatang. “Kalau ini terjadi, pasti akan bermasalah karena pemilu tidak jujur dan adil,” kata Anwar.
Ia berharap Menteri Dalam Negeri konsisten dalam menentukan calon penjabat yang akan diusulkan gubernur. Pasalnya, gubernur berwenang merekomendasikan tiga calon penjabat bupati atau wali kota. “Ini yang perlu dikawal bersama,” katanya.
Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri, Benni Irawan, mengatakan publik dapat ikut mengusulkan dan mengawasi kandidat yang akan menduduki posisi penjabat kepala daerah. Pemerintah juga berharap semua pihak mengawasi kinerja penjabat kepala daerah nantinya. “Kalau ada yang tidak benar atau melanggar aturan bisa dievaluasi untuk diberhentikan. Karena dia kan ditugaskan. Jadi, tidak ada kaitannya dengan partai,” kata Benni. (TMP)