Berita Utama

Dana Pembiayaan Waskita Terindikasi Dipakai untuk Biaya Hiburan

JAKARTA – Alih-alih digunakan untuk membiayai proyek, dana yang dicairkan dari fasilitas pembiayaan dari beberapa bank kepada PT Waskita Karya (Persero) Tbk diduga telah dibagi-bagi dan ada yang digunakan untuk biaya entertain. Total fasilitas pembiayaan yang telah dicairkan sekitar Rp 1 triliun.

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Kuntadi, Selasa (2/5/2023) malam, menuturkan, Kejagung menetapkan Dirut PT Waskita Karya (Persero) Tbk Destiawan Soewardjono alias DES sebagai tersangka karena dia adalah orang yang memberikan persetujuan pencairan fasilitas pembiayaan dari beberapa bank atau yang disebut sebagai dana supply chain financing (SCF). Pencairan fasilitas pembiayaan tersebut diduga dilakukan dengan menggunakan dokumen pendukung palsu.

”Jadi, SCF itu untuk pembiayaan proyek. Namun, ternyata dalam kasus itu SCF tidak digunakan untuk membiayai proyek, tetapi bermacam-macam kegiatan yang fiktif, (semisal) untuk entertain, lalu untuk dibagi-bagi,” tutur Kuntadi.

Adapun beberapa hari yang lalu, penyidik menetapkan Direktur Utama PT Waskita Karya (Persero) Tbk Destiawan Soewardjono sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penyimpangan penggunaan fasilitas pembiayaan dari beberapa bank. DES merupakan tersangka kelima.

Adapun empat tersangka lain adalah Direktur Operasional II PT Waskita Karya (Persero) Tbk Bambang Rianto; Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT Waskita Karya (Persero) Tbk periode Juli 2020 sampai Juli 2022 Taufik Hendra Kusuma; Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT Waskita Karya (Persero) Tbk periode Mei 2018 sampai Juni 2020; dan Komisaris Utama PT Pinnacle Optima Karya Nizam Mustafa. Berkas perkara empat tersangka ini telah dilimpahkan ke pengadilan.

Kuntadi mengatakan, mekanisme dana SCF merupakan hal yang lazim di perbankan dan biasanya digunakan untuk kebutuhan rutin yang dalam hal ini untuk operasional sebuah proyek agar tetap berjalan. Meski pihak bank memiliki mekanisme pengawasan, karena fasilitas pembiayaan ini bersifat rutin, terdapat celah yang diduga kemudian dimanfaatkan para tersangka.

Atas sepengetahuan tersangka DES, dana SCF dicairkan dan digunakan untuk berbagai hal, seperti untuk membayar pegawai, membeli kendaraan berat, termasuk juga dibagi-bagi ke beberapa pihak dan biaya entertain atau hiburan. Pencairan tersebut dilakukan secara bertahap hingga total dana yang telah dicairkan mencapai Rp 1 triliun.

Menurut Kuntadi, selain pinjaman pokok, fasilitas pembiayaan SCF tersebut juga dikenakan bunga kredit yang tinggi. Dengan demikian, penyidik memperhitungkan bahwa kerugian keuangan negara tidak hanya berupa pokok pinjaman, tetapi juga bunga pinjaman.

”Kerugian Waskita Karya itu bertubi-tubi. Kan, penghasilan Waskita dari mengerjakan proyek. Lalu kalau proyeknya fiktif, dia nutup utangnya dari mana?” ujar Kuntadi.

Untuk meminimalisasi kerugian keuangan negara, hingga saat ini penyidik telah menyita uang maupun barang yang diduga berasal dari fasilitas pembiayaan yang dicairkan tersebut. Total nilai barang dan uang yang telah disita sekitar Rp 40 miliar. Namun, untuk dana yang digunakan sebagai biaya entertain tidak bisa disita penyidik. Kuntadi memastikan bahwa penyidikan tersebut tidak mengganggu jalannya perseroan.

Menanggapi penetapan tersangka DES tersebut, Sekretaris Perusahaan PT Waskita Karya (Persero) Tbk dalam keterangannya menyatakan, perseroan menghormati proses hukum yang kini sedang berjalan. Perseroan juga berkomitmen untuk kooperatif dan menyerahkan proses hukum kepada pihak berwenang.

”Dapat kami sampaikan bahwa kasus hukum yang sedang terjadi tidak berdampak secara signifikan pada kegiatan perseroan, baik secara operasional maupun keuangan,” demikian dikutip dari pernyataan tersebut.

Berdasarkan keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia, Destiawan Soewardjono diberhentikan sementara sebagai dirut PT Waskita Karya (Persero) Tbk oleh Dewan Komisaris Perseroan. Pemberhentian sementara tersebut efektif per 29 April 2023.

Secara terpisah, Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman berpandangan, penetapan seorang dirut sebuah BUMN memperlihatkan tata kelola di BUMN tersebut masih buruk. Sebab, jika melihat beberapa waktu lalu, terdapat satu mantan pegawai Waskita Karya yang kemudian menduduki posisi dirut di BUMN lain juga terlibat kasus korupsi hingga diadili di meja hijau.

”Kasus terkait pekerjaan fiktif, lalu kasus terkait pencairan dana bank untuk menutup utang sebelumnya memperlihatkan kesalahan pemerintah yang terlalu memanjakan BUMN kontraktor. Ketika proyek digelontorkan, kemudian terjadi penyalahgunaan,” kata Boyamin.

Menurut Boyamin, tata kelola yang buruk tersebut terus terjadi karena tidak ada perbaikan melalui fungsi pengawasan dan pembinaan dari kementerian terkait, seperti Kementerian BUMN dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sebagai pembina dalam hal teknis. Akibatnya, praktik koruptif, seperti mengarahkan pemenang tender kepada pihak tertentu atau menaikkan harga, bisa terjadi.

Tidak hanya itu, lanjut Boyamin, jika dulu praktik korupsi terkait pembangunan proyek kebanyakan dalam bentuk mengurangi biaya yang berdampak pada menurunnya kualitas konstruksi, kini banyak bermunculan kasus proyek fiktif. Hal itu, menurut Boyamin, memperlihatkan bahwa korupsi semakin merajalela.

”Ini sangat memprihatinkan. Maka, ini mestinya kondisi ini harus segera diperbaiki, khususnya oleh Kementerian BUMN agar praktik korupsi tidak berulang,” ujar Boyamin. (KOM)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.