Wacana

Pesan Sam Altman bagi Pendidikan Indonesia

SAM ALTMAN, CEO OpenAI, seperti sedang memberi petunjuk bagi dunia pendidikan tatkala menjawab salah satu pertanyaan yang diajukan dalam acara bertajuk “Conversation with Sam Altman” di Jakarta pada 14 Juni 2023. Saat ditanya hal apa yang sangat penting bagi umat manusia tetapi belum bisa dilakukan oleh kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), Altman menjawab: kemampuan untuk menghasilkan ide baru. Tidak seperti manusia, demikian Altman, AI tidak memiliki daya kreatif untuk menemukan hal baru yang belum pernah ada sebelumnya (Kompas, 15/6/2023).

Meskipun terimplisit, petunjuk yang disampaikan Altman cukup terang bagi dunia pendidikan mengenai apa yang harus dilakukan di tengah gempuran perkembangan AI. Ternyata secanggih-canggihnya AI, tetap tidak (belum) bisa mengambil alih daya kreatif yang ada dalam diri manusia, sebagaimana ketidakmampuannya mengadopsi aspek emosi dan kesadaran moral manusia.

Karena itu, sesungguhnya masih tersisa ruang bagi manusia untuk tetap eksis tanpa teralienasi secara total oleh kemajuan AI. Demikian juga masih ada celah bagi manusia untuk tetap mengaktualisasikan makna eksistensinya sebagai makhluk yang berpikir sebagaimana yang diagung-agungkan filsuf Descartes dalam diktum mahsyurnya, cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada).

Namun, sejauh mana dunia pendidikan kita dalam segala tingkatannya sudah berupaya memunculkan dan mempertajam daya kreatif peserta didik?

Daya kreatif yang dikebiri

Salah satu gambaran gamblang pengebirian daya kreatif yang paling masif dalam dunia pendidikan kita adalah praktik ujian dengan sistem pilihan ganda yang sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun. Hanya perlu logika sederhana untuk menemukan titik lemah dari sistem ujian yang baru muncul awal abad ke-20 tersebut. Terbaca jelas bahwa fokus perhatian dari ujian model ini bukan pada pengembangan daya analisis atau produktivitas berpikir peserta didik, tetapi justru kepada efektivitas kerja dari penyelenggara ujian, khususnya kemudahan dalam urusan mendapatkan hasil tes.

Sangat ironis bahwa yang justru banyak berpikir keras adalah pembuat soal (pendidik) sebab harus menyediakan empat sampai lima opsi jawaban untuk satu soal. Sementara peserta didik tanpa sadar digiring untuk berpikir dangkal, bahkan dikondisikan untuk terbiasa mencoba peruntungan dengan main tebak-tebakan jawaban.

Itulah mengapa Frederick J Kelly, pelopor pembuat ujian pilihan ganda, kemudian menyesal telah merancang sistem ujian yang mulanya memang dimaksudkan untuk menjawab tuntutan produksi massal era industrial tersebut (Veritas Journal, 2019).

Beruntung, meski sangat terlambat, beberapa waktu lalu Menristekdikti Nadiem Makarim menginisiasi penghentian praktik ujian pilihan ganda. Salah satu langkah yang dibuat Nadiem adalah mengubah model Asesmen Kompetensi minimum (AKM) dari pilihan ganda menjadi soal yang memerlukan penalaran kritis (Kompas, 17/11/2020). Sebuah upaya yang perlu disambut sebagai langkah maju dalam hal menumbuhkan daya kreatif. Paling tidak peserta didik dipacu untuk memaksimalisasi kerja otak sebagai sumber gagasan/temuan baru.

Tak terhitung pula bentuk-bentuk pengebirian dan pengerdilan daya kreatif lain yang terjadi baik karena rancangan kurikulum yang menutup ruang bagi peserta didik untuk berpikir secara eksploratif, maupun karena ketidaksanggupan pendidik menciptakan atmosfer kelas yang merangsang lahirnya ide ataupun temuan baru dari peserta didik. Bahkan masih ada pendidik yang mengajar ala one man show, peserta didik hanya dianggap obyek yang perlu dicekoki ilmu terus-menerus.

Proses belajar yang diinterupsi

Selain itu, problem lain yang sangat mengkhawatirkan dalam konteks hari ini adalah interupsi dari media sosial (medsos). Terlepas dari fungsi edukatifnya, tanpa kontrol yang baik, kehadiran medsos sangat rentan mengganggu fokus kerja otak, terutama ketika digunakan berbarengan dengan kegiatan belajar.

Dalam penelitian yang dilakukan tim peneliti American Psychological Association terhadap para pekerja yang diharuskan bertahan dalam alur pekerjaannya, terungkap bahwa gangguan sesaat dapat menggagalkan alur pikiran para pekerja tersebut. Interupsi yang terjadi dalam 4,4 detik saja, menurut penelitan tersebut, memicu terjadinya tiga kali lipat kesalahan dalam urutan alur pekerjaan (Journal of Experimental Psychology, 2014).

Mengingat sebagian besar kegiatan belajar menuntut alur yang runut, dapat dibayangkan besarnya gangguan yang terjadi pada peserta didik ketika belajar sambil scrolling medsos. Berbagai bentuk emosi yang terpicu oleh konten yang tersaji serta semua bentuk interaksi yang terjadi di dalamnya jelas menjadi gelombang interupsi yang dahsyat. Belum lagi soal tema konten yang sangat acak (random) turut menggerus kemampuan untuk berpikir fokus.

Dalam Tiktok misalnya, baru saja menonton potongan video motivasi berbisnis, dalam sekali scroll di bawahnya langsung tersaji tutorial memerah susu kambing, di bawahnya lagi tentang selebriti yang tak bisa mengupas buah salak. Begitu seterusnya sampai bermenit-menit bahkan berjam-jam berlalu tanpa ada yang benar-benar melekat dalam ingatan, sebab yang terjadi adalah interupsi demi interupsi.

Tak heran, Paul W Bennet (2022), seorang profesor terkemuka dalam bidang pendidikan di Kanada, menyebut medsos, khususnya Tiktok, telah membunuh kemampuan belajar siswa. “‘TikTok Brain’ is killing students’ ability to learn”, tulis Bennet dalam The Hub.

Saat bersamaan, kecenderungan medsos mencampuradukkan fakta dan hoaks, benar-benar telah mengontaminasi kejernihan alur berpikir. Tanpa dibekali kemampuan berpikir kritis, patokan kebenaran akhirnya tergantung kepada apa yang diamplifikasi medsos dengan dukungan suara mayoritas warganet, dan bukan kepada fakta yang bisa diverifikasi atau pembuktian dengan penalaran logis. Demikian juga nilai sebuah gagasan/karya hanya ditakar berdasarkan viral atau tidaknya. Jelas mustahil buah pikir yang kreatif-konstruktif lahir dari alur berpikir yang porak-poranda seperti ini.

Pendidik adalah bidan

Demikianlah, ide-ide baru tentu tidak pernah muncul dari peserta didik yang daya kreatif-ekspolartifnya dikekang. Karena itu, selain pembenahan sistem, kita membutuhkan pendidik, termasuk orangtua, yang selalu merangsang daya-daya tersebut.

Meminjam metode klasik filsuf Socrates, rangsangan bisa diberikan dalam bentuk pertanyaan atau dialog yang bertujuan memancing peserta didik untuk bernalar dan berimajinasi. Socrates menamai pendekatan ini sebagai metode kebidanan (maeutika tekne). Seperti seorang bidan, pendidik membantu melahirkan gagasan-gagasan dengan pertanyaan-pertanyaan dialogis.

Ide-ide baru juga mustahil lahir dari proses belajar yang selalu diinterupsi. Tidak pula dari kelumpuhan nalar akibat paparan negatif medsos. Namun di sisi lain, tentu tak mudah melawan gelombang interupsi yang semakin hari semakin memikat.

Selain membatasi penggunaan gadget misalnya, fungsi pendidik sebagai bidan sebenarnya masih relevan di sini, yakni merancang pertanyaan-pertanyaan yang memandu peserta didik untuk menemukan inspirasi pembelajaran dari konten-konten medsos. Bahkan pertanyaan juga bisa menjadi panduan agar peserta didik bisa memilah-milah konten yang sesuai dengan kebutuhan dalam pembelajaran sehingga tidak tenggelam begitu saja dalam banjir bandang informasi. Termasuk juga di dalamnya pertanyaan yang berkenaan dengan pandangan kritis mereka terhadap setiap konten yang dirujuk.

Dengan begitu, peserta didik tetap menjadi generasi waras yang bisa mendayagunakan akal untuk memproduksi ide-ide kreatif baru. Perlu dicatat, saat itu Altman juga mewanti-wanti: “Jadi saya rasa, ini adalah langkah selanjutnya; bagaimana kita bisa mengajari AI untuk menghasilkan ide baru.” Jelas kita tak ingin tergilas. (*)

 

Heribertus Jani. Peneliti Pusat Studi Kebangsaan Indonesia, Universitas Prasetiya Mulya

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.