Wacana

Era Baru Cadangan Pangan Pemerintah

Bertahun-tahun tanpa kejelasan, pemerintah akhirnya mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Cadangan Pangan Pemerintah pada 24 Oktober lalu. Peraturan ini merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

Munculnya peraturan itu sebenarnya terlambat karena undang-undang tersebut mengamanatkan agar aturan pelaksanaan harus selesai maksimal tiga tahun setelah undang-undang disahkan. Keterlambatan juga terjadi dalam pembentukan lembaga yang menangani pangan sesuai dengan amanat undang-undang tersebut. Lembaga ini baru dibentuk tahun lalu lewat Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional atau National Food Agency (NFA). Kepala NFA, Arief Prasetyo Adi, baru ditunjuk pada 24 Februari lalu.

Peraturan presiden yang baru ini menandai hadirnya regulasi yang kuat mengenai cadangan pangan pemerintah. Sebelumnya, program cadangan beras pemerintah diatur oleh delapan peraturan menteri yang kental dengan ego sektoral dan tak terintegrasi.

Peraturan ini juga menandai hadirnya negara dengan kemampuan untuk mengintervensi ketika terjadi kegagalan mekanisme pasar dan aneka kondisi darurat. Selain mengatasi aneka keperluan darurat, seperti penanggulangan bencana alam, perang, dan konflik sosial, secara psikologis cadangan itu berperan untuk menghambat spekulasi pasar dan mengatasi gejolak harga pangan. Keberadaan cadangan akan memperkecil risiko ketidakamanan pangan. Seperti militer di masa damai, cadangan pangan menjamin agar negara siap menghadapi keadaan darurat.

Regulasi ini juga menandai kembalinya kebijakan pangan yang terintegrasi hulu-tengah-hilir. Diakui atau tidak, kebijakan pangan selama ini parsial dan tidak terintegrasi. Berbagai kementerian atau lembaga bergerak sendiri-sendiri. Kementerian teknis, seperti Kementerian Pertanian, menggenjot produksi aneka komoditas pangan di hulu. Karena tak terintegrasi dengan penyerapan di hilir, petani sering kali jadi korban karena harga jatuh dan bahkan di bawah biaya pokok produksi. Peraturan ini mengintegrasikan pengadaan pangan di hulu, pengelolaan di tengah, dan penyaluran di hilir.

Untuk tahap awal, penyelenggaraan tiga dari 11 komoditas pangan, yakni beras, jagung, dan kedelai, diserahkan kepada Bulog. Komoditas sisanya (bawang, cabai, daging unggas, telur unggas, daging ruminansia, gula konsumsi, minyak goreng, dan ikan) nantinya bisa diserahkan ke Bulog atau badan usaha milik negara (BUMN) bidang pangan lain. Kapan dan berapa komoditas pada tahap berikutnya akan ditetapkan Kepala NFA. Bagi Bulog dan BUMN pangan lain yang akan diserahi tugas, kebijakan hulu-tengah-hilir ini krusial karena akan menentukan berhasil-tidaknya menjalankan tugas-tugas pelayanan publik. Pengalaman selama ini, keberhasilan pengelolaan cadangan pangan bukan hanya soal pembiayaan, tapi juga penyaluran yang jelas.

Khusus untuk beras, dampak tidak terintegrasinya kebijakan dahulu itu tidak hanya menyulitkan Bulog, tapi juga merugikan petani dan penggilingan padi. Setelah program beras untuk keluarga miskin (raskin) dan beras sejahtera (rastra) diubah menjadi Kartu Sembako, Bulog kehilangan outlet penyaluran pasti di hilir yang besarnya 3 juta ton beras per tahun. Outlet baru bernama Ketersediaan Pasokan dan Stabilisasi Harga Pengganti Raskin/Rastra, selain tak pasti, amat kecil, hanya 0,73 juta ton per tahun (2018-2021). Agar stok tidak menumpuk, Bulog membatasi pengadaan beras, dari rata-rata 2,4 juta ton per tahun (2014-2016) menjadi di bawah 1 juta ton. Akibatnya, harga gabah di petani dan beras di penggilingan jatuh masif di bawah harga pembelian pemerintah sejak April 2020.

Peraturan yang baru juga memberi kepastian pendanaan. Selain dari APBN dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat, dibuka peluang pinjaman dengan jaminan kredit dan/atau subsidi bunga kepada Bulog dan BUMN pangan lain yang difasilitasi Kementerian Keuangan. Sebagai operator penyelenggaraan cadangan pangan, Bulog dan BUMN pangan lain sejatinya mengemban tugas pemerintah. Karena itu, apa pun konsekuensi yang timbul, termasuk pendanaan, harus ditanggung pemerintah, bukan ditanggung oleh BUMN operator dengan meminjam ke lembaga keuangan dengan bunga komersial seperti yang dijalankan Bulog selama ini.

Pemilihan komoditas beras, jagung, dan kedelai sebagai cadangan pangan tahap pertama bisa dipahami. Selain tidak mudah rusak, tiga komoditas ini tak asing bagi Bulog. Apabila penyelenggaraan ketiga komoditas ini sudah berjalan baik, baru dapat beranjak ke komoditas lain. Seiring berjalannya waktu, pemerintah bisa meminta Bulog dan BUMN pangan lain melengkapi diri dengan infrastruktur yang dibutuhkan, seperti gudang berpendingin untuk cabai, bawang, atau daging yang mudah rusak (perishable). Ini termasuk menyiapkan sumber daya manusia dan rantai pasok, yang pasti akan berbeda-beda untuk setiap komoditas.

Sembari berjalan pada masa transisi sampai akhir 2022, NFA harus menyiapkan aturan turunan agar peraturan baru ini operasional. Yang terpenting adalah penetapan jumlah, formula dalam penghitungan dan penetapan, pelepasan cadangan pangan yang turun mutu, batas waktu simpan cadangan, harga pokok produksi dan rafaksi/pemotongan harga, serta penyaluran. Ini berlaku baik untuk beras, jagung, maupun kedelai.

Di luar itu, NFA perlu mendorong harmonisasi peraturan. Dalam Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2021, NFA mengurus sembilan komoditas, yakni beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, bawang, daging ruminansia, daging unggas, telur unggas, dan cabai. Hal itu tak termasuk minyak goreng dan ikan, seperti diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2022. Semestinya NFA mengurus seluruh 11 komoditas ini.

Di luar 11 komoditas itu, presiden bisa menetapkan komoditas lain sebagai cadangan pangan. Presiden bisa mengadopsi konsep daftar negatif dan daftar positif. Komoditas dapat berkurang atau bertambah sesuai dengan situasi. Menurut Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Harga Kebutuhan Pokok dan Barang Penting, kapan komoditas masuk dan keluar bergantung pada besar-kecilnya sumbangan pada ekonomi nasional, menyedot belanja keluarga, dan inflasi. Mengacu pada tiga kriteria ini, masuknya daging ruminansia sebagai cadangan pangan bisa dipersoalkan karena tak menyedot belanja keluarga dan bukan penyebab inflasi (inflatoar).

Namun peraturan baru ini alpa menetapkan cadangan pangan pemerintah daerah. Undang-Undang Pangan mengatur bahwa pemerintah menetapkan cadangan pangan pemerintah dan cadangan pangan pemerintah daerah. Cadangan pangan pemerintah daerah ini mencakup cadangan di tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan desa. Kealpaan ini, disengaja atau tidak, membuat regulasi itu jadi tidak lengkap karena besar-kecilnya jumlah cadangan pangan pemerintah berpengaruh pada besar-kecilnya cadangan pangan pemerintah daerah dan desa.

Berbagai kekurangan itu harus segera ditangani pemerintah agar regulasi baru ini dapat segera dijalankan. Dengan begitu, era baru cadangan pangan pemerintah yang lebih terintegrasi dapat terwujud. (*)

 

Khudori, Penulis buku “Bulog dan Politik Perberasan”.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.